+ All documents
Home > Documents > BAB I Sejarah Otonomi Khusus Papua

BAB I Sejarah Otonomi Khusus Papua

Date post: 15-May-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses sejarah integrasi Provinsi Irian Barat yang saat ini disebut Provinsi Papua, 1 dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami berbagai hambatan. Pada saat sebelum pendeklarasian negara Indonesia di 17 Agustus 1945 yakni tertanggal 15 Agustus 1945 dalam pidato di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau selanjutnya disebut PPKI, 2 Presiden Soekarno menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Borneo dan Celebes), pulau- pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Berdasarkan pada alasan keamanan Indonesia dari arah Pasifik, maka diperlukan menguasai Papua. Wilayah Papua yang dahulu dikenal dengan nama West New Guinea menjadi wilayah 1 Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, penamaan Provinsi Irian Barat diganti menjadi Provinsi Papua. 2 Agus. A. Alua. Dialog Nasional Papua dan Indonesia, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Peneliti STFT Fajar Timur, Jayapura, 2002. Halaman 61. 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses sejarah integrasi Provinsi Irian Barat yang

saat ini disebut Provinsi Papua,1 dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) mengalami berbagai hambatan.

Pada saat sebelum pendeklarasian negara Indonesia di 17

Agustus 1945 yakni tertanggal 15 Agustus 1945 dalam

pidato di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

atau selanjutnya disebut PPKI,2 Presiden Soekarno

menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah pulau-pulau

Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Borneo dan Celebes), pulau-

pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Berdasarkan pada

alasan keamanan Indonesia dari arah Pasifik, maka

diperlukan menguasai Papua. Wilayah Papua yang dahulu

dikenal dengan nama West New Guinea menjadi wilayah

1 Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagiPapua, penamaan Provinsi Irian Barat diganti menjadi Provinsi Papua.2 Agus. A. Alua. Dialog Nasional Papua dan Indonesia, Sekretariat Presidium DewanPapua dan Biro Peneliti STFT Fajar Timur, Jayapura, 2002. Halaman 61.

1

sengketa Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda,

yang diselesaikan melalui gencatan senjata dan politik

diplomasi serta perundingan. Diawali dengan Konferensi

Malino di Makasar-Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli

1946, selanjutnya Perjanjian Linggar Jati Maret 1947 dan

Konvensi Meja Bundar yang selanjutnya disebut KMB pada

tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.

Belanda sebagai salah satu anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang selalnjutnya disebut sebagai PBB,

telah menandatangani Piagam PBB yang mengamanahkan pada

Pasal 73 tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri tanggal 26

Juni 1945 Pemerintah Belanda berkewajiban mempersiapkan

Papua menjadi sebuah negara, sehingga hal tersebut

menciptakan status quo West New Guinea.3 H.J Sorolea dalam buku

Azas-Azas Tatanegara Nederlands New Guinea Jilid II, yang

diterjemahkan oleh P. J Merkelijn dalam John Anari4

menegaskan, hal ini disebabkan karena Papua adalah suatu

3 John Anari, Kegagalan Dekolonisasi dan Ilegal Referendum di Papua Barat, WPLO, 2012.Halaman 10.4 Ibid., Halaman 10.

2

daerah yang belum berpemerintahan Sendiri (Non Self

Government Territory), oleh sebab itu Belanda mempersiapkan

Parlement Papua (New Guinea Raad), Sekolah Pemerintahan

(Bestuur School), Kepolisian Papua, PVK (Papoea Vrijwilleger

Korps), serta memasukkan New Guinea ke Daftar Komisi

Pasifik Selatan (South Pacific Commition) melalui Perjanjian

yang ditanda tangani pada tanggal 6 Februari 1947 di

Canbera oleh Australia, Perancis, Inggris, Nederland, New

Zealand dan Amerika Serikat. Maksud perjanjian ini adalah

untuk memperkuat kerja sama internasional supaya

dimajukan kemakmuran ekonomis dan sosial dari bangsa-

bangsa di dalam daerah yang belum berpemerintahan sendiri

di Samudera Pasifik.

Setelah KMB penamaan West New Guinea diubah menjadi

Provinsi Irian Barat, kata Irian5 diartikan dengan Ikut

Republik Indonesia Anti Netherland, namun senyatanya

5 Irian diawali sebagai penamaan sebuah gerakan yang dipimpin oleh SoegoroAtmoprasodjo yakni mantan pemuka Taman Siswa, yang pada saat itu diangkatoleh Pemerintah Belanda menjadi Direktur Sekolah Pemerintah atau BestuurSchool, Ia membentuk gerakan bawah tanah yang diberi nama Irian (IkutRepublik Indonesia Anti Nederlands) bersama para murid di SekolahPemerintah.

3

konvensi tersebut belum mampu menjadi dasar untuk

mengintegrasikan Irian Barat ke dalam negara Indonesia

sepenuhnya. Pada 19 Desember 1961 Presiden Soekarno

mengumandangkan Tri Komando Rakyat atau selanjutnya

disebut Trikora dengan perintah antara lain;

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan

Belanda;

2. Kibarkan bendera merah putih di Irian Barat; dan

3. Kerahkan semua kekuatan, termasuk para

sukarelawan untuk mempertahankan kemerdekaan

bangsa dalam merebut Irian Barat.

Memperkuat Trikora Presiden Soekarno membentuk Komando

Mandela Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di

Makasar pada tanggal 11 Januari 1962, yang dipimpin oleh

Mayor Jenderal Soeharto.6 Operasi militer ini berhasil

memperjuangkan keberlanjutan politik diplomasi dalam

merebut Irian Barat.

6 Tim Peneliti Kontras, Laporan Penelitian Bisnis Militer, Kontras, BovenDigoel Papua, 2004. Halaman 8.

4

Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat

dilanjutkan pada tanggal 15 Agustus 1962 melalui

perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962

Administrasi Nederlands New Guinea dialihkan kepada

Pemerintahan sementara PBB United Nation Temporary Excecutive

Authority (UNTEA). Perundingan tersebut menjadi dasar

Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat

melalui pemberian Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Self

Determination kepada rakyat penduduk asli Papua. Hak

Penentuan Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode

Penentuan Pendapat Rakyat yang selanjutnya disebut dengan

Pepera pada tahun 1969 dengan lebih dahulu membentuk

Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau

selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi yang disiarkan

secara internasional, bahwa terdapat 1.024 wakil-wakil

orang Irian memilih bergabung dengan Indonesia.7 Hasil

Pepera tersebut mengakibatkan terintegrasinya Provinsi

Irian Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,7 Widjojo dkk, Papua Road Map Negotiating the past, improving the Present and Securing theFuture, LIPI, Jakarta, 2009. Halaman 3.

5

yang disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi 2504

tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah pemerintahan Presiden

Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi

Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di

Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan

Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun

1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura.

Terintegrasinya Provinsi Irian Jaya dengan Indonesia

tidak sepenuhnya mengubah keadaan sikap berbagai rakyat

Irian Jaya bahwa wilayah Irian Jaya senyatanya telah

bersatu dengan NKRI. Setelah Hasil Pepera disahkan,

terjadi sebuah penolakan dari beberapa kelompok yang

tidak menghendaki Papua (Red-Irian Jaya) bersatu dengan

NKRI, sejak tahun 1960 an aksi penolakan sudah ada namun

intensitasnya rendah. Adanya gerakan perlawanan yang

dilakukan oleh warga Papua di Papua Barat adalah sebuah

fakta bahwa Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai

Gerakan Separatis8 Papua. Pada tanggal 1 Juli 19718 Separatis dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah mengasingkan diri,kelompok yang mengasingkan dirinya dari suatu wilayah dan lainnya.

6

Brigjen Seth J Rumkorem, mantan anggota intelijen dari

Komando Daerah Militer atau selanjutnya disebut Kodam

Diponegoro, memproklamasikan Negara Republik Papua Barat

di Jayapura. Jejak itu diikuti oleh Sembilan mahasiswa

Universitas Cenderawasih dengan mengibarkan bendera

Organisasi Papua Merdeka yang selanjutnya disebut dengan

OPM di Abepura dan memproklamasikan berdirinya Negara

Papua Barat pada bulan Juli 1982. Tanggal 14 Desember

1988 Thomas Wanggai doktor di bidang administrasi

pemerintahan lulusan Jepang dan Amerika Serikat, juga

memproklamasikan Negara Melanesia Barat di lapangan

Mandala Jayapura.9 Di tingkat internasional, gerakan ini

lebih dikenal dengan nama Free Papua Movement. Gerakan OPM

yang terus berjuang mencapai kemerdekaan mendapat

berbagai dukungan dari dunia Internasional, termasuk

Pengertian pada umumnya separatism adalah salah satu cara untuk meraihtujuan mencapai kemerdekaan. Perspektif hukum pidana islam dikenal dengansebutan bughat yakni pemberontakan terhadap suatu pemerintahan.9 Tim Peneliti Kontras, Op.Cit., Halaman 9.

7

Amerika Serikat dan Australia.10 Otto Syamsuddin Ishaq,11

peneliti Papua pada Imparsial menekankan bahwa akar

permasalahan konflik di Papua merupakan akibat dari tidak

selesainya proses integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI.

Periode tahun 1969 s/d 2000 keadaan Papua masih

menjadi wilayah konflik, munculnya Organisasi Papua

Merdeka (OPM) dijawab dengan represif oleh Pemerintah

Indonesia dengan membangun Daerah Operasi Militer yang

selanjutnya disebut dengan DOM di Papua. Kebijakan Hard

Power12 yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia selama

puluhan tahun terhadap wilayah Papua menimbulkan tindak

kekerasan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang selalu

menjadi alasan sebagai menghentikan gerakan pemberontakan

10 D. Muhammad, ‘Politisi Australia dan Pasifik Siapkan Gerakan PapuaMerdeka’ (online), 2012.<http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/02/24/lzuio6-politisi-australia-dan-pasifiksiapkan gerakan-papua-merdeka>, diakses 11November 2013.11 Otto Syamsuddin Ishaq, 50 Tahun Konflik Papua, Fakultas Hukum UniversitasBrawijaya, Malang, 1 Desember 2011. Halaman 8.12 Untuk memperjuangkan atau mempertahankan kepentingannya, baik pusat maupundaerah tidak jarang menggunakan power, apakah itu dengan hard power(mengedepankan tindakan militer atau kekerasan dan sanksi) atau soft power(dengan dialog atau perundingan).

8

atau separatis rakyat Papua. Berbagai kebijakan Hard Power

yang menjadi landasan DOM di Papua antara lain;13

1. Operasi militer pertama dinamakan Operasi Sadar

yang dimulai pada tahun 1965 dan berakhir dua

tahun kemudian.

2. Operasi militer kedua dinamakan Operasi

Brathayudha yang dimulai pada tahun 1967. Operasi

yang berlangsung dalam waktu dua tahun ini

menelan korban jiwa sampai sekitar 3.500 orang.

3. Operasi militer ketiga adalah Operasi Wibawa yang

dilakukan sejak tahun 1969. Eliezer Bonay

Gubernur pertama Papua, memperkirakan bahwa

terdapat 30.000 warga Papua menjadi korban

tentara Indonesia terhitung sejak tahun 1963

hingga 1969.

4. Operasi militer keempat diluncurkan di kabupaten

Jayawijaya pada tahun 1977. Operasi ini

13 Neles Tebay, Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di Papua Barat, Missio, Jayapura2009. Halaman 5-7.

9

mengakibatkan pembunuhan massal terhadap 12.397

warga Papua.

5. Operasi militer kelima adalah Operasi Sapu Bersih

I dan II yang diluncurkan tahun 1981 dan menelan

korban jiwa sedikitnya 1.000 orang di kabupaten

Jayapura dan 2.500 di kabupaten Paniai.

6. Operasi militer keenam adalah Operasi Galang I

dan II terjadi pada tahun

1982, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan warga

Papua.

7. Operasi militer ketujuh dikenal dengan nama

Operasi Tumpas dan berlangsung antara tahun 1983

sampai tahun 1984.

8. Operasi militer kedelapan, pasukan tentara

menghabisi sedikitnya 517 jiwa dan

membumihanguskan sekitar 200 rumah.

9. Operasi militer kesembilan yang dilaksanakan di

Mapduma pada tahun 1996, sebanyak 35 orang warga

Papua meninggal dunia karena ditembak mati, 14

10

perempuan diperkosa, 13 gereja dirusak dan 166

rumah dibumihanguskan, sementara 123 warga sipil

meninggal akibat penyakit dan kelaparan setelah

menyelamatkan diri ke dalam hutan. Pada tahun

1998 Indonesia mencabut status Papua Barat

sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), akan tetapi

pengejaran terhadap kaum separatis Papua tetap

dilanjutkan.

10. Operasi militer besar kesepuluh dilakukan pada

tahun 2001 di kabupaten Manokwari, dimana empat

orang dibunuh, enam lainnya mengalami penyiksaan,

satu perempuan diperkosa dan lima orang hilang.

11. Operasi militer kesebelas berlangsung antara

bulan April dan November tahun 2003 di Wamena,

ibukota kabupaten Jayabaya, dan sekitarnya.

Tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat

akses kelompok gereja dan pekerja kemanusiaan

untuk memberi bantuan selama operasi berlangsung.

11

12. Operasi militer keduabelas dilakukan di

kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2004. Sedikitnya

6.000 warga Papua dari 27 desa menyelamatkan diri

masuk hutan, 35 di antaranya termasuk 13 anak-

anak, meninggal di kamp pengungsian yang

dibangun.

Kawasan Papua telah di militarisasi oleh Pemerintah

Indonesia, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk program

ekspansi terhadap ancaman pertahanan Indonesia, sehingga

keadaan pergolakan di Papua dan separatis dapat diketahui

secara dini dan ditangani lebih cepat dengan dua

kebijakan yakni,14

1. Memperluas komando teritorial; dan

2. Peningkatan jumlah pasukan perang.

Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk membentuk

sejumlah Komando Militer baru di Provinsi Papua, untuk

seluruh wilayah Papua Barat saat ini ada satu komando

militer yang disebut Komando Daerah Militer atau

14 Ibid., Halaman 10-11.12

selanjutnya disebut dengan Kodam, dengan markas besar di

Jayapura. di bawah Kodam terdapat tiga Komando Resort

Militer atau selanjutnya disebut dengan Korem yaitu Korem

171/Praja Vira Tama di kota Sorong, Korem 172/Praja Vira

Yakthi di Jayapura dan Korem 173/Praja Vira Braja di

Biak. Pemerintah membentuk komando resor militer tambahan

yaitu Korem 174/Anim Ti Waninggap (ATW) di Merauke pada

tanggal 2 Juni 2005 untuk mengoptimalkan pertahanan

kawasan Papua Barat. Di bawah Korem, terdapat Komando

Distrik Militer atau selanjutnya disebut dengan Kodim.

Karena ada banyak kabupaten baru dibentuk, sejumlah

penambahan terhadap sembilan Kodim yang sudah ada.

Pembentukan Korem dan Kodim yang baru dirancang untuk

memperkuat kapasitas pertahanan. Program ekspansi yang

kedua adalah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan

jumlah pasukan tempur tercermin dari langkah pemerintah

membentuk beberapa batalion baru di Papua Barat, saat ini

sudah ada tiga batalion infantri di Jayapura, Nabire dan

Sorong.

13

Indonesia pun secara serius berkomitmen untuk

meningkatkan keberadaan militer di Papua. Menteri

Pertahanan Kabinet Bersatu Jilid kesatu Juwono Sudarsono,

mengumumkan bahwa sekitar 15.000 pasukan akan dikirim ke

Papua pada tahun 2010.15 Kebijakan atas sikap Pemerintah

Indonesia yang masih menggunakan tindakan militer dalam

menangani dinamika permasalahan Papua, seakan menjadikan

pemberlakuan otonomi khusus sebuah formalitas yang belum

teresensikan secara sadar mengakui pemerintahan daerah

Provinsi Papua dan Papua Barat sesuai amanah UUD 1945

melalui UU Otsus.

Bersatunya Provinsi Irian Jaya tidak berdampak

signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Irian Jaya.

Kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di

Provinsi Papua sulit berkembang dan optimal dengan

kebijakan ekspansi militer serta konsep pembangunan

sentralistik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor di Irian

15 Ridam Max Sijabat, Protest Increase against heavy military presence in Papua, dalam TheJakarta Post, 3 December 2005.

14

Jaya menjadi agenda utama pada masa pemerintahan di zaman

reformasi, yang kemudian menjadi dasar munculnya dua

kebijakan, antara lain;

1. Pemekaran Provinsi Irian Jaya melalui Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan

Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya

Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong; dan

2. Pemberian Otonomi Khusus kepada Papua melalui

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Proses kebijakan hukum tersebut diawali atas

pertemuan Presiden B.J. Habibie dengan 100 orang wakil

Papua pada tanggal 26 Febuari 1999 di istana

kepresidenan. Pertemuan tersebut memunculkan tiga alasan

rakyat Papua berkeinginan memisahkan diri dari Indonesia

15

yang ditegaskan oleh wakil rakyat Papua Barat16 antara

lain;17

1. Papua Barat masuk ke Indonesia secara illegal;

2. Warga Papua Barat menjadi korban kejahatan atas

kemanusiaan yang dilakukan tentara Indonesia; dan

3. Pemerintah Indonesia mengabaikan hak-hak warga

Papua atas pembangunan sosial, ekonomi dan

kultural.

Dialog yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J.

Habibie dengan rakyat Papua Barat terjawab pada masa

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan menawarkan

status otonomi khusus untuk menggapi tuntutan hak

menentukan nasib sendiri. Ketegasan status otonomi khusus

untuk Papua dapat terealisasi pada masa pemerintahan

Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mensahkan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua.

16 Wilayah Papua disebut sebagai Papua Barat sebelum lahirnya UU PemekaranPapua yang membagi wilayah Papua menjadi Provinsi Papua Barat dan PapuaTimur.17 Neles Tebay, Op.Cit., Halaman 25.

16

Kebijakan strategis pemerintah pusat untuk

menanggapi tuntutan rakyat Papua ialah dengan

mengeluarkan dua kebijakan dengan sifat mendesak sebagai

rangkaian proses menciptakan Provinsi Papua yang otonom.

Kebijakan pertama yang di dasarkan pada Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian

Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

yang selanjutnya disebut UU Pemekaran Provinsi Irian

Jaya, disahkannya peraturan tersebut bertujuan sebagai

salah satu bentuk dari pengakomodiran aspirasi rakyat

Papua, yang memiliki luas wilayah hingga 404.669 KM2,

sehingga diperlukan suatu pemekaran wilayah untuk

memudahkan penyelenggaraan negara.18

Kebijakan kedua melalui pemberian Otonomi Khusus

yang selanjutnya disebut dengan Otsus, yang diberikan

kepada Papua sebagai salah satu konsep dari

18 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang PembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.

17

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

Pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua

terlegitimasi melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang

selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua. Sebelum

lahirnya UU Otsus Papua tahun 2001, Pemerintah Indonesia

telah menerapkan regulasi awal melalui Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom

Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi

Irian Barat. Undang-undang ini bertujuan memberikan

kemandirian serta kebebasan bagi Provinsi Irian untuk

mengurus rumah tangganya sendiri. Peraturan tersebut

tidak mendapat persetujuan sepenuhnya dari masyarakat

Papua, sehingga konflik antar suku dan gerakan saparatis

menjadikan semakin sulitnya implementasi kebijakan

otonomi di Papua.19

19 Maruarar Siahaan, Analisis Sosio-Yuridis dan Politik Implementasi Otonomi Khusus PapuaPasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,Jakarta, 2006. Halaman 22.

18

Otonomi khusus hadir dengan dilatarbelakangi oleh

sejarah atas perumusan pertama Undang-Undang Dasar 1945

yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 dalam sidang,

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan perubahan UUD 1945. Pengaturan

tentang Pemerintah Daerah terdapat pada Pasal 18 UUD 1945

sebelum amandemen yakni,

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan

bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan undang-undang,

dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam

sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-

daerah yang bersifat istimewa.

Pada masa perumusan UUD 1945 melalui sidang BPUPKI tahun

1945, terjadi perdebatan pemikiran tentang konsepsi

penyelenggaraan negara terhadap Pemerintahan Daerah

antara Soepomo dengan Soerjohamidjojo. Soepomo yang

ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia

Kecil Perancang UUD 1945 menegaskan bahwa pada Pasal 16

rancangan UUD kedua, Indonesia yang memilih bentuk negara

19

kesatuan senyatanya tetap menghormati daerah-daerah

tertentu seperti Kooti (Kerajaan) dengan memberikan hak

istimewa. Konsepsi yang diangkat oleh Soepomo adalah

Negara Kesatuan yang menghormati satuan wilayah Kooti

(Kerajaan) yang masih hidup di Indonesia. Konsep tersebut

mendapat pertentangan dari Soerjohamidjojo karena

terdapat sebuah ketidaktegasan dari konsep negara

kesatuan yang masih membagi kewenangan, dalam pendapatnya

Soerjohamidjojo menegaskan bahwa jika dikehendaki sebuah

penghormatan atas daerah-daerah tertentu maka harus

dibedakan pengaturannya sehingga diperlukan BAB

tersendiri untuk mengatur Kooti (Kerajaan) agar

memperkokoh kedudukan daerah tersebut.20 Perdebatan

tersebut terselesaikan dengan suara mayoritas anggota

sidang BPUPKI untuk tidak menambahkan ketentuan khusus

terhadap pengaturan Kooti (Kerajaan).

20 Perdebatan dalam Naskah Komperhensif Perubahan Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I.Mahkamah Konstitusi, 2010. Halaman 45.

20

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dipertegas

kembali pada tahun 1999 s/d 2002, saat proses perubahan

empat kali UUD 1945. Pada BAB VI tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945

menjadi dasar dari keberadaan pengaturan tentang

pemerintahan daerah dan otonomi khusus. Proses perumusan

peraturan tentang pemerintahan daerah diajukan saat

perubahan pertama di tahun 1999 dan disahkan dalam Rapat

Paripurna ke-9 terkait pembahasan dan pengesahan

perubahan kedua UUD 1945 di tahun 2000.

Setelah perubahan kedua UUD 1945, muncul ketetapan

MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan

dalam Penyelanggaraan Otonomi Daerah, yang menekankan

untuk segera merealisasikan otonomi khusus melalui sebuah

undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh dan Provinsi Irian Jaya dengan

memperhatikan aspirasi masyarakat.21 Di Indonesia terdapat

lima Provinsi yang memiliki status otonomi khusus dan21 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematiks, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2005. Halaman 67.

21

istimewa,22 yakni Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta

berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah

Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi Aceh

berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua dan Papua Barat

berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Kebijakan pemberian Otsus Papua didasarkan pada

Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, yang ditegaskan bahwa;

Negara mengakui dan menghargai satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang.

Berdasarkan amanah UUD 1945 setelah amandemen, pemerintah

mensahkan UU Otsus Papua, yang memberikan kebebasan untuk

Provinsi Papua mengurus rumah tangganya secara otonom.22 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_di_Indonesia diakses 7Oktober 2013.

22

Proses perumusan UU Otsus Papua diawali dengan penyusunan

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari

Pemerintah Daerah Provinsi Papua, yang selanjutnya

disebut Pemda Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat

Papua, yang selanjutnya disebut DPRP. Keduanya membentuk

Panitia Penyelenggara Forum Kajian, Tim Penjaring

Aspirasi, serta Tim Asistensi untuk menjaring aspirasi,

wacana dan pandangan-pandangan ahli dari seluruh kalangan

masyarakat Papua, yang dikembangkan menjadi RUU Otonomi

Khusus.23 Tanggal 21 November 2001 UU Otsus Papua disahkan

dan diundangkan pada saat masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri.

Diundangkannya UU Otsus Papua dan terlaksananya

penyelenggaraan Otsus Papua telah memunculkan berbagai

pandangan, ketika dikaitkan dengan konsep negara kesatuan

yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan

bahwa,

23 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2003.

23

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik.

Terdapat dua konsep untuk memaknai keberadaan Otsus Papua

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat

pertama dikemukakan oleh Edie Toet Hendratno,24

Suatu negara yang mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan

merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (Keberagaman

dalam kesatuan) dalam sistem federal.

Konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia masih belum

tegas membedakan pembagian kewenangan pada daerah,

sehingga memunculkan sebuah paradigma sistem federal di

negara kesatuan. Sebuah konsep yang dimunculkan oleh CF.

Strong,25

Bahwa negara kesatuan bercirikan sebuah kedaulatan yang tidak

terbagi, dan tidak ada badan berdaulatan tambahan tanpa

perundingan kedaulatan tertinggi.

24 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, Graha Ilmu danUniversitas Pancasila Press, Jakarta, 2009. Halaman 238.25 CF. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2012. Halaman111.

24

Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kedaulatan

tunggal walaupun dalam penyelenggaraan negara, terdapat

konsep otonomi daerah. Setiap daerah tidak memiliki

kedaulatan otonom, pelaksanaan pemerintahan daerah di

Indonesia berdasarkan konstitusi tertulis Republik

Indonesia.

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto bagi

Provinsi Papua ditandai dengan munculnya dua kebijakan

pemerintah pusat. UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan UU

Otsus Papua, kedua peraturan tersebut dikeluarkan pada

masa reformasi dengan dua pemerintahan yang berbeda. UU

Pemekaran Provinsi Irian disahkan pada masa pemerintahan

Presiden BJ. Habibie di tahun 1999, sedangkan UU Otsus

Papua disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri di tahun 2001. Mengkaji dua peraturan

tersebut, terdapat inkonsistensi terkait ketegasan

wilayah Provinsi Papua, pada Pasal 1 huruf a UU Otsus

Papua ditegaskan bahwa,

25

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi

Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal a quo tersebut hanya menegaskan bahwa Otonomi Khusus

berlaku di Provinsi Papua, sedangkan pada UU Pemekaran

Provinsi Irian Jaya yakni Undang-Undang Nomor 45 Tahun

1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,

Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten

Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, telah

mengamanatkan pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi dua,

yakni Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.

Pada pelaksanaannya Provinsi Irian Jaya Barat telah

membentuk penyelenggaraan satuan administrasi daerah,

sedangkan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga UU Otsus

Papua diundangkan belum menjalani penyelenggaraan

administrasi daerah. Philipus M. Hadjon26 berpendapat,

dalam UU Otsus Papua yang dimaksud dengan Provinsi Papua

adalah Provinsi Irian Jaya secara utuh, artinya sebelum

dikurangi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah26 Philipus M Hadjon dkk, Argumentasi Hukum, UGM Press, Yogyakarta, 2005.Halaman 55.

26

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU

Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yang ditegaskan bahwa;

Dengan dibentuknya Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya

Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wilayah Provinsi Irian

Jaya dikurangi dengan wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah dan Wilayah

Provinsi Irian Jaya Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan

Pasal 4.

Inkonsistensi peraturan tersebut menimbulkan berbagai

penafsiran terkait pemberlakuan satuan otonomi khusus di

wilayah Papua. Ketidaktegasan pemerintah pusat dikuatkan

dengan munculnya kebijakan pemerintahan pada masa

Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mengabulkan

permintaan masyarakat Irian Jaya Barat, yang diwakili Tim

315 untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor

1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian

Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

pada tanggal 27 Januari 2003.

27

Eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat menimbulkan

konflik hukum hingga beberapa masyarakat Papua melakukan

judicial review Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian

Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten

Puncak Jaya dan Kota Sorong ke Mahkamah Konstitusi. Pada

tanggal 11 November 2004 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

Putusan Nomor 018/PUU-I/2003, yang memutus bahwa UU

Pemekaran Provinsi Irian Jaya atau Undang-Undang Nomor 45

Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya

Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 dan

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi dari

putusan tersebut bagi Provinsi Irian Jaya Barat oleh

Mahkamah diputus tetap diakui keberadaannya dengan alasan

Provinsi tersebut telah melakukan tindakan serta

penyelenggaraan administrasi daerah. Putusan tersebut

terdapat pendapat yang berbeda atau Concurring Opinion oleh

28

hakim konstitusi Maruarar Siahaan,27 pengakuan eksistensi

Provinsi Irian Barat tidak hanya dilihat secara de facto

namun juga harus de jure, bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003

tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya

Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong,

yang menghidupkan lagi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999

telah melanggar konstitusi karena mengakibatkan

ketidakpastian hukum, sehingga Irian Jaya Barat juga

batal demi hukum, namun demikian pada sidang putusan

nomor 018/PUU-I/2003 tertanggal 11 November 2004, delapan

hakim konstitusi memutus Provinsi Irian Jaya Barat tetap

diakui keberadaannya.

Setelah diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 018/PUU-I/2003 tahun 2004, putusan tersebut menjadi

dasar hukum terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat,

hingga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1

27 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003. Halaman 136-138.29

Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Implikasi

dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 menegaskan

pemberlakuan otonomi Khusus di dua Provinsi, yakni

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Irian Jaya

Barat).

Proses panjang dinamika Provinsi Papua dan Papua

Barat dalam integrasinya dengan NKRI mengalami berbagai

hambatan baik sebelum terintegrasi maupun setelah resmi

terintegrasi. Papua menjadi tempat dimana konflik yang

paling banyak memakan korban di Indonesia, dengan korban-

korbannya tak hanya dari masyarakat sipil tapi juga

aparat keamanan, warga Papua maupun non-Papua.28 Berbagai

data atas fakta yang dipublikasi diantaranya, Industri

28 Data dari Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional yang baru, yang melacakinsiden konflik kekerasan di sebelas provinsi rawan konflik di Indonesiamenunjukkan bahwa Papua memiliki baik jumlah tertinggi insiden tersebut(489) antara Januari-April 2012 dan jumlah kematian tertinggi (60).Menduduki urutan kedua baik dalam insiden dan kematian adalah ibukotaJakarta, yang memiliki populasi 3,4 kali lebih besar dari Papua. SistemPemantauan Kekerasan Nasional (yang akan datang) dikembangkan dalamkerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (DeputiI), Bank Dunia dan The Habibie Center.

30

sumber daya alam dengan dampak geografis terbesar adalah

penebangan hutan, konsesi ini mencakup hampir sepertiga

dari seluruh kawasan Papua Barat. Hutan tersebut tersebar

luas sekitar 41.5 juta hektar atau 23% dari seluruh

wilayah hutan Indonesia yang mencapai 180 juta hektar.

Sementara itu, sekitar 22 juta hektar dikategorikan

sebagai “hutan produksi” pada hal ini merupakan kawasan

konservasi.29 Bidang pendidikan terdapat mayoritas

masyarakat adat Papua tidak mendapatkan pendidikan atau

mengecap tingkat pendidikan yang rendah. Angka buta huruf

perempuan Papua adalah 44% dibandingkan dengan 78% di

seluruh Indonesia, dan untuk laki-laki Papua adalah 58%

dibandingkan 90% di seluruh negeri.30 Pada bidang

kesehatan lebih dari 50% anak-anak Papua di bawah usia

lima tahun menderita kekurangan gizi. Hanya 40.8% anak-

anak Papua mendapatkan imunisasi dibandingkan dengan

rata-rata nasional yang mencapai 60.3%. Angka kematian

bayi jauh lebih tinggi (186 per 1.000 bayi) dibandingkan29 www.bps.go.id/profile/irja.html. Diakses 11 November 201330 UNDP, Human Development Report, 2002.

31

dengan angka kematian bayi di tingkat nasional.31 Kantor

Dinas Kesehatan tingkat provinsi di Papua Barat

melaporkan pada bulan Juni 2004 bahwa dari total 1.579

pasien, 596 di antara mereka mengidap Aids dan 983

terjangkit HIV.32

Keadaan Provinsi Papua dan Papua Barat menyulitkan

implemantasi atas Otsus yang diberikan, sehingga muncul

kebijakan dari Pemerintah Pusat pada bulan September 2011

dengan membentuk badan baru bernama Unit Percepatan

Pembangunan di Papua dan Papua Barat atau selanjutnya

disebut dengan UP4B dibawah arahan Wakil Presiden dan

dipimpin Jenderal Purnawirawan Bambang Darmono. UP4B

hadir sebagai salah satu badan yang berfokus pada

pembangunan atas amanah UU Otsus, sehingga menguatkan

pembangunan yang efektif dan efesien.

Berdasarkan keadaan tersebut diundangkannya Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

31 Papua Miliki Angka Kematian Balita Tertinggi di Dunia, dalam Cenderawasih Pos, 22Februari 2003.32 HIV/AIDS Membayangi Peluang Otonomi Khusus Papua, dalam Kompas, 1 November 2004.

32

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, mempertegaskan Status kekhususan yang

diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat

empat hal yang diatur, antara lain;33

1. Kekhususan bidang pengelolaan keuangan Pasal

34;

2. Lembaga khusus Dewan Perwakilan Rakyat Papua

(DPRP) Pasal 6 s/d 10 dan Majelis Rakyat Papua

(MRP) Pasal 19 s/d Pasal 25;

3. Pembentukan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)

dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Pasal 29

s/d 31, dan;

4. Kewenangan khusus daerah Pasal 4, bidang

perekonomian Pasal 38 s/d 42, bidang pendidikan

dan kebudayaan Pasal 56 s/d 58, bidang kesehatan

Pasal 59 s/d 60, bidang kependudukan dan

ketenagakerjaan Pasal 61 s/d 62, bidang lingkungan

33 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiPapua.

33

hidup Pasal 63 s/d 64, dan; bidang sosial Pasal 65

s/d 66.

Berjalannya otonomi khusus di Provinsi Papua selama

kurun waktu 12 tahun masih terdapat berbagai pertentangan

dari kalangan masyarakat Papua. Berbagai gejolak politik,

keamanan dan hukum masih menjadi agenda utama pemerintah

Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Papua, namun

demikian mayarakat Papua yang masuk menjadi bagian dari

Pemerintah Daerah di Provinsi Papua masih berkeyakinan

terhadap penyelenggaraan otonomi khusus untuk terus

berkonsolidasi dengan pemerintah Pusat. Indikator dari

beberapa sifat kekhususan tersebut yang akan menjadi

fokus penelitian Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan otonomi khusus Papua dalam

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?

34

2. Bagaimana sistem penyelenggaran otonomi khusus Papua

dalam tinjauan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kebijakan otonomi khusus Papua dalam

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

2. Mengetahui sistem penyelenggaran otonomi khusus

Papua dalam tinjauan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun

pemahaman tentang konsep hukum dan implementasinya

35

serta menjadi referensi dan acuan penelitian dalam

hal pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua.

2. Kegunaan Praktis

Memberi masukan dan informasi kepada badan pembuat

peraturan perundang-undangan dalam menetapkan

kebijakan, yang terkait dengan implikasi yuridis

yang timbul dalam implementasi otonomi khusus

propinsi Papua dalam pembentukan peraturan daerah.

36


Recommended