Date post: | 10-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 7 times |
Download: | 0 times |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat
persuasif dan melalui pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
perilaku, dan kemampuan masyarakat dalam menemukan, merencanakan serta memecahkan
masalah menggunakan sumber daya atau potensi yang mereka miliki termasuk partisipasi dan
dukungan tokoh – tokoh masyarakat serta LSM yang masih ada dan hidup di masyarakat
(Suhendra, K. 2006).
Penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan akan menghasilkan
kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dengan demikian penggerakkan dan pemberdayaan
masyarakat merupakan proses sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya kemandirian
masyarakat dibidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat
mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya. Peran serta masyarakat di dalam
pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin banyaknya jumlah anggota masyarakat yang
mau memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti, Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika
ada kegiatan penyuluhan kesehatan, mau menjadi kader kesehatan, mau menjadi peserta Tabulin,
JPKM, dan lain sebagainya (Notoatmodjo, 2006).
Partisipasi masyarakat adalah proses dimana individu, keluarga, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha dan masyarakat luas pada umumnya, bidan bersama sektor yang
bersangkutan menggerakkan masyarakat dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yaitu proses
pembentukkan organisasi di masyarakat dan dapat mengidentifikasi kebutuhan prioritas dari
kebutuhan tersebut, serta mengembangkan keyakinan dan berusaha memenuhi atas sumber –
sumber yang ada di masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan langsung
masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti
sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi sering kali ditentukan secara masif yakni dari
banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan
berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi
masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan
keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam
pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak
hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tetapi juga mulai tahap perencanaan pengambilan
keputusan (Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, 2010)
Kesehatan Masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, keberhasilan program-
program promosi kesehatan dalam rangka upaya peningkatan kesehatan bergantung kepada
dukungan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu peran serta masyarakat mutlak di dalam suatu
upaya kesehatan termasuk upaya kesehatan ibu dan anak. Upaya kesehatan bukan oleh
pemerintah saja, peran serta masyarakat merupakan unsur mutlak dalam kegiatan upaya
kesehatan kemandirian masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatannya dan
menjalin upaya pemecahannya sendiri adalah kunci kelangsungan pembangunan. GBHN
mengamanatkan agar dapat dikembangkan suatu sistem kesehatan nasional yang semakin
mendorong peningkatan peran serta masyarakat (Notoatmodjo, 2006).
Konsep pemberdayaan mengemukan sejak dicanangkannya Strategi Global WHO tahun
1984, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa. Dalam deklarasi tersebut
dinyatakan tentang perlunya mendorong terciptanya kebijakan berwawasan kesehatan,
lingkungan yang mendukung, reorentasi dalam pelayanan kesehatan, keterampilan individu, dan
gerakan masyarakat. Olehnya itu, untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas tentang
dimensi dan determinasi partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah adalah : Bagaimanakan
Dimensi dan Determinan Partisipasi dan Bias Pemberdayaan masyarakat ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Dimensi
dan Determinan Partisipasi dan Bias Pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemberdayaan Masyarakat
1. Pengertian Pemberdayaan
Menurut definisinya, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi, dan mengendalikan
kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat demi perbaikan kehidupannya.
Pemberdayaan, dapat juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau
kekuatan (strength) kepada masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu
bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk
mencapai tujuan-tujuannya. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk
memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok miskin untuk bersuara (voice) serta
kemampuan dan hak untuk memilih (choice). Karena itu,pemberdayaan dapat diartikan sebagai
proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari objek yang diberdayakan. Dasar
pemikiran suatu objek atau target group perlu diberdayakan karena objek tersebut mempunyai
keterbatasan, kewtidakberdayaan, keterbelakangan, dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh
karenanya guna mengupayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan
upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. Penambahan nilai
ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik, dan budaya
(Fahrudin, A., 2008).
2. Jenis Upaya Pemberdayaan Masyarakat :
a. Upaya meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat (secara
sistematis) untuk:
1) Mempunyai daya/kekuatan (mampu bertahan, mampu mengembangkan diri, mampu
mandiri)
2) Memberikan kesempatan & kemauan bersuara
3) Kemampuan dan hak untuk memilih.
b. Upaya meningkatkan peran aktif masyarakat untuk mencegah & mengatasi masalah
dengan kegiatan dari, oleh, dan untuk masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
3. Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan
yang harus dilaksanakan, yaitu:
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dari
masyarakatnya memiliki potensi (daya yang dapat dikembangkan.
b. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya,
serta berupaya untuk mengembangkannya.
c. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka
ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang. Memberdayakan
mengandung pula arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan harus
dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah (Notoatmodjo, 2007).
B. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi adalah salah satu elemen pemberdayaan masyarakat yang menjadi pendukung
utama bagi keberhasilan dan keberlanjutan sebuah program pembangunan. Partisipasi juga
membuka peluang bagi terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat, pelaku
serta aparat pemerintahan bisa terlibat, saling belajar, berbagi pengalaman dan menggabungkan
kekuatan serta kemampuan yang dimiliki untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik. World
Bank (1995) dalam Gaventa, et al (2001:5) menjelaskan, partisipasi sebagai proses dimana para
pemilik kepentingan (stakeholder) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan
keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka (Fahrudin, A., 2008).
Mubyarto dalam Ndraha (1990) memberikan penjelasan bahwa partisipasi merupakan
kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program dengan kemampuan setiap orang tanpa
berarti mengorbankan diri sendiri. Selanjutnya David dalam Syamsi (1986:54) mengemukakan
pengertian partisipasi sebagai berikut : “participation is defined as mental and emotional
involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goal
and share responsibility in them”. (Partisipasi merupakan keterlibatan seseorang dalam situasi
kelompok baik secara mental maupun emosional untuk memperkuat mereka serta untuk memberi
masukan terhadap tujuan kelompok dan membagi tanggung jawab masing-masing)
(Notoatmodjo, 2007).
Dari definisi tersebut terdapat beberapa gagasan utama yaitu : partisipasi memerlukan
keterlibatan mental dan emosi yang sama pentingnya dengan keterlibatan fisik, Partisipasi
mendorong seseorang atau kelompok untuk mendukung situasi tertentu dan Partisipasi
mendorong orang untuk ikut bertanggung jawab dalam suatu kegiatan sebagai akibat dari
sumbangan atau dukungan yang diberikan secara emosional dan fisik. Ketiga gagasan mengenai
partisipasi ini sangat berkaitan erat dengan proses pengembangan masyarakat dalam
pemberdayaan masyarakat.
Kemudian Oakley (1991:1-10) mengartikan partisipasi kedalam tiga bentuk, yaitu :
a. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi
dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan
secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat desa menetapkan
sebelumnya program dan proyek pembangunan.
b. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang panjang
diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrumen yang
fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan
organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk organisasional sebagai
sarana bagi partisipasi, seperti organisasi-organisasi yang biasa dibentuk atau
organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari adanya proses partisipasi.
Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya
melalui beberapa dimensi, yaitu :
1) Sumbangan pikiran (ide atau gagasan)
2) Sumbangan materi (dana, barang, alat)
3) Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja)
4) Memanfaatkan/melaksanakan pelayanan pembangunan.
c. Partisipasi sebagai pemberdayaan, partisipasi merupakan latihan pemberdayaan bagi
masyarakat desa (Notoatmodjo, 2007).
Berbagai penafsiran yang ada dan beragam mengenai arti kata tentang partisipasi itu
sendiri yaitu :
1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta
dalam pengambilan keputusan.
2) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau kelompok
yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal
itu.
3) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi.
4) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri.
5) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan
lingkungan mereka.
Partisipasi sebagai “upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap
sumber daya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan
gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu
(Notoatmodjo, 2007).
C. Dimensi Partisipasi
Adanya tiga dimensi partisipasi,yaitu:
a. Keterlibatan semua unsure atau keterwakilan kelompok (group representation) dalam
proses pengambilan keputusan. namun mengingat sulitnya membuat peta
pengelompokan masyarakat ,maka cara paling mudah pada tahap ini adalah mengajak
semua anggota masyarakat untuk mengikuti tahap ini.
b. Kontribusi massa sebagai pelaksana /implementor dari keputusan yang diambil, ada
tiga kemungkinan reaksi masyarakatyang muncul, yaitu:
1) Secara terbuka menerima keputusan dan bersedia melsaksanakan,
2) Secara terbuka menolaknya, dan
3) Tidak secara terbuka menolak, namun menunggu perkembangan yang terjadi.
Meskipun demikian, mengambil keputusan harus terus menerus mendorong agar
semua pihak bersikap realistis, menerima keputusan secara bertanggung jawab,
serta secara bersama sama menanggung risiko dari keputusan tersebut.Hal ini
harus disadari,karena program program yang diputuskan adalah program yang
ditujukan untuk masyarakat, oleh karenanya pelaksanya juga masyarakat
(Fahrudin, A., 2008).
c. Anggota masyarakat secara bersama-sama menikmati hasil dari program yang
dilaksanakan. bagian ini penting,sebab sering terjadi karena merasa berjasa, ada pihak
tertentu menuntut bagian manfaat yang paling besar.Oleh karenanya,pada tahap ini
perlu ada keselarasan antara asas pemerataan dan asas keadilan (Notoatmodjo, 2007).
Cary (1970) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut
terpenuhi:
1) Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan
anggota-anggota masyarakat untuk berpartisipasi.
2) Mampu untuk berpartisipasi,adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat
sehingga mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk
program.
3) Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam program.
Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama-sama. Apabila orang mau dan mampu tetapi
tidak merdeka untuk berpartisipasi, maka orang tidak akan berpartisipasi. Menurut Ross (1960),
terdapat tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu:
a. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat
mengidentifikasi masalah,prioritas masalah dan melihat permasalahan secara
komprehensif.
b. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan,dan belajar untuk
mengambil keputusan.
c. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
Batasan Ross di atas sebenarnya menuntut prasyarat bahwa orang-orang yang akan
berpartisipasi harus memenuhi persyaratan tertentu,yaitu kompetensi kognisi tertentu. Pendapat
ini mungkin cocok diterapkan pada kelompok masyarakat yang cukup cerdas, namun
mengandung banyak kelemahan apabila diterapkan pada masyarakat yang “agak terbelakang”
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Chapin (1939), partisipasi dapat diukur dari yang rendah sampai yang tertinggi,
yaitu:
a) Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan.
b) Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan.
c) Keanggotaan dalam kepanitiaan kegiatan (Fahrudin, A., 2008).
d) Posisi kepemimpinan.
Berdasarkan teori Chapin, maka partisipasi yang tertinggi dilakukan oleh pemimpin.
Meskipun terlihat agak kontroversial, namun bisa dapat dipahami, karena dalam konteks
kepemimpinan,walaupun jumlahnya paling sedikit, pemimpin menentukan
keberhasilanorganisasi. Keterbukaan (inclusive) akan sangat membantu terutama dalam konteks
keterbatasan diri, maupun implementasi kemitraan (partnership). Selanjutnya Sutton dan Kolaja
(1960), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi tiga, yaitu:
1) Pelaku, adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan aktif dalam program.
2) Penerima, adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang
dijalankan.
3) Publik, adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan
program,tetapi dapat membantu pihak pelaku.
Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (a) inklusi dan
partisipasi; (b) akses pada informasi; (c) kapasitas organisasi lokal; dan (d) profesionalitas
pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama lain dan saling mendukung (Fahrudin,
A., 2008).
Inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan partisipasi
berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah
mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan. Menyediakan ruang partisipasi bagi
masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam pembangunan adalah memberi mereka otoritas
dan kontrol atas keputusan mengenai sumber-sumber pembangunan. Partisipasi masyarakat
miskin dalam menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun daerah
diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana, prasarana/sarana, tenaga
ahli, dll) yang terbatas secara nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut (Suhendra, K. 2006).
Partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan hanya untuk
didengar suaranya tanpa betul-betul memberi peluang bagi mereka untuk ikut mengambil
keputusan. Pengambilan keputusan yang partisipatif tidak selalu harmonis dan seringkali ada
banyak prioritas yang harus dipilih, oleh sebab itu mekanisme resolusi konflik kepentingan harus
dikuasai oleh pemerintah guna mengelola ketidak-sepakatan (Notoatmodjo, 2007).
Ada berbagai bentuk partisipasi, yaitu:
1. Secara langsung, dengan perwakilan (yaitu memilih wakil dari kelompok-kelompok
masyarakat),
2. Secara politis (yaitu melalui pemilihan terhadap mereka yang mencalonkan diri untuk
mewakili mereka),
3. Berbasis informasi (yaitu dengan data yang diolah dan dilaporkan kepada pengambil
keputusan),
4. Berbasis mekanisme pasar yang kompetitif (misalnya dengan pembayaran terhadap jasa
yang diterima).
Partisipasi secara langsung oleh masing-masing anggota masyarakat adalah tidak
realistik, kecuali pada masyarakat yang jumlah penduduknya sedikit, atau untuk mengambil
keputusan-keputusan kenegaraan yang mendasar melalui referendum. Yang umum dilakukan
adalah partisipasi secara tidak langsung, oleh wakil-wakil masyarakat atau berdasarkan informasi
dan mekanisme pasar. Organisasi berbasis masyarakat seperti lembaga riset, LSM, organisasi
keagamaan, dll. mempunyai peran yang penting dalam membawa suara masyarakat miskin untuk
didengar oleh pengambil keputusan tingkat nasional dan daerah (Suhendra, K. 2006).
Walaupun keterwakilan sudah dilakukan dengan benar, proses partisipasi masih belum
benar jika penyelenggaraannya dilakukan secara tidak sungguh-sungguh. Upaya yang dilandasi
niat jujur untuk menampung pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang menyangkut ruang
hidup mereka dapat menjadi tidak berhasil, jika pendapat wakil-wakil masyarakat yang
diharapkan mewakili kepentingan semua unsur masyarakat itu kemudian hanya diproses
sekedarnya saja, tanpa upaya memahami pertimbangan apa dibalik pendapat yang diutarakan
wakil-wakil tersebut (Suhendra, K. 2006).
Partisipasi semu seperti itu menambah ongkos pembangunan, tanpa ada manfaat yang
jelas bagi peserta yang diajak berpartisipasi. Upaya melibatkan masyarakat dalam pengertian
yang benar adalah memberi masyarakat kewenangan untuk memutuskan sendiri apa-apa yang
menurut mereka penting dalam kehidupan mereka (Notoatmodjo, 2007).
Unsur ke dua, akses pada informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara
masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi
meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan kewajiban dalam
bermasyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, perkembangan permintaan dan penawaran
pasar, dsb. Masyarakat pedesaan terpencil tidak mempunyai akses terhadap semua informasi
tersebut, karena hambatan bahasa, budaya dan jarak fisik. Masyarakat yang informed,
mempunyai posisi yang baik untuk memperoleh manfaat dari peluang yang ada, memanfaatkan
akses terhadap pelayanan umum, menggunakan hak-haknya, dan membuat pemerintah dan
pihak-pihak lain yang terlibat bersikap akuntabel atas kebijakan dan tindakan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat (Suhendra, K. 2006).
Kapasitas organisasi lokal adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama,
mengorganisasikan perorangan dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi
sumber-sumber daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Profesionalitas pelaku
pemberdaya adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM, untuk
mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk
melayani kepentingan masyarakat. Pelaku pemberdaya juga harus mampu
mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
D. Dimensi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, paling tidak ada 3 level yang harus
dicapai oleh program pemberdayaan, yakni:
1. Pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan.
2. Pemberdayaan pada level kelompok atau organisasi, yakni yang berhubungan dengan
peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan.
3. Pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian
masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis, maupun politis (Notoatmodjo, 2006).
Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan adalah
sebagai berikut:
1) Level Individu
a. Pengembangan potensi dan keterampilan
b. Kepemilikan aset/modal
c. Kekuatan fisik
d. Tidak terisolasi
e. Penguasaan keterampilan
f. Keberfungsian lembaga usaha
2) Level Kelompok/Organisasi:
a. Partisipasi dalam pembangunan
b. Perencanaan dan pengambilan keputusan
c. Pelaksanaan dan pengawasan keputusan bersama
d. Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan
3) Level Sistem:
a. Kemandirian masyarakat
b. Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar
Menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008), setidaknya ada enam dimensi pengembangan
atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-
bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:
1. Pengembangan social
2. Pengembangan ekonomi
3. Pengembangan politik
4. Pengembangan budaya
5. Pengembangan lingkungan
6. Pengembangan personal/ spiritual
Beberapa dimensi lebih fundamental daripada lainnya; misalnya banyak orang
(khususnya orang-orang pribumi) akan beranggapan bahwa pengembangan personal/spiritual
merupakan landasan untuk semua pengembangan yang lain. Tetapi untuk tujuan penyusunan
model pengembangan masyarakat dan model pemikiran tentang peran pekerja masyarakat,
keenam dimensi di atas dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting (Fahrudin, A., 2008).
Dalam situasi tertentu, tidak semua dimensi ini akan memiliki prioritas yang setara.
Masyarakat mana pun akan mengembangkan keenam dimensi tersebut untuk level-level yang
berbeda; misalnya, satu masyarakat mungkin memiliki basis ekonomi yang kuat, partisipasi
politik yang sehat dan identitas budaya yang kuat, tapi sekaligus memiliki pelayanan
kemanusiaan yang kurang baik, lingkungan fisik yang buruk, harga diri yang rendah dan tingkat
pengasingan yang tinggi. Dalam masyarakat yang demikian, pengembangan lingkungan dan
personal/spiritual akan menjadi prioritas tertinggi dalam program pengembangan masyarakat
(Notoatmodjo, 2007).
Namun begitu, masyarakat lainnya akan mencerminkan gambaran yang berbeda dan
memerlukan prioritas yang berbeda dalam proses pengembangan. Poin penting yaitu bahwa
keenam aspek pengembangan masyarakat tersebut sangat penting dan untuk memiliki
masyarakat yang benar-benar sehat dan berfungsi, perlu mencapai level pengembangan yang
tinggi untuk keenam dimensi secara keseluruhan (Fahrudin, A., 2008).
Pekerja masyarakat manapun atau siapa pun yang terkait dengan program pengembangan
masyarakat harus memperhatikan keenam dimensi itu dan tujuan tersebut harus memaksimalkan
pengembangan pada seluruh dimensi itu. Schuler, Hashemi dan Riley dalam (Edi Suharto;2008)
mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment
index atau indeks pemberdayaan:
a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah
tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah
tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
b. Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-
barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu);
kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu
dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan
sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang
tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
c. Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-
barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian
keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang
dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat
membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat
keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan
keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak,
memperoleh kredit usaha.
e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam
satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang,
tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang
bekerja di luar rumah.
f. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah
desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya
memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
g. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia
pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya,
terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya.
h. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset
produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-
aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya (Notoatmodjo, 2007).
E. Bias Pemberdayaan Masyarakat
Harus disadari, bahwa dalam proses pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan sekarang ini terdapat adanya berbagai bias terhadap
pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan
yakni :
1. Adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari
pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material
lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi
ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan
itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut
jalan pikiran yang demikian.
2. Anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas
lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di
tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan
pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang
mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
Sementara itu, pembangunan masyarakat di tingkat bawah
seringkali dianggap lebih memerlukan bantuan material daripada
keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering
mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang
mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam
pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin
tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
3. Bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya
atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus
dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan
meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini tercermin pada reaksi
pertama terhadap program Inpres Desa Tertingal (IDT) yang meragukan
apakah tepat masyarakat miskin dipersilahkan memilih sendiri bagaimana
memanfaatkan dana bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini
banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi
salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat.
Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek
pembangunan.
4. Ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR,
diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera
menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan
masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber
pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam
kerangka waktu (time frame) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian
beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak
memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada
pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
5. Anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor
tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang,
karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-
besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dan
usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan perdesaan dipandang tidak
menguntungkan dan memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah
mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-
sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil yaitu
1. Partisipasi masyarakat adalah proses dimana individu, keluarga, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengidentifikasi
kebutuhan prioritas dari kebutuhan tersebut, serta mengembangkan keyakinan dan
berusaha memenuhi atas sumber – sumber yang ada di masyarakat.
2. Ada enam dimensi pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya
berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi
tersebut yaitu:
a. Pengembangan social
b. Pengembangan ekonomi
c. Pengembangan politik
d. Pengembangan budaya
e. Pengembangan lingkungan
f. Pengembangan personal/ spiritual
3. Ada 3 level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni:
a. Pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan.
b. Pemberdayaan pada level kelompok atau organisasi, yakni yang berhubungan dengan
peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan.
c. Pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian
masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis, maupun politis.
B. Saran
Diharapkan agar makalah ini dapat menjadi acuan dalam mempelajari tentang dimensi
dan determinan partisipasi pemberdayaan masyarakat dalam mendukung program-program
kesehatan dan harapan penulis makalah ini tidak hanya berguna bagi penulis tetapi juga berguna
bagi semua pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, 2010 Bappenas, Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat. Http:bappenas.co.id. Diakses Tanggal 12 Oktober 2014.
Fahrudin, A., 2008. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Humaniora: Bandung.
Salman Darmawan. 2002, Apa Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat. Makalah, PSKMP Unhas, Makassar.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. PT Refika Aditama: Bandung.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Alfabeta: Bandung.Notoatmodjo, S. 2006. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei.
Jakarta : Rineka Cipta. 2003.Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan iLmu Perilaku;Rineka Cipta.JakartaHttp://Masyarakat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas”.html