+ All documents
Home > Documents > Pemanfaatan Biodegradable film

Pemanfaatan Biodegradable film

Date post: 17-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
23
ACARA III PENGUJIAN KARAKTERISTIK DAN APLIKASI BIODEGRADABLE FILM A. Pendahuluan 1. Latar belakang Kemasan biodegradable adalah kemasan yang mampu didaur ulang secara alami oleh mikroba. Plastik biodegradable merupakan plastik yang dapat terdegradasi secara alami dan biasanya berbahan dasar material organik, misalnya pati. Plastik biodegradable terbuat dari polimer alami. Jenisnya antara lain polyhidroksialkanoat acid  (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylactic acid (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung/pati oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi. Dalam aplikasi biodegrable dapat ditentukan dalam tiga hal yaitu kelarutan biodegradable film, menentukan WVP biodegradable film dengan polimer polar dan plastik non polar, dan mengukur susut berat buah yang dikemas dengan biodegradable film. Kelarutan biodegradbe film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas. WVP biodegradable film adalah jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Susut berat yaitu berkurangnya bahan dipengaruhi oleh kemampuan laju transmisi uap air. Praktikum yang dilaksanakan yaitu menetukan kelarutan biodegradble dengan tujuan mengetahui sifat kelarutan dari film yang dibuat dengan menggunakan tepung maizena, tepung tapioka dan tepung komposit. Praktikum penentuan permeabilitas uap air yang bertujuan untuk mengetahui jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Sedangkan praktikum aplikasi biodegradable film pada buah
Transcript

ACARA III

PENGUJIAN KARAKTERISTIK DAN APLIKASI

BIODEGRADABLE FILM

A. Pendahuluan

1. Latar belakang

Kemasan biodegradable adalah kemasan yang mampu didaur ulang

secara alami oleh mikroba. Plastik biodegradable merupakan plastik yang dapat

terdegradasi secara alami dan biasanya berbahan dasar material organik,

misalnya pati. Plastik biodegradable terbuat dari polimer alami. Jenisnya

antara lain polyhidroksialkanoat acid  (PHA) dan poli-asam amino yang

berasal dari sel bakteri, polylactic acid (PLA) yang merupakan modifikasi

asam laktat hasil perubahan zat tepung/pati oleh mikroorganisme, dan

poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi.

Dalam aplikasi biodegrable dapat ditentukan dalam tiga hal yaitu

kelarutan biodegradable film, menentukan WVP biodegradable film dengan

polimer polar dan plastik non polar, dan mengukur susut berat buah yang

dikemas dengan biodegradable film. Kelarutan biodegradbe film

merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas

film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki

tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk

yang dikemas. WVP biodegradable film adalah jumlah uap air yang hilang

per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Susut berat yaitu

berkurangnya bahan dipengaruhi oleh kemampuan laju transmisi uap air.

Praktikum yang dilaksanakan yaitu menetukan kelarutan

biodegradble dengan tujuan mengetahui sifat kelarutan dari film yang dibuat

dengan menggunakan tepung maizena, tepung tapioka dan tepung komposit.

Praktikum penentuan permeabilitas uap air yang bertujuan untuk

mengetahui jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas

area film. Sedangkan praktikum aplikasi biodegradable film pada buah

anggur bertujuan untuk mengetahui susut berat anggur setelah

pembungkusan anggur dengar menggunakan tiga perlakuan yaitu anggur

tanpa dibungkus, anggur dibungkus dengan plastik wrap dan anggur

dibungkus dengan edible film.

2. Tujuan praktikum

Tujuan dari praktikum acara III “Pengujian Karakteristik dan

Aplikasi Biodegradable Film” adalah

a. Menentukan kelarutan biodegradable film.

b. Menentukan WVP biodegradable film dengan polimer polar dan plastik

non polar.

c. Mengukur susut berat buah yang dikemas dengan biodegradable film.

B. Tinjauan Pustaka

Saat ini, pemanfaatan plastik meningkat dengan cepat. Hal ini karena

plastik dapat digunakan di banyak aplikasi seperti kemasan yang kebutuhannya

dalam jumlah yang besar seperti plastik konvensional dan kelebihan kemasan

plastik antara lain adalah karena mereka sangat baik dari segi umur, memiliki

waktu yang lama. Plastik biodegradable menawarkan satu-satunya produk yang

alami. Di antara semua biopolimer, pati menjadi bahan yang potensial untuk

biodegradable film. Pati terdiri dari dua jenis polisakarida, yaitu amilosa dan

amilopektin. Amilosa adalah molekul linear dengan beberapa cabang. Kadar

amilosa memberikan kontribusi untuk kekuatan film. sedangkan amilopektin

adalah molekul linear yang bercabang dan struktur bercabang dari amilopektin

pada umumnya mengarah ke pengemas film dengan sifat mekanik yang rendah

(Ezeoha and Ezenwanne, 2013).

Pengemasan merupakan faktor penting dalam penjualan produk

makanan. Fungsi kemasan adalah mempercantik produk, melindungi produk

dari bahaya bakteri dan bahan berbahaya lain, sehingga meningkatkan mutu

suatu produk makanan dan minuman. Meskipun usaha yang dijalani dimulai

dari usaha rumahan, tetapi aspek pengemasan harus diperhatikan.

Menggunakan bahan kemasan yang aman bagi kesehatan (food grade) sesuai

standar keamanan pangan (food safety) dan tersedia dipasaran dalam skala

kecil. Selain itu, jenis kemasan yang digunakan perlu disesuaikan dengan

produk makanan atau minuman yang akan dikemas. Berikut ini beberapa jenis

kemasan yang di pasaran yaitu composite chan, toples PET, botol PET, plastik

multilayer OPP, standing up pouch, dan karton (Yuyun, 2010).

Proses pengemasan yang baik dapat mengendalikan proses peningkatan

mutu suatu produk pangan sehingga produk tersebut dapat diterima dan

dikonsumsi oleh konsumen. Kemasan atau packaging memiliki peran serta

fungsi yang besar dalam usaha makanan dan minuman. Pada praktek industri

pangan modern, kemasan merupakan faktor penting dalam upaya untuk

memastikan bahwa makanan dan minuman yang dihasilkan mudah dijajakkan

dan aman (Yuyun dan Delli, 2011).

Salah satu faktor yang penting dalam pemilihan kemasan adalah sifat

impermeabilitas dari kemasan tersebut. Kemasan makanan atau minuman

dirancang untuk menjaga mutu pangan. Fungsi perlindungan ini meliputi

proteksi terhadap uap air, oksigen, cahaya, debu, pengurangan bobot,

kerusakan mekanik, serta mencegah invasi mikroba dan serangga, kemasan

yang buruk memudahkan penyusupan jasad renik (Arisman, 2009).

Berdasarkan jenisnya, kemasan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu

kemasan inti, kemasan jual dan kemasan transpor. Kemasan inti yaitu kemasan

yang kontak langsung dengan produk yang dikemas. Fungsi kemasan secara

umum yaitu sebagai wadah produk yang bersangkutan. Melindungi produk,

pengemasan yang baik diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan bentuk fisik ,

aroma maupun tekstur produk dari awal pemasaran hingga ketangan

konsumen. Fungsi selanjutnya yakni mengamankan produk, produk yang

dikemas dengans empurna biasanya akan terhindar dari kebocoran dan

tumbuhnya jamur sehingga kebersihan dan kesehatan produk tetap terjaga.

Menjaga keawetan produk, kemasan berperan dalam menekan faktor-faktor

yang menyebabkan kerusakan produk, baik faktor alam bakteri perusak,

maupun keteledoran manusia sendiri misalnya, penyimpanan produk ditempat

yang kurang baik (Sutarminingsih, 2004).

Kemasan edible/biodegradable secara komersial telah dikembangkan

sebagai kemasan ramah lingkungan. Penggabungan bahan aktif ke dalam

formulasi kemasan film edible/biodegadable bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan kemasan film tersebut untuk melindungi dan mempertahankan

mutu produk terkemas yang dikenal sebagai kemasan aktif. Namun

demikian, kemasan aktif edible maupun biodegradable sejauh ini masih

mempunyai beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan kemasan

plastik konvensional, khususnya sifat fisis dan mekanis. Oleh karena ini,

aplikasi edible/biodegradable masih terbatas sebagai kemasan sekunder atau

tersier yang tentunya masih memerlukan kemasan pelindung lain; biasanya dari

plastik konvensional; untuk menjalankan fungsinya sebagai kemasan. Usaha

untuk memperbaiki kualitas edible film sebagai kemasan primer terus

dilakukan seperti pemilihan bahan baku dan penambahan aditif tertentu

(Warsiki dkk, 2012).

Edible film dan coating dapat mengontrol perpindahan massa antar

komponen dalam produk makanan dari kondisi sekitarnya, dengan demikian

penggunaan edible film dapat meningkatkan kualitas makanan dan

memperpanjang umur simpan. Karena kemampuannya untuk mengasosiasikan

dengan ikatan hidrogen. Gaya elektrostatik dan polimer hidrofilik seperti

polisakarida dapat membentuk rantai yang kuat untuk berinteraksi yang

menjadi penghalang yang baik untuk O2 dan CO2. Namun, interaksi ini

dipengaruhi oleh penyerapan air, dan peningkatan kelembaban relatif

mengurangi kemampuannya untuk menghalangi. Di sisi lain, sifat hidrofobik

jika terbuat lipid dapat memberikan sifat penghalang kelembaban yang lebih

efektif (Bozdemir dan Mehmet, 2003).

Pelapisan edible coating dapat memperpanjang masa simpan buah

selama 2 hari (menjadi 8 hari) pada suhu 28°C dan kelembapan 75−80%.

Aplikasi edible coating yang dibuat dari pektin, isolat protein kedelai, dan

gliseril monostearat (GMS), cenderung menurunkan susut bobot,

mempertahankan kadar air, memperlambat pelunakan, dan menghambat

perubahan warna dibandingkan tidak di beri perlakuan penambahan edible

coating. Aplikasi edible coating berbahan dasar selulosa, protein (whey protein

dan sodium caseinate) serta campuran bees wax dan sodium caseinate yang

bersifat penahan gas yang baik, tidak dapat mempertahankan mutu buah

selama penyimpanan. Penggunaan edible coating berbasis polisakarida (alginat

dan gellan) pada buah dapat memperpanjang masa simpan (Winarti dkk, 2012).

Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan

biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang

dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis

produk yang dikemas. Permeabilitas uap air merupakan jumlah uap air yang

hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah

satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka

permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin. migrasi uap air

umumnya terjadi pada bagian film yang hidrofilik. Dengan demikian ratio

antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan

mempengaruhi nilai laju transmisi uap air film tersebut. Semakin besar

hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan

semakin turun. (Nugroho dkk, 2012).

Silika gel merupakan adsorben dibuat dari pembekuan larutan koloid

dari asam silikat. Istilah dari silika menunjukkan senyawa silikon dioksida dan

mencakup berbagainya bentuk kristal termasuk silika, silika vitreous dan silika

amorf. Istilah "Gel" hanya menunjukkan kondisi bahan pada satu tahap

pembuatannya. Silica gel ini adalah struktur yang sangat berpori, ditandai

dengan keseragaman penataan pori-pori dan ukuran mereka. Daerah pori silika

gel bervariasi dengan metode pembuatan. Silika gel banyak digunakan sebagai

desikan. Perannya sebagai penyangga katalis, sebagai agen flatting di pelapis

dan sebagai adsorben selektif dalam kromatografi kolom mapan. Silika gel

dapat juga digunakan untuk pengolahan air limbah, kontrol kelembaban

atmosfer, pemurnian gas dan untuk penyulingan minyak bumi

(Ali et al., 2009).

Sebagai kemasan makanan, film yang sering diperlukan untuk

menghindari atau setidaknya mengurangi perpindahan kelembaban antara

makanan dan suasana sekitarnya, dan permeabilitas uap air harus serendah

mungkin. Permeabilitas uap air adalah konstan proporsional diasumsikan

independen dari gradien tekanan uap air diterapkan di film. Namun, bahan

hidrofilik, seperti film protein, menyimpang dari perilaku ideal ini karena

interaksi menyerap molekul air dengan kelompok polar dalam struktur film.

Penyimpangan dari perilaku ideal juga dapat disebabkan oleh efek dari struktur

bahan. Permeabilitas uap air dari edible film dari protein kacang hijau dengan

berbagai jenis dan konsentrasi plasticizer diperiksa (Wittaya, 2013).

C. Metodologi

1. Alat

a. Beker glass

b. Pengaduk kaca

c. Mikrometer

d. Oven

e. Mangkuk WVP

f. Desikator

g. Higrometer

h. Gunting

i. Neraca analitik

j. Kertas saring

k. Jangka sorong

2. Bahan

a. Silika gel

b. Film plastik biodegradable

c. Plastik polimer non polar (plastik wrap)

d. Malam (wax)

e. Buah anggur

f. Aquadest

Film kering

Pemotongan 2x2 cm

Pemasukan dalam gelas beker

Pengadukan selama 1 jam secara periodik

Penyaringan menggunakan kertas saring (kertas saring ditimbang

dahulu)

Pengovenan selama 15-20 menit

Aquadest 50 ml

Film WVP

Pengukuran luas permukaan

Penambahan 10 g silika gel

Penutupan

Perapatan dengan lilin

Penimbangan

Penyimpanan

Pengukuran tebal

Pemotongan sesuai WVP

Pengamatan perubahan berat Jam ke 0, 1, 2, 3, 4, 5

3. Cara Kerja

a. Penentuan Kelarutan Film

b. Penentuan Permeabilitas Uap Air

Anggur Anggur Anggur

Pembungkusan dengan plastik

wrap

Pembungkusan dengan edible

film

Perlakuan kontrol

Pengamatan perubahan berat Jam ke 0, 1, 2, 3, 4, 5

c. Aplikasi Biodegradable Film

D. Hasil dan Pembahasan

Tabel 3.1 Penentuan Kelarutan Film

Kel.Jenis

Biodegradable film

Berat film awal (g)

Berat kertas saring awal (g)

Berat kertas saring akhir (g)

Berat film tidak larut (g)

% kelarutan

film

1,2 Maizena 0,106 0,621 0,872 0,251 -136,792

3, 4 Tapioka 0,119 0,628 0,901 0,273 -129,411

5 Tapioka 2,5 g + maizena 2,5 0,124 0,616 0,882 0,266 -144,516

6 Tapioka 5 g 0,275 0,529 1,319 0,79 -187,2737 Maizena 5 g 0,103 0,527 0,606 0,079 23,300

8 Tapioka 2,5 g +maizena 2,5 g 0,92 0,6 0,828 0,692 75,563

9 Tapioka 3,75 g +maizena 1,25 g 0,103 0,717 0,805 0,088 14,563

10 Tapioka 1,25 g +maizena 3,75 g 0,55 0,6 0,864 0,248 54,90

Sumber : Laporan Sementara

Menurut Hawa dkk (2013), kelarutan edible film merupakan

karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan

keringnya. Protein memiliki sifat yang kurang baik yaitu yang mudah larut

dalam air dan kurang dapat menahan penguapan air. Sedangkan menurut

Nurjanah (2004), kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam

menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada

film yang dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung

jenis produk yang dikemas.

Dari tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa kelompok 1 dan 2 menggunakan

jenis biodegradble film maizena dengan berat awal 0,106 gr dilarutkan dalam

air hingga 30 menit dan disaring menggunakan kertas saring dengan berat

0,621 gr dan dilakukan pengovenan selama 15 menit dengan berat akhir kertas

saring yaitu 0,872 gr dengan berat film tidak terlarut yaitu 0,251 dan

didapatkan -136,792% kelarutan film. Kelompok 3 dan 4 menggunakan jenis

biodegradable film tapioka dengan berat awal 0,119 gr, kertas saring yang

digunakan mempunyai berat 0,628 dan setelah dioven beratnya menjadi 0,901

sehingga diketahui berat film tidal larut adalah 0,273 gr dengan kelarutan film

yaitu -129,411%. Kelompok 5 menggunakan tepung komposit yaitu tepung

maizena 2,5 gr dan tepung tapioka 2,5 gr, berat awal film yaitu 0,124 gr.

Menggunakan kertas saring 0,616 gr dan setelah digunakan kertas saring

mempunyai berat 0,882 gr sehingga berat film yang tidak larut adalah 0,266 gr

serta diperoleh kelarutan film yaitu -144,516%. Kelompok 6 menggunakan

jenis biodegradble film tapioka dengan berat awal 0,275 gr dilarutkan dalam air

dan disaring menggunakan kertas saring dengan berat 0,529 gr dengan berat

akhir kertas saring yaitu 1,319 gr dengan berat film tidak terlarut yaitu 0,79 dan

didapatkan -187,273% kelarutan film. Kelompok 7 menggunakan jenis

biodegradable film maizena dengan berat awal 0,103 gr, kertas saring yang

digunakan mempunyai berat 0,527 gr dan setelah dioven beratnya menjadi

0,606 gr sehingga diketahui berat film tidak larut adalah 0,079 gr dengan

kelarutan film yaitu 23,300%. Kelompok 8 menggunakan tepung komposit

yaitu tepung maizena 2,5 gr dan tepung tapioka 2,5 gr, berat awal film yaitu

0,92 gr. Menggunakan kertas saring 0,6 gr dan setelah digunakan kertas saring

mempunyai berat 0,828 gr sehingga berat film yang tidak larut adalah 0,692 gr

serta diperoleh kelarutan film yaitu 75,563%. Kelompok 9 menggunakan

tepung komposit yaitu tepung maizena 3,75 gr dan tepung tapioka 1,25 gr,

berat awal film yaitu 0,103 gr. Menggunakan kertas saring 0,717 gr dan setelah

digunakan kertas saring mempunyai berat 0,805 gr sehingga berat film yang

tidak larut adalah 0,088 gr. Diperoleh kelarutan film yaitu 14,563%. Kelompok

10 menggunakan tepung komposit yaitu tepung maizena 1,25 gr dan tepung

tapioka 3,75 gr, berat awal film yaitu 0,55 gr. Menggunakan kertas saring 0,6

gr dan setelah digunakan kertas saring mempunyai berat 0,864 gr sehingga

berat film yang tidak larut adalah 0,248 gr dan diperoleh kelarutan film yaitu

54,90%. Berdasarkan data kelarutan edible film yang baik yaitu kelompok 9

dengan formulasi tapioka 3,75 g + maizena 1,25 g karena menurut Handajani

dkk (2010), jika film dilarutan menggunakan air dingin maka film harus

seminimal mungkin larut dalam air.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan edible film, yakni pH

larutan, tipe pelarut dan perlakuan pemanasan. Pengaturan pH larutan pada

pembuatan edible film gluten berkaitan dengan pH isoelektrik gluten. Pada

edible film yang dibuat pada pH isoelektrik gluten akan menghasilkan edible

film yang kurang baik, ketebalan edible film tidak merata dan protein

terkoagulasi menjadi partikel yang berukuran besar. Pada pengaturan pH

larutan edible film yang rendah dapat menyebabkan jaringan intermolekuler

yang tidak terbentuk dengan sempurna (Widyastuti dkk., 2008). Menurut

Rokhaniah (2003), suhu juga mempengaruhi kelarutan film. Beberapa molekul

ada yang tidak larut dalam air dingin, namun dengan semakin meningkatnya

suhu akan terjadi pelelehan atau “chain melting” yang memungkinkan

terpenetrasinya air ke bagian yang bersifat hidrofilik.

Menurut Haryadi (1999), Seharusnya dengan komposisi yang sama

kelarutan pada biodegradable film mamiliki nilai kelarutan yang sama.

Perbedaan ini terjadi karena pada saat pembuatan film penimbangan sampel

kurang tepat, selain itu dapat juga terjadi karena pengadukan dan

pemanasankurang sempurna. Kelarutan dipengaruhi oleh perbedaan kandungan

amilosa dan amilopektin tepung. Semakin tinggi kandungan amilopektin pada

tepung yang digunakan, nilai kelarutan. Biodegradable film semakin kecil

sehingga kemampuan film untuk melindungi produk yang dikemas dari

pengaruh air akan lebih tinggi, maka semakin jelek kualitas film tersebut untuk

dijadikan bahan pengemas makanan karena film mudah sekali larut dalam air

sehingga dapat memperbesar terjadinya kemungkinan kerusakan pada produk

terutama sifat-sifat bahan yang terpengaruh oleh kadar air. Amilopektin

umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati. Dengan kadar

amilopektin yang tinggi maka kelarutan tepung tapioka dalam air lebih rendah.

Menurut Krochta, J.M., (1997), boidegradable artinya harus

sepenuhnya terdegradasi oleh mikroba yang ada dalam tanah dan hanya

menghasilkan senyawa berupa karbondioksida, air, gas methan, serta cell

biomass. Plastik biodegradable merupakan plastik yang dapat terdegradasi

secara alami dan biasanya berbahan dasar material organik, misalnya pati.

Plastik biodegradable terbuat dari polimer alami. Jenisnya antara lain

polyhidroksialkanoat acid  (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel

bakteri, polylactic acid (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil

perubahan zat tepung/pati oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang

dapat terdegradasi.

Tabel 3.2 Penentuan Permeabilitas Uap Air

Kel Tebal (cm)

Diameter WVP (cm)

Berat awal (gr)

Jam ke-

1 2 3 4 5

1,2 0,04 37,37 125 152,2 125,9 125,4 125,5 125,63,4 0,04 58,59 108,6 108,8 108,8 109 109 109,35 - - - - - - - -6 - - - - - - - -7 - - - - - - - -8 - - - - - - - -9 0,02 8,42 132,11 132,15 133,90 133,8 132,19 133,8310 0,02 8,56 119,92 120,93 120,51 120,72 120,90 120,95

Sumber: Laporan Sementara

Menurut Siswanti (2008), laju transmisi/permeabilitas uap air

merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas

area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan

migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah

mungkin. sedangkan menurut Estiningtyas (2010), peremeabilitas terhadap gas

dan uap air (Gas or water vapor permeability = WVP) yang banyak digunakan

dalam teknologi pengemasan didefinisikan sebagai gram air per hari per 100

in2 permukaan kemasan, untuk ketebalan dan temperatur tertentu, dan

kelembaban relatif di satu sisi 0% dan pada sisi lainnya 95%. Metode yang

umum digunakan untuk mengukur permeabilitas uap ialah dengan metode

gravimetri. Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang bisa menyerap uap

air dan menjaga supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan dalam suatu

mangkuk alumunium yang kemudian ditutup dengan film plastik yang akan

diukur permeabilitasnya.

Permeabilitas air adalah kemampuan untuk melewatkan air. Sifat

permeabilitas plstik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu

berperan memodifikasi ruang kemasselama penyimpanan. Bilapermeabilitas

dari kemasannya rendah maka akan meningkatkan kadar air dariproduk.

Sehingga dapat merubah tekstur, rasa, dan aroma. bukan hanya itu sajaumur

simpan dari produk juga akan berkurang karena bila kadar air meningkatmaka

aktivitas air (aw) akan meningkatkan. Aw merupakan tingkat ketersedianair

bebas dalam bahan pangan untuk berlangsungnya reaksi – reaksi

kimia.Biokimia dan pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin dapat

menurunkanmutu produk tersebut (Winarno 2010).

Menurut Apriyanti dkk (2013), semakin rendah nilai permeabilitas uap

air atau semakin mendekati nol maka daya serap plastik terhadap uap air

semakin kecil. Jika plastik telah menyerap uap air dari luar maka plastik

tersebut tidak mampu untuk menyerap uap air lagi yang melebihi dari kapasitas

penyerapannya maka nilai permeabilitas uap air (WVP) akan semakin baik.

Kecilnya permeabilitas yang ada pada kemasan maka kemampuan kemasan

untuk melindungi produk semakin baik sehingga dapat menambah daya simpan

produk. juga tinggi.

Salah satu sifat edible film yang sangat penting agar dapat berfungsi

dengan baik sebagai pelapis makanan adalah permeabilitas uap air (water

vapor permeability). Water vapor permeability (WVP) adalah kemampuan dari

film untuk menahan laju uap air yang menembusnya. Permeabilitas film

dipengaruhi oleh beda konsentrasi antara satu sisi dengan sisi yang lain.

Semakin besar beda konsentrasi maka transfer massa yang terjadi semakin

cepat. Selain itu permeabilitas juga dipengaruhi oleh tebal dari film.

Penggunaan plasticizer harus diminimalkan karena beberapa hasil penelitian

menyatakan bahwa plasticizer dapat meningkatkan permeabilitas uap air dan

menurunkan sifat kohesi film yang mempengaruhi sifat mekanik film (Silva

dkk., 2009). Jenis Plasticizer yang paling umum digunakan pada pembuatan

edible film adalah gliserol, sorbitol dan polietilen glikol. Karena sifatnya yang

hidrofilik maka plasticizer ini cenderung banyak menyerap uap air (Suppakul,

2006).

Menurut Syarief dkk (1989), mekanisme uji permeabilitas yang

umum digunakan untuk mengukur permeabilitas uap ialah dengan metode

gravimetri. Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang bisa menyerap uap

air dan menjaga supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan dalam suatu

mangkuk alumunium yang kemudian ditutup dengan film plastik yang akan

diukur permeabilitasnya. Prinsip pengujian uji peremeabilitas terhadap gas

dan uap air (Gas or water vapor permeability = WVP) yang banyak

digunakan dalam teknologi pengemasan menghitung gram air per hari per 100

in2 permukaan kemasan, untuk ketebalan dan temperatur tertentu, dan

kelembaban relatif di satu sisi 0% dan pada sisi lainnya 95%.

Menurut Indriani (2009), silika gel merupakan material berpori,

berbentuk amorf yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya

sebagai adsorben. Ketidakteraturan struktur molekul dari silika gel menyebabkan

silika gel memiliki keragaman pori. Pembuatan silika gel dari abu sekam padi

dengan penambahan surfaktan sebagai molekul pengarah diharapkan akan

berpengaruh terhadap ukuran pori yang terbentuk pada material hasil. Menurut Ali

et al (2009), fungsilika gel sebagai penyangga katalis, sebagai agen flatting di

pelapis dan sebagai adsorben selektif dalam kromatografi kolom. Silika gel ini

memiliki aplikasi di modifikasi viskositas dan thixotropy dari cairan. Silika gel

dapat juga digunakan untuk pengolahan air limbah, kontrol kelembaban

atmosfer, pemurnian gas dan untuk penyulingan minyak bumi. Dalam

praktikum ini silica gel berfungsi untuk mengetahui permeabilitas uap air pada

edible film yang dibuat. Menurut Nugroho dkk (2012) penggunaan cawan

WVTR pada uji Laju Transmisi Uap Air (WVTR) pada kemasan edible film

digunakan untuk menempatkan silica gel yang masih aktif, karena kerapatanya

yang baik sehingga dapat digunakan untuk pengujian ini. Kemudian di seal

kemasan edible film pada bagian atas mulut cawan. Cawan yang umum

digunakan yakni berukuran 7,5 cm (diameter dalam) dan 8 cm (diameter

luar) dengan kedalaman 2 cm, yang didalamnya berisi 10 gram silica gel.

Tabel 3.2 yaitu penentuan permeabilitas uap air, kelompok 1 dan 2

ketebalan edible film yang terbuat dari tepung maizena yaitu 0,04 cm,

berdiameter 37,37 cm dan berat awal 125 gr. Pengamatan pada jam ke-1, 2, 3,

4, dan 5 yaitu 152,2; 125,9; 125,4; 125,5; 125,6. Kelompok 3 dan 4

menggunakan jenis tepung tapioka dengan ketebalan edible film yaitu 0,04 cm,

berdiameter 58,59 cm. Berat awal bahn yaitu 108,6 dan diteruskan pengamatan

pada jam ke-1, 2, 3, 4, dan 5 dengan berat yaitu 108,8; 108,8; 109; 109; 109,3.

Untuk kelompok 5 sampai 8 tidak melakukan percobaan karena edible film

yang dibuat tidak dapat digunakan untuk percobaan penentuan permeabilitas

uap air. Kelompok 9 menggunakan jenis tepung tapioka3,75 gr dan tepung

maizena 1,25 gr dengan ketebalan edible film yaitu 0,02 cm dan berdiameter

8,42 cm. Berat awal bahan yaitu 132,11, setelah didiamkan pada suhu ruang

dan diamati pada jam ke-1, 2, 3, 4, dan 5 beratnya yaitu 132,15; 133,90; 133,8;

132,19; 133,83. Kelompok terakhir yaitu kelompok 10 dengan tepung tapioka

1,25 gr dan tepung maizena 3,75 gr didapatkan edible film dengan ketebalan

0,02 cm, dengan diameter 8,56. Pada awalnya berat bahan yaitu 119,92 gr dan

diamati pada jam ke-1, 2, 3, 4, dan 5 dengan berat yaitu 120,93; 120,51;

120,72; 120,90; 120,95. Permeabilitas yang baik shif 2 yaitu kelompok 10

dengan formulasi tepung tapioka 3,75 gram + tepung maizena 1,25 gram. Pada

shif 2 hal ini sesuai dengan teori penggunaan tapioka dan maizena sebagai

bahan pembuat edible film diduga mampu menurunkan laju transmisi uap air

dari film yang dihasilkan. Hal ini diindikasikan dari laju transmisi uap air

edible film komposit tapioka dan maizena lebih rendah daripada edible film

komposit glukomanan-tapioka yang pernah diteliti Manuhara, dkk. (2008).

Menurut Estiningtyas (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi

konstanta permeabilitas kemasan adalah jenis film permeabilitas dari

polipropilen lebih kecil dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih

mudah menembus polipropilen daripada polietilen, suhu, ada tidaknya

plasticizer misal air, jenis polimer film, dan sifat dan besar molekul gas serta

solubilitas atau kelarutan gas.sedangkan menurut Syarief, et al. (1989), faktor-

faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah: suhu,

ada tidaknya plasticizer, jenis polimer film, sifat dan besar molekul gas,

dan solubilitas atau kelarutan gas.

Menurut Gontardet et al (1993), dilakukan pengujian uap air edible film

yaitu untuk mengetahui kualitas edible film berdasarkan jenis tepung yang

digunakan. Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per

satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi

edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya

terhadap uap air harus serendah mungkin.

Tabel 3.3 Aplikasi Biodegradable Film pada Buah AnggurKel Perlakuan Jam ke-

0 1 2 3 4 5

1 & 2Kontrol 11,8 11,2 11,2 11,1 11 11,3Wrap 13,3 13,4 13,3 13,4 13,3 13,2

Edible film 10 9,8 9,8 9,7 9,7 9,9

3 & 4Kontrol 13,5 13.4 13,4 13,3 13,3 13,3Wrap 10,5 10,4 10,4 10,4 10,3 10,4

Edible film - - - - - -

5Kontrol 11,6 11,6 11,6 11,5 11,5 11,6Wrap 10,2 10,2 10,2 10,2 10,2 10,2

Edible film 10,1 9,9 9,5 9,6 9,6 9,6

6

Kontrol 12,431 12,413 12,394 12,376 12,347 12,328

Wrap 11,565 11,550 11,549 11,547 11,542 11,539

Edible film 9,581 9,576 9,563 9,560 9,559 9,550

7

Kontrol 12,048 12,026 12,026 13,105 12,034 11,812

Wrap 12,020 11,989 10,359 11,921 11,911 11,802

Edible film 6,702 6,938 6,201 6,514 6,507 5,410

8Kontrol 10,93

1 10,909 10,905 10,900 10,800 11,000

Wrap 7,492 7,487 7,520 7,550 7,550 7,600Edible film 6,426 6,794 6,823 6,872 6,700 6,800

9Kontrol 13,17

9 13,125 12,859 12,410 12,485 12,900

Wrap 9,687 9,535 9,542 9,414 9,510 9,432Edible film 8,010 8,004 7,944 7,517 7,488 7,500

10

Kontrol 8,650 8,635 8,525 8,675 8,811 8,605

Wrap 12,465 12,436 12,511 12,411 12,514 12,542

Edible film 10,102 10,118 10,125 10,011 10,221 10,184

Sumber : Laporan Sementara

Payung Layuk (2001) menyebutkan bahwa penghambatan susut berat

buah, banyak dipengaruhi oleh kemampuan penghambatan laju transmisi uap

air (WVTR) film. Sedangkan WVTR edible film dipengaruhi oleh sifat alami

dari bahan pembuat edible film itu sendiri. Hal yang serupa juga disampaikan

oleh Tranggono dan Sutardi (1990) bahwa derajat penurunan kecepatan

kehilangan air tergantung pada permeabilitas kemasan terhadap transfer uap air

juga pada kerapatan isi kemasan. Semua bahan yang biasa digunakan sebagai

pengemas adalah yang bersifat permeabel terhadap uap air sampai batas-batas

tertentu.

Tranggono dan Sutardi (1990), menyebutkan, tipe permukaan buah-

buahan dan jaringan di bawahnya mempunyai pengaruh yang besar terhadap

kecepatan kehilangan air. Banyak macam bahan segar yang mempunyai kulit

berlilin pada permukaannya (kutikula) yang resisten terhadap aliran air atau

uap air. Lapisan lilin pada kulit buah yang tersusun dari platelet tumpang tindih

komplex dengan struktur yang teratur memberikan retensi yang besar terhadap

kehilangan air dari jaringan buah. Dengan demikian, buah yang belum dikupas

kulitnya, mempunyai penghambatan kehilangan air oleh penguapan lebih besar

daripada buah yang sudah terkelupas. Faktor inilah yang diduga menyebabkan

laju transmisi uap air edible film komposit glukomanan–maizena pada aplikasi

buah apel lebih besar daripada edible film tapioka–karaginan pada aplikasi

dengan buah anggur.

Menurut Loekas (2006) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

produk pasca panen dalam penyimpanan khususnya terhadap perkembangan

jamur penyebab kerusakan dalam penyimpanan diantaranya adalah produksi

mikotoksin selain dipengaruhi faktor biologi (jenis dan strain jamur), faktor

kimiawi (keadaan substrat tempat tumbuh jamur) juga dipengaruhi faktor fisik

antara lain keadaan lingkungan, suhu, potensi air (kadar air), dan pengaruh

pertumbuhan spora jamur. Menurut Syarief dkk (1989), faktor-faktor yang

mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada acara aplikasi

biodegradable film ini yaitu terutama karena jenis komposisi yang dipakai

dalam formula film. Sedangkan dengan penambahan tepung komposit (tapioka

dan maizena) ke dalam formula film, maka rata-rata meningkatkan sifat

biodegradable film, yaitu susut berat buah anggur menjadi lebih kecil.

Menurut Eden dalam Davidson (1970), kemasan sintetik digunakan

untuk mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kemasan alami.

Adanya kemasan sintetik menyebabkan suatu bahan makanan dapa disimpan

dalam jangka waktu yang lebih lama, dengan kualitas yang tetap terjaga.

Walaupun kemasan sintetik memiliki kelebihan dibandingkan dengan kemasan

alami, kemsan sintetik juga memiliki beberapa kelemahan, khususnyaberkaitan

dengan isu lingkungan. Kelebihan pengemas sintesis yaitu perlindungan

sempurna terhadap produk dari sinar matahari, panas, debu atau kotoran, dan

lain-lain sehingga sangat hiegienis dan terjaga kualitasnya untuk  jangka waktu

lama, dapat dituliskan berbagai informasi mengenai produk, produsen,

kodeproduksi, dan tanggal kadarluarsa, dan memudahkan pengangkutan dan

penyimpanan. Sedangkan kekurangannya yaitu bahan baku kebanyakan barasal

dari sumber daya alam tidak terurai, untuk memproduksinya memerlukan

banyak energi, biaya mahal, baik selama proses maupun setelah menjadi

barang, digunakan sesaat, kemudian dibuang menjadi sampah, dan tidak dapat

atau sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme pengurai.

Menurut Winarti dkk (2012), Edible coating/film yang dibuat dari

polisakarida (karbohidrat), protein, dan lipid memiliki banyak keunggulan

seperti biodegradable, dapat dimakan, biocompatible, penampilan yang estetis,

dan kemampuannya sebagai penghalang (barrier) terhadap oksigen dan

tekanan fisik selama transportasi dan penyimpanan. Edible coating/film

berbahan dasar polisakarida berperan sebagai membran permeabel yang

selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga dapat menurunkan

tingkat respirasi pada buah dan sayuran (Krochta et al.1994). Aplikasi coating

polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, dan pencoklatan pada

permukaan serta mengurangi laju respirasi dengan mengontrol komposisi gas

CO2 dan O2 dalam atmosfer internal. Keuntungan lain coating berbahan dasar

polisakarida adalah memperbaiki flavor, tekstur, dan warna, meningkatkan

stabilitas selama penjualan dan penyimpanan, memperbaiki penampilan, dan

mengurangi tingkat kebusukan. Selain keunggulan, edible coating/film

memiliki kelemahan. Film dari pati, misalnya, mudah rusak/sobek karena

resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai sifat penghalang yang

rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati. Sifat mekanik lapisan

film dari pati juga kurang baik karena mempunyai elastisitas yang rendah.

Untuk meningkatkan karakteristiknya, biasanya pati dicampur dengan

biopolimer yang bersifat hidrofobik atau bahan tahan air seperti kitosan.

Pada tabel 3.3 yaitu aplikasi biodegradable film pada buah anggur,

kelompok 1 dan 2 dengan perlakuan kontrol pada jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5

mempunyai berat yaitu 11,8; 11,2; 11,2; 11,1; 11; 11,3. Perlakuan

menggunakan wrap pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 yaitu 13,3; 13,4;

13,3; 13,4; 13,3; 13,2. Perlakuan 3 menggunakan edible film yaitu pada jam

ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 didapatkan berat yaitu 10; 9,8; 9,8; 9,7; 9,7; 9,9.

Kelompok 3 dan 4 dengan perlakuan kontrol didapatkan berat yaitu 13,5; 13.4;

13,4; 13,3; 13,3; 13,3 pada pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Perlakuan

wrap dari jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 mendapatkan berat 10,5; 10,4; 10,4; 10,4;

10,3; 10,4. Sedangkan pada percobaan menggunakan edible film tidak

dilakukan karena edible film yang dibuat telah habis. Kelompok 5

menggunakan perlakuan kontrol dan pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5

didapatkan berat yaitu 11,6; 11,6; 11,6; 11,5; 11,5; 11,6. Perlakuan

menggunakan wrap dengan berat yaitu 10,2; 10,2; 10,2; 10,2; 10,2; 10,2.

Sedangkan pada perlakuan edible film yaitu 10,1; 9,9; 9,5; 9,6; 9,6; 9,6.

Kelompok 6 dengan perlakuan kontrol pada jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5

mempunyai berat yaitu 12,431; 12,413; 12,394; 12,376; 12,347; 12,328.

Perlakuan menggunakan wrap pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 yaitu

11,565; 11,550; 11,549; 11,547; 11,542; 11,539. Perlakuan 3 menggunakan

edible film yaitu pada jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 didapatkan berat yaitu 9,581;

9,576; 9,563; 9,560; 9,559; 9,550. Kelompok 7 dengan perlakuan kontrol

didapatkan berat yaitu 12,048; 12,026; 12,026; 13,105; 12,034; 11,812 pada

pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Perlakuan wrap dari jam ke-0, 1, 2, 3, 4,

dan 5 mendapatkan berat 12,020; 11,989; 10,359; 11,921; 11,911; 11,802.

Sedangkan pada percobaan menggunakan edible film yaitu 6,702; 6,938;

6,201; 6,514; 6,507; 5,410. Kelompok 8 menggunakan perlakuan kontrol dan

pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 didapatkan berat yaitu 10,931; 10,909;

10,905; 10,900; 10,800; 11,000. Perlakuan menggunakan wrap dengan berat

yaitu 7,492; 7,487; 7,520; 7,550; 7,550; 7,600. Sedangkan pada perlakuan

edible film yaitu 6,426; 6,794; 6,823; 6,872; 6,700; 6,800. Kelompok 9

menggunakan perlakuan kontrol dan pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5

didapatkan berat yaitu 13,179; 13,125; 12,859; 12,410; 12,485; 12,900.

Perlakuan menggunakan wrap dengan berat yaitu 9,687; 9,535; 9,542; 9,414;

9,510; 9,432. Sedangkan pada perlakuan edible film yaitu 6,426; 6,794; 6,823;

6,872; 6,700; 6,800. Kelompok 10 menggunakan perlakuan kontrol dan

pengamatan jam ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5 didapatkan berat yaitu 8,650; 8,635;

8,525; 8,675; 8,811; 8,605. Perlakuan menggunakan wrap dengan berat yaitu

12,465; 12,436; 12,511; 12,411; 12,51412,542. Sedangkan pada perlakuan

edible film yaitu 10,102; 10,118; 10,125; 10,011; 10,221; 10,184. Dari semua

edible film yang digunakan tidak semua mengalami susut berat. Karena

menurut Syarief dkk (1989), faktor susut dipengaruhi oleh komposisi bahan

pembuat edible film.

E. Kesimpulan

Dari pembahasan acara III “Pengujian Karakteristik dan Aplikasi

Biodegradable Film” sebagai berikut:

1. Kelarutan edible film merupakan karakteristik yang pada umumnya

dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya.

2. Berdasarkan data kelarutan edible film yang baik yaitu kelompok 9 dengan

formulasi tapioka 3,75 g + maizena 1,25 g.

3. Permeabilitas uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan

waktu dibagi dengan luas area film.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah

jenis film, suhu, ada tidaknya plasticizer dan sifat serta besar molekul gas

serta solubilitas atau kelarutan gas.

5. Laju transmisi/permeabilitas uap air merupakan jumlah uap air yang hilang

per satuan waktu dibagi dengan luas area film.

6. faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan

adalah: suhu, ada tidaknya plasticizer, jenis polimer film, sifat dan

besar molekul gas, dan solubilitas atau kelarutan gas.

7. Hasil permeabilitas sesuai dengan teori yaitu tepung tapioka 3,75 gram dan

tepung maizena 1,25 gram merupakan hasil terbaik.

8. Susut berat buah, banyak dipengaruhi oleh kemampuan penghambatan laju

transmisi uap air (WVTR) film.

9. Dari semua edible film yang digunakan tidak semua mengalami susut berat

karena faktor susut dipengaruhi oleh komposisi bahan pembuat edible film.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hafiz Asghar., Arshad Chughtai and Abdul Sattar. Synthesis of quality silica gel; Optimization of parameters. Journal of Faculty of Engineering & Technology, Vol. 2, No. 3: 1-14.

Apriyanti, Arie Fitry., F . Widhi Mahatmanti dan Warlan Sugiyo. 2013. Kajian Sifat Fisik-Mekanik dan Antibakteri Plastik Kitosan Termodifikasi Gliserol. Indonesian Journal of Chemical Science, Vol. 2, No. 2: 147-153.

Arisman. 2009. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku Kedokteran ECG. Jakarta.

Bozdemir, Ozgur Altan dan Mehmet Tutas. 2003. Plasticiser Eect on Water Vapour Permeability Properties of Locust bean gum Based Edible Films. Turki Jurnal Chemistry, Vol. 27:773-782.

Gontard, N., Guilbert., S., dan Cuq, J.L., 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect Mechanical and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58(1): 206 -211.

Nugroho, Agung Adi., Basito dan R. Baskara Katri A. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka dengan Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 1: ISSN: 2302-0733.

Payung Layuk, 2001 Karakterisasi Edible Film Komposit Pektin Daging Buah Pala dan Tapioka. Tesis. Program Pasca Sarjana, UGM. Yogyakarta.

Sutarminingsih, Lilies. 2004. Peluang Usaha Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Syarief, R., Sasya Sentausa; dan St Isyana,1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor.

Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.

Warsiki, Endang., Juanda Sianturi dan Titi Candra Sunarti. 2012. Evaluasi Sifat Fisis-Mekanis dan Permeabilitas Film Berbahan Kitosan. Jurnal Teknik Industri Pertanian, Vol. 21, No. 3: 139-145.

Winarti, Christina., Miskiyah dan Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas Edible. Jurnal Litbang Pert. Vol. 31 No. 3: 85-93.

Wittaya, Thawien. 2013. Influence of Type and Concentration of Plasticizers on the Properties of Edible Film From Mung Bean Proteins. Kmitl Science And Technology Journal, Vol.13, No.1: 51-58.

Yuyun A. 2010. 38 Inspirasi Usaha Makanan Minuman untuk Home Industry. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Yuyun A. dan Delli Gunarsa. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan dan Minuman. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Kelarutan Film

Berat film tidak larut=kertas saring(akhir−awal)

¿0,805−0,717

¿0,088 gr

Berat film terlarut=berat film(awal−tidak terlarut)

¿0,103−0,088

¿0,015 gr

%kelarutan=berat filmlarutberat film awal

x100 %

¿ 0,0150,103

x100%

¿14,563%


Recommended