+ All documents
Home > Documents > MODEL PENYELESAIAN KONFLIK MENGGUNAKAN TEORI ISLAH

MODEL PENYELESAIAN KONFLIK MENGGUNAKAN TEORI ISLAH

Date post: 10-Dec-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
19
MODEL PENYELESAIAN KONFLIK MENGGUNAKAN TEORI ISLAH Oleh: Ramdani Wahyu S 1 A. Pendahuluan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam telah mengatur cara-cara menangani konflik di dalam hubungan antar manusia. Secara empiris, penyelesaian konflik yang terjadi diantara manusia dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pengadilan (al-qadha) dan di luar pengadilan (out of court settlement). Pendekatan pertama, yaitu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coersion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa 2 . Sedangkan pendekatan kedua, menggunakan model penyelesaian sengketa non-litigasi. Model ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan „konsensus‟ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution. 3 Di dalam al-quran penyelesaian konflik melalui pendekatan non litigasi menggunakn konsep al-sulh atau ishlah (damai). Konsep-konsep seperti hakam (arbiter atau mediator) dalam mekanisme tahkim dan al-sulh atau ishlah (damai), merupakan konsep yang dijelaskan di dalam al-Quran sebagai media di dalam menyelesaikan konflik di luar pengadilan. 4 Ishlah merupakan mekanisme penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh al- Quran. Pada dasarnya setiap konflik yang terjadi antara orang-orang yang 1 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum dan Ketua Pusat Penelitian UIN SGD Bandung 2 Auerbach, J.S. Justice Without Law. New York, Oxford : Oxford University Press. 1983. 3 Menurut Marc Galanter bahwa dalam hal menyelesaikan sengketa, masyarakat bisa mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat. Lihat Galanter, Marc. “Justice in Many Rooms”. Dalam Mauro Cappelletti. Acces to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute. 1981. 4 Terdapat konsep lain yang dijelaskan al-Quran untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya konsep tahkim. Tahkim merupakan penyelesaian sengketa melalui bantuan seorang hakam. Di dalam al-Quran disebut di dalam tujuh surat. Yang menyebut kata hakam secara langsung tertera di dalam surat al-Nisa ayat 35 yang menjelaskan mengenai proses penyelesaian sengketa perceraian dalam keluarga dengan mengangkat seorang hakam dari kalangan keluarga suami atau isteri. Lihat dalam Sukmadjaja Asy‟arie dan Rosy Yusuf, Indeks Al-Quran. (Bandung: Pustaka. 2006), hlm. 61. Ketujuh surat yang dimaksud adalah surat al-Nisa ayat 35, 60, 65, surat al-Maidah ayat 43, surat al-an‟am ayat 114, al-„araf ayat 87, yunus ayat 109, hud ayat 45 yusuf ayat 80.
Transcript

MODEL PENYELESAIAN KONFLIK

MENGGUNAKAN TEORI ISLAH

Oleh: Ramdani Wahyu S 1

A. Pendahuluan

Al-Quran sebagai sumber hukum Islam telah mengatur cara-cara menangani

konflik di dalam hubungan antar manusia. Secara empiris, penyelesaian konflik

yang terjadi diantara manusia dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui

pengadilan (al-qadha) dan di luar pengadilan (out of court settlement).

Pendekatan pertama, yaitu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui

sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coersion)

untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menghasilkan

suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa2. Sedangkan

pendekatan kedua, menggunakan model penyelesaian sengketa non-litigasi.

Model ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan „konsensus‟

dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta

bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution. 3

Di dalam al-quran penyelesaian konflik melalui pendekatan non litigasi

menggunakn konsep al-sulh atau ishlah (damai). Konsep-konsep seperti hakam

(arbiter atau mediator) dalam mekanisme tahkim dan al-sulh atau ishlah (damai),

merupakan konsep yang dijelaskan di dalam al-Quran sebagai media di dalam

menyelesaikan konflik di luar pengadilan.4

Ishlah merupakan mekanisme penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh al-

Quran. Pada dasarnya setiap konflik yang terjadi antara orang-orang yang

1 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum dan Ketua Pusat Penelitian UIN SGD Bandung 2 Auerbach, J.S. Justice Without Law. New York, Oxford : Oxford University Press. 1983.

3 Menurut Marc Galanter bahwa dalam hal menyelesaikan sengketa, masyarakat bisa

mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat. Lihat Galanter, Marc. “Justice in Many Rooms”. Dalam Mauro Cappelletti. Acces to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute. 1981.

4 Terdapat konsep lain yang dijelaskan al-Quran untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya konsep

tahkim. Tahkim merupakan penyelesaian sengketa melalui bantuan seorang hakam. Di dalam al-Quran

disebut di dalam tujuh surat. Yang menyebut kata hakam secara langsung tertera di dalam surat al-Nisa ayat

35 yang menjelaskan mengenai proses penyelesaian sengketa perceraian dalam keluarga dengan mengangkat

seorang hakam dari kalangan keluarga suami atau isteri. Lihat dalam Sukmadjaja Asy‟arie dan Rosy Yusuf,

Indeks Al-Quran. (Bandung: Pustaka. 2006), hlm. 61. Ketujuh surat yang dimaksud adalah surat al-Nisa ayat

35, 60, 65, surat al-Maidah ayat 43, surat al-an‟am ayat 114, al-„araf ayat 87, yunus ayat 109, hud ayat 45

yusuf ayat 80.

2

beriman harus diselesaikan dengan damai (ishlah). Ishlah adalah suatu cara

penyelesaian konflik yang dapat menghilangkan dan menghentikan segala bentuk

permusuhan dan pertikaian antara manusia. Secara bahasa ishlah dan sulh dapat

disamakan dengan damai, namun kata ishlah lebih menekankan arti suatu proses

perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil

dari proses ishlah tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat

juga dinyatakan bahwa ishlah mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga sebagai

perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara dalam

shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator. Allah berfirman dalam surat

al-Hujurat ayat 9:

9. Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat

aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat

aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan

itu telah kembali (kepada perintah Alah), maka damaikanlah antara keduanya

dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang berlaku adil.

Surat al-hujurat ayat 9 merupakan landasan dan sumber penyelesaian

konflik yang terjadi diantara orang-orang yang beriman, yaitu apabila mereka

terlibat konflik selesaikanlah dengan damai (faashlihu). Cara ishlah ini kemudian

berkembang menjadi mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang

dewasa ini dipraktikkan pengadilan di Indonesia melalui mediasi.

B. Konsep Islah

Secara bahasa, akar kata ishlah berasal dari lafazh صلح - صلح - صال حب

yang berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlah merupakan

bentuk mashdar dari wazan إفعبل yaitu dari lafadh صلح ,إصالحب yang اصلح -

berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian pertikaian).

Kata صالح merupakan lawan kata dari فسبد / سئة (rusak). Sementara kata اصلح

3

biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang

terjadi di kalangan manusia. 5

Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata ishlahan sebagai antonim dari kata

fasad biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga

terkadang dapat dimaknai dengan iqamah.6 Sementara Ibrahim Madkur dalam

mu‟jamnya berpendapat bahwa ishlah yang berasal dari kata ishlah mengandung

dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan, sehingga

jika kata tersebut mendapat imbuhan menjadi seperti frase إصالحب بوب maka

berarti menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah

pihak. Dengan demikian, إصالحب berarti menghilangkan dan menghentikan segala

bentuk permusuhan dan pertikaian. 7

Secara istilah, term ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam

kaitannya dengan perilaku manusia.8 Karena itu, dalam terminologi Islam secara

umum, ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa

perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain,

perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. „Abd Salam menyatakan bahwa makna

shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.9

Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya

berpendapat, bahwa kata ishlah mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada

keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan. 10

Kata ishlah juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajdĩd

(pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah pada kemajuan

dan perbaikan keadaan.11

5 Akan tetapi, jika ishlãh dilakukan oleh Allah pada manusia, maka إصالح Allah mengandung

beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-

kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah keberadaannya, dan kadang-kadang pula

dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya. Al-

Rãghib al-Ashfahani, al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, t.t), h.284-285 6 Ibn Manzhũr, Lisãn al-'Arab, (Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita‟lĩf wa al-Tarjamah, t.th), Jil. 3-4, h.

348-349 7 Ibrãhĩm Madkũr, al-Mu‟jam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad „Athiyyatullah, al-Qãmũs

al-Islãmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4, h. 321 8 E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil. IV, h. 141 9 Abd Salam, Mu‟jam al-Wasĩth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522 10 Abu „Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma‟ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-qur‟an, (Beirut: Dar al-

Ma‟rifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullãhi Mahmũd ibn Umar ibn Muhammad

al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70. 11 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito,

Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42

4

Sementara menurut ulama fikih, kata ishlah diartikan sebagai perdamaian,

yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di

antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok. 12

Sejalan dengan

definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan bahwa ishlah merupakan bentuk per-

soalan di antara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan penyelesaian

pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga,

pengadilan, peperangan dan lain-lain.13

Sayid Sabiq (1336 H – 1421 H)14

menerangkan bahwa ishlah merupakan su-

atu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang ber-

musuhan. Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang menga-

dakan ishlah tersebut dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan disebut

dengan Mushalih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak

terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushalih 'alaih.15

Keterangan di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, meskipun kata

ishlah dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata ishlah lebih menekankan

arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shulh lebih mene-

kankan arti hasil dari proses ishlah tersebut yaitu berupa shulh (perdamai-

an/kedamaian). Dapat juga dinyatakan bahwa ishlah mengisyaratkan diperlu-

kannya pihak ketiga sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik

tersebut. Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.

Berdasarkan penjelasan terminologi di atas, tulisan ini memilih

menggunakan kata ishlah (bukan sulh) sebagai sebuah terminologi yang dapat

digunakan sebagai proses penyelesaian konflik yang kemudian dikembangkan

menjadi teori ishlah. Teori Ishlah bersumber dari al-Quran. Ishlah disebut dalam

beberapa ayat di dalam al-quran sebagai berikut:

1. Ishlah antar sesama muslim yang bertikai dan antara pemberontak (muslim)

dan pemerintah (muslim) yang adil; Q.S. al-Hujurat:9-10,

12 Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah, (Beirut: Dar al-

Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. 13 Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496 14 Sayyid Sabiq lahir pada 1915 di Mesir dan meninggal pada Februari 2000. Beliau sudah hafal Al-

Qur‟an pada usia sembilan tahun. Mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar, Mesir dan Universitas

Ummul Qura, Mekah, Arab Saudi, dan sempat mengajar di kedua universitas tersebut. 15 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, (Beirut:Dar el-Fikr, 1988), jil. Ke-3, h. 189

5

2. Ishlah antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan mengutus al-

hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S. al-Nisa:35. dan lain-lain.

3. Ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah, yaitu

pelakunya memperoleh pahala yang besar (al-Nisa 114)

4. Ishlah itu baik, terutama ishlah dalam sengketa rumah tangga (an-nisa: 128)

Namun ayat yang khusus dijadikan kajian dalam teori ishlah ini berangkat

dari ishlah antara sesama muslim yang bersumber dari al-Quran surat al-Hujurat

ayat 9 dan 10 serta hadis Rasulullah SAW.

9. Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat

aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat

aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan

itu telah kembali (kepada perintah Alah), maka damaikanlah antara keduanya

dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang berlaku adil.

10. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah

(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap

Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Hadis rasulullah

. حذثب كثز بي عبذ هللا بي عوز ابي حذثب الحسي بي عل الخالل. حذثب أب عبهز العقذي ف الوش ع

، عي جذ أحل حزاهب. » : ، أى رسل هللا قبل عي أب م حالال أ ي الوسلوي. إال صلحب حز لح جبئش ب الص

أحل م حالال أ ن، إال شزطب حز الوسلوى على شزط ذا حذث حسي صحح حزاهب .قبل أب عسى

“al-Hasan bin Ali al-Hilal meriwayatkan hadits kepada kami, dari Abu Amir al-

Aqdi, dari Katsir bin Abdullah bin „Amr bin Auf al-Muzni, dari ayahnya, dari

ayah-ayahnya (kakeknya), dari Rasulullah SAW bersabda: al-Sulh itu jaiz (boleh)

antara (bagi) umat Islam, kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau

sebaliknya (menghalalkan yang haram). Dan umat Islam boleh berdamai (dengan

orang kafir) dengan syarat yang mereka ajukan, kecuali syarat yang

6

mengharamkan yang halal atau sebaliknya.” Abu Isa berpendapat bahwa Hadits

ini tergolong Hasan-Shoheh.16

Dua ayat di dalam surat al-Hujurat dan hadis di atas merupakan landasan di

dalam penyelesaian konflik dan perselisihan. Dalam hadis tersebut dinyatakan

bahwa menyelesaikan konflik dengan perdamaian adalah boleh dan sangat

dianjurkan untuk kebaikan dan keutuhan persaudaraan sesama muslim asalkan

tidak untuk menghalalkan yang haram dan sebaliknya tidak mengharamkan apa

yang dihalalkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Penjelasan surat al-hujurat di atas, dapat dilihat beberapa penafsiran

mufassir tentang ayat tersebut. Menurut Al-Qurthubi,17

(wafat 671 H) sesama

orang mu‟min adalah saudara. Ikatan saudara diantara orang-orang yang beriman

dilandasi oleh adanya ikatan agama (saudara seiman), bukan semata-mata karena

ikatan keturunan sebab ikatan seketurunan dapat putus jika seseorang pindah

agama yang menyebabkan ia tidak mendapatkan warisan. Sedangkan persau-

daraan seagama lebih kuat dan kokoh sehingga dasar hubungan sesama muslim

diikat oleh persaudaraan seiman. Persaudaraan seiman (seagama) tidak dapat

menggantikan status keimanan seorang mu‟min sekalipun mereka terlibat

sengketa satu sama lain. Dalam penjelasannya lebih lanjut, al-Qurtubi menyatakan

dengan mengutip pendapat Harits al-A‟wari bahwa Ali ibn Abi Thalib ditanya

tentang orang-orang yang terlibat perang Siffin dan Jamal, apakah mereka itu

musyrik ? Ali menjawab tidak, melainkan mereka keluar dari barisan mu‟min.

Kemudian Ali ditanya lagi, apakah mereka itu munafiq ? Ali menjawab, bukan,

sebab munafiq tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit. Oleh karena itu, Ali

ditanya lagi, kalau begitu orang yang bersengketa itu statusnya bagaimana ? Ali

menjawab, mereka itu saudara kita, tetapi mereka menyerang satu sama lain. 18

Dengan demikian, ketika seorang mu‟min terlibat konflik satu sama lain,

maka konflik itu harus didamaikan, dalam ayat tersebut keharusan damai itu

16 Muhammad Abd ar Rahman Tuhfah al Ahwazi (Bi Syarh Jami At Tirmizi) (t.t.p; Dar al Fikr, t.t.) IV

: 486 Hadits nomor 1352 “Kitab Al Ahkam.” Bab Ma Zukira an Rasulullah Salallahu Alaih wa Salam fi Sulh

Bain an Nas Hadits ini hasan sahih diriwayatkan dari Katsir bin Abdillah bin umar bin auf Al muzniy dari

ayahnya dari kakeknya. 17 Al-Qurthubi bernama Abu „Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji

Syamsy al-Din al-Qurthubi al-Maliki. Penulis belum menemukan referensi mengenai tahun kelahirannya,

kebanyakan dari para penulis biografis hanya menyebutkan tahun kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyya

Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki. 18 Muhammad al-Qurtubhi, al-Jami‟ li ahkam al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 2003). Juz 16, hlm. 323

7

ditunjukkan dengan menggunakan kata faaslihu yang menunjukkan adanya

perintah damai terhadap orang-orang yang beriman yang terlibat konflik. Kata

faaslihu adalah perintah Allah kepada orang yang beriman, atas keimanannya itu

seorang mu‟min diperintah Allah untuk patuh. Di sisi lain, faaslihu adalah

perintah Allah bagi ulil amri untuk mendamaikan orang beriman ketika mereka

terlibat konflik.

Dalam tafsir Ruuhul Ma‟ani yang ditulis oleh Ismail Haqqi (w. 1137 H),

berkata Sahl r.a.: dua kelompok (thaifatani) dalam ayat di atas adalah ruh, hati,

akal, dan tabiat serta hawa nafsu dan syahwat. Jika hawa nafsu, tabiat dan syahwat

membelot dari akal, hati dan ruh maka seorang hamba harus membunuhnya de-

ngan pedang kataqwaan dan cahaya ilahi agar ruh dan akal menang dan hawa

nafsu kalah.

Sedangkan kata ikhwah merupakan jama dari akh, asal kata ini berarti me-

nyatu dengan yang lain (al-musyarik al-akhar) akibat dari kelahiran yang sama

atau satu susuan. Kata ikhwah juga bisa digunakan untuk menunjukkan saudara di

dalam kelompok dengan saudara seagama. Makna ayat ini adalah orang-orang

yang beriman itu pada hakikatnya adalah saudara seketurunan yang berasal dari

sumber yang satu yang diikat oleh keimanan untuk hidup berdampingan selama-

lamanya. Hal ini dapat diserupakan dengan saudara sekandung yang berasal dari

ayah yang sama dimana antara saudara sekandung diajarkan hidup berdam-

pingan.19

Syihabuddin al-Alusi (Lahir 1217-1270 H) dalam tafsir ruhul ma‟ani 20

menyatakan bahwa teknik mendamaikan itu dilakukan dengan nasehat dan

menghilangkan keraguan atau rasa curiga, dan mengajak kepada hukum Allah.

Kalau dua pihak yang terlibat konflik tidak bisa dipengaruhi oleh nasihat, maka

perangilah orang yang membangkang itu sehingga mereka kembali kepada hukum

19 Isma‟il al-Haqqi al-hanafi, Ruhul Bayan. (Saudi: Dar al-Nasyr, t.t.) juz 9 hlm 62. Kitab tafsir ini

ditulis oleh seorang ahli tasauf asal Turki bernama Syeikh Ismail Haqqi bin Syiekh Mustafa Al-Istanbuli [w.

1137 H]. Kitab ini sangat menekankan pembersihan jiwa dan isyarat-isyarat sufistik sehingga menjadi

kegemaran para penceramah [al-wu‟aaz]. Lihat dalam “Hadis Palsu di dalam Kitab Tafsir”, http: //webcache.

googleusercontent. com/search? q=cache: 0XRlgVP0vjAJ: umar mnoor.blogspot.com. Diakses tanggal 12

Januari 2011 20 Syihabuddin al-Alusi. Ruhul Ma‟ani fi Tafsir al-Quran al-„adhim wa sab‟u almatsani. Juz 15 hlm.

231. Keluarga Alusi adalah keluarga yang terkenal akan keilmuannya. al-Alaamah Syihabuddin Mahmud al-

Alusi lahir pada tahun 1217 H dan wafat pada tahun 1270 H. Tentang biografinya dapat dilihat dalam kitab

“Ghoyah al-Amaani fi ar-Rad ala an-Nabhani” karya al-Imam al-Allaamah Abu al-Ma‟ali Mahmud Sukri al-

Alusi, jilid satu dengan ta‟liq (komentar dan penjelasan) Abu Abdullah ad-Dani bin Muniral Zahw, cetakan

Maktabah ar-Rusdi Riyadh, hal11-14, dan diterjemahkan Abu Hasan Arif.

8

Allah. Jika mereka telah kembali kepada agama Allah dan menghentikan untuk

berperang, maka damaikanlah diantara keduanya itu dengan adil agar tidak

ditemukan dikemudian hari peperangan lagi.21

Kata ishlah dalam ayat di atas disandingkan dengan kata adil, sebab adil itu

merupakan tujuan dari pada upaya ishlah. Kemudian diperkuat juga dengan kata

aqsitu. Dengan kata lain, aslihu adalah menyambungkan tali persaudaraan

diantara sesama saudara kalian dengan damai. Oleh karenanya, hendaklah kalian

takut kepada Allah dari upaya saling menghina agar kalian mendapat rahmat.

Ali al-Sayis menjelaskan bahwa kewajiban ishlah itu bukan hanya ditujukan

kepada kelompok yang terlibat konflik tetapi juga diwajibkan kepada setiap

individu yang sedang mengalami konflik. Menurutnya, cara ishlah dilakukan

dengan memberi nasehat dan irsyad (memberi bimbingan). Kata ikhwah meru-

pakan bentuk jamak dari akh yang berarti saudara seketurunan (nasab). Sedang-

kan kata akh bermakna sahabat yang bentuk jamaknya ikhwan. Allah menjadikan

saudara (ikhwah) antara orang yang beriman di dalam Islam yang berarti saudara

seketurunan. Hal ini diberlakukan sebagai penguat dan pelindung orang-orang

beriman (mu‟min) bahwa kedudukan mereka di dalam Islam adalah saudara,

seperti saudara kandung yang memiliki ayah yang sama. Jadikanlah ishlah ini

sebagai bentuk ketaqwaan dan sebagai rasa takut kepada Allah dan tidak boleh

salah seorang berpihak pada salah satu saudara yang lain karena satu sama lain

antara orang beriman adalah saudara, tidak boleh antara orang beriman merasa

lebih baik dan yang lain direndahkan.

Kata innama dalam surat al-hujurat ayat 10 bermakna pembatasan perintah

ishlah dan kewajiban melaksanakannya. Kewajiban melaksanakan ishlah ini

ketika pihak yang terlibat konflik memiliki hubungan iman yang sama. Sedangkan

21 Terdapat sejumlah riwayat dalam beberapa kitab tafsir yang menjelaskan asbab nuzul ayat 9 surat al-

Hujurat. Dari albaraqi, : Rasulullah duduk di sebuah majelis, didalamnya ada Abdullah bin rawahah dan

Abdullah bin ubay bin sulul, ketika rasul pergi, Abdullah bin sulul berkata, kencing unta kamu telah

mengganggu kami, kami emosi. Dan antara Abdullah bin rawahah dan Abdullah bin ubay terdapat

perselisihan sehingga mereka mengangkat senjata, maka rasul mendatangi mereka, rasul mendudukan

mereka, Abdullah bin ubay berkata: mengapa kalian melakukan ini, kemudian turun ayat wa in thaifatani …..

dalam riwayat lain disebutkan bahwa seroang wanita dari suku ansor, bernama ummu zaid berselisih dengan

suaminya. Berita ini tersebar kepada masing-masing kelompoknya, kemudian mereka saling baku hantam

dan melempar dengan sandal. Sampailah berita itu kepada nabi, kemudian nabi mendamaikan mereka dan

turunlah ayat wa in thaifatani …(lihat Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-bayan fi ta‟wil al-Quran.

(Beirut: Dar Elfikr, t.t.). juz XV hlm 124.

9

jika orang mukmin itu bertikai dengan saudaranya yang kafir, maka tidak ada

ishlah. 22

Dalam al-Quran, khusus mengenai sengketa suami isteri juga ditekankan

keharusan adanya ishlah diantara mereka jika mereka bersengketa. Allah

berfirman di dalam surat al-Nisa ayat 35:

35. “Jika kamu mengkhawatirkan percekcokan antara keduanya (suami-ister),

maka angkatlah seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari

keluarga isteri”.

Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, yaitu ayat 34. Ayat

tersebut berbicata tentang nusyuz.23

Nusyuz bisa terjadi dari pihak istri dan bisa

pula dari pihak suami ataupun dari kedua belah pihak. Nusyuz ini bisa berupa

ucapan ataupun perbuatan dan bisa kedua-duanya, ucapan sekaligus perbuatan.24

Pada ayat 35, nusyuz dapat terjadi disebabkan oleh kedua belah pihak yang

berakibat pada syiqaq (percekcokan yang terus menerus). Menurut para fuqaha,

jika terjadi syiqaq antara suami isteri, maka seorang hakim yang sangat

terpercaya dapat mendamaikan kedua belah pihak dengan melihat secara jelas

masalah keduanya, dan mencegah terjadinya penganiayaan dari satu pihak kepada

pihak lainnya. Jika perselisihan antara keduanya itu rumit dan panjang, maka

hakim mengutus/mengangkat seorang hakam yang terpercaya dari kalangan

keluarga isteri dan keluarga suami untuk berkumpul dan melihat masalahnya

22 Ali al-Sayis, tafsir ayat al-ahkam. (Beirut: Dar al-fikr, 2002), hlm 705 juz I. 23 Menurut Ibnu Katsir, nuszyuz adalah tinggi diri, wanita nusyuz adalah seoarang isteri yang bersikap

sombong kepada suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya dan membenci

suaminya. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adhim. (Beirut: dar El-Fikr, 1999), juz II hlm. 296-297 24 Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “nusyuz-nya istri adalah ia tidak mentaati suaminya

apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa minta izin kepada suami dan

semisalnya dari perkara yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu`

Fatawa, 32/277). Termasuk nusyuz-nya istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya.

Dan juga ia meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji dan

sebagainya. Penyebutan nusyuz dari istri ini datang dalam firman-Nya: “Dan para istri yang kalian

khawatirkan (kalian ketahui dan yakini ) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan

meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka.” (An Nisa‟: 34). nusyuz-nya suami dengan

sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya

tanpa alasan syar„i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk. Al Qur‟an

menyebutkan nusyuz-nya suami ini dalam firman-Nya: “Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz

suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk

mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An Nisa‟:128)

10

secara jernih. Dan melakukan sesuatu yang maslahah apakah mengarah kepada

perceraian atau bersatu rukun kembali. Jika keduanya baik suami dan isteri

maupun dua hakam tersebut ingin mencari titik temu dengan cara mendamaikan,

maka Allah akan memberinya taufiq. 25

Dengan surat an-nisa ayat 35 ini menunjukkan bahwa perselisihan tajam dan

terus menerus yang terjadi antara suami dengan isteri diperintahkan mengangkat

hakam untuk melakukan ishlah (mendamaikan) suami isteri tersebut. Perselisihan

suami isteri diselesaikan melalui ishlah walaupun akhirnya suami isteri tersebut

berpisah. Namun, menurut ayat 35 surat an-nisa ini, menempuh jalan damai

(ishlah) dengan tetap bersatu sebagai suami isteri akan diberi oleh Allah taufiq.

Penegasan melakukan ishlah ini juga berlaku jika nusyuz dilakukan oleh suami

kepada isterinya sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-nisa ayat 128.

Ishlah dalam Islam merupakan prinsip dalam pergaulan, sebagaimana dite-

gaskan al-Qur‟an dalam surat al-Nisa: 114; “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan

bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (ma-

nusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian

(ishlah) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena men-

cari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

Ishlah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memu-

tuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan

akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka ishlah mencegah hal-hal yang

menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah

dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya

dengan persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang

dianjurkan oleh syara.26

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan

sebuah perdamaian adalah untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan

atau mencegah timbulnya suatu perkara

Mengupayakan perdamaian bagi semua muslim yang sedang mengalami

konflik, perselisihan dan pertengkaran dinilai ibadah oleh Allah. Namun tidak

dianjurkan perdamaian dilakukan dengan paksaan, perdamaian harus karena

25 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adhim. (Beirut: dar El-Fikr, 1999), juz II hlm. 296-297. 26 Alauddin at Tharablisi, Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min al

Ahkami,(Beirut : Dar al Fikr, t.t.), hal 123

11

kesepakatan para pihak. Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata bahwa dia

tidak sependapat jika hakim memaksa salah satu pihak yang berperkara atau

mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak, karena semata-mata hanya

menginginkan perdamaian.27

Dengan demikian, ishlah merupakan cara yang ditetapkan oleh al-Quran

untuk mencari penyelesaian konflik, ketegangan, sengketa dan perselisihan.

Penegasan ini dijelaskan oleh al-Quran surat al-hujurat ayat 9 dan 10. Oleh karena

itu, islah dipandang sebagai norma dasar yang ditetapkan al-Quran untuk mencari

penyelesaian konflik dan sengketa. Sebagai norma dasar penyelesaian konflik, di

dalam konsep ishlah tidak dijelaskan mengenai kriteria mushlih (pendamai) dan

teknis penyelesain konflik. Hal semacam ini diserahkan pada pemikiran manusia.

Sedangkan perselisihan dan sengketa yang terjadi antara suami isteri penye-

lesaiannya dilakukan melalui perantara seorang hakam dengan tetap bertujuan

untuk menegakan perdamaian (ishlah).

C. Konflik dalam Kehidupan Manusia

Konflik berasal dari kata conflict (Inggris) yang berarti percekcokan,

perselisihan, dan pertentangan. Kata “konflik” berasal dari kata confliegere,

confflictm yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua

bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, perkelahian, oposisi,

dan interaksi yang antagonis. Menurut Kamaludin konflik adalah segala sesuatu

(interaksi) pertentangan atau antagonis antara dua pihak atau lebih. Konflik juga

merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang

tampak jelas mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi,

tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka.28

Konflik tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Selama

manusia masih memiliki kepentingan, kehendak, serta cita-cita, konflik akan

senantiasa “mengikuti mereka”. Oleh karena dalam upaya untuk mewujudkan apa

yang diinginkan pastilah ada hambatan-hambatan yang menghalangi, dan

halangan tersebut harus disingkirkan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi

27 Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Drs Imron AM. Cet ke 4 (Surabaya: Bina Ilmu,

1993 hal. 19-20 28 Kamaludin, Manajemen Personalia. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2001) hlm. 141.

12

benturan-benturan kepentingan antara individu dengan kelompok, atau kelompok

dengan kelompok. Jika hal ini terjadi, maka konflik merupakan sesuatu yang

niscaya terjadi dalam kehidupan manusia.

Banyak definisi konflik yang dkemukakan oleh para pakar. Dari berbagai

definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum dan

diartikan sebagai berikut: (1) konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang

dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki

perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan; (2) hubungan

pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang

memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi

pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan; (3) pertentangan atau

pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motivasi pelaku atau

yang terlibat di dalamnya; (4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara

negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang

membuat orang lain perasaan serta fisiknya terganggu; (5) bentuk pertentangan

yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan

kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena

menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada; (6) proses mendapatkan

monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau

melemahkan pesaing; (7) suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak

secara antagonis; (8) kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu. 29

Uraian di atas juga menunjukkan bahwa dalam setiap konflik terdapat

beberapa unsur sebagai berikut.

1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat.

2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik, dan tujuan itulah yang menjadi

sumber konflik.

3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat

untuk mendapatkan atau mencapai tujuan.

4. Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan.30

29 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur (Yog-

yakarta: LKiS, 2005), hal. 249-250. 30 Dahrendorf, dalam George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta:

Rajawali Press, 1998), hal. 34.

13

Konflik yang terjadi di dalam masyarakat muslim khususnya dapat ber-

bentuk konflik politik (dalam pemilu), ekonomi (hutang piutang, perikatan dsb),

konflik keagamaan (memandang ajaran agama/keyakinan pihak lain sebagai sesat)

yang berujung pada tindakan radikal dan refresif, perkawinan, waris, konflik

dalam sumber daya alam dan sebagainya.

Keberlangsungan konflik di tengah masyarakat dapat mengganggu sistem

sosial masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan saluran

penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Pada dasarnya dapat dilakukan

dengan dua langkah, yaitu melalui mekanisme pengadilan maupun di luar

pengadilan. Dalam Islam, konflik dapat diselesaikan melalui mekanisme islah.

D. Aplikasi Teori Islah dalam Penyelesaian Konflik

Berdasarkan pada uraian teori ishlah di atas dapat dirumuskan bahwa ishlah

merupakan salah satu mekanisme penyelesaian konflik. Aplikasi Ishlah ini dapat

digunakan sebagai mekanisme penyelesaian konflik baik di luar pengadilan

maupun di dalam pengadilan. Di peradilan Indonesia, khususnya peradiilan umum

dan peradilan agama, ishlah telah digunakan dengan menggunakan konsep

mediasi – sebagai sebuah penyelesaian sengketa yang secara prinsip mengandung

kesamaan dengan ishlah - yang pelaksanannya terintegrasi dengan proses beracara

di pengadilan. 31

Ishlah adalah proses mendamaikan pihak-pihak yang terlibat konflik

dengan menghilangkan segala bentuk pertikaian dan permusuhan. Para pihak yang

terlibat konflik pada dasarnya mereka yang terlibat perselisihan. Secara formal,

para pihak tersebut beragama Islam. Identintas keislaman para pihak

menunjukkan bahwa ketentuan dasar di dalam proses penyelesaian konflik

diantara mereka berdasar pada sumber-sumber hukum yang berasal dari al-Quran,

hadis dan juga pandangan para ulama atau fuqaha.

31 Walaupun mediasi telah digunakan sebagai mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa di

pengadiilan, namun berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang tersedia, ditemukan bahwa proses

penyelesaian konflik menggunakan mediasi menunjukkan bahwa keberhasilan mediasi di dalam proses

peradilan masih sangat minim.Keberhasilan mediasi di pengadilan negeri yang dijadikan percontohan oleh

Mahkamah Agung menunjukkan angka keberhasilan 3% sepanjang tahun 2003-2007. Sementara di pengadlan

agama keberhasiilan mediasi mencapai angka 12% sepanjang tahun 2008-2010 khususnya di pengadilan

agama wilayah Jawa Barat. Lilhat dalam Yayah Yarotul Salamah, “Mediasi dalam Proses Beracara di

Pengadilan: Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan Mahkamah Agung RI”,

Disertasi, td, (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009), hlm. 31-32.

14

Ishlah merupakan prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh para pihak yang

beragama Islam yang terlibat konflik untuk memperebutkan kepentingannya.

Pengaturan adanya Ishlah ini ditunjukkan terhadap sejumlah konflik yang terjadi

antara manusia, baik menyangkut persoalan politik, pidana, dan perdata. Khusus

mengenai perselisihan keperdataan dalam bidang hukum keluarga, ishlah

dilakukan sebagai upaya agar harmoni dan integrasi antara anggota keluarga dan

masyarakat dapat dipelihara.

Keterikatan identitas keislaman yang dimiliki para pihak yang terlibat

konflik akan diikat oleh suatu prinsip kedamaian yang sumbernya dari al-Quran.

Sekalipun pertentangan memperebutkan kepentingan itu pasti terjadi, para pihak

yang terlibat konflik seyogiannya menyadari bahwa dasar penyelesaian

kepentingan yang sesuai dengan cita-cita al-Quran adalah diselesaikan dengan

damai. Penyelesaian perselisihan mengenai kepentingan tersebut, bukan hanya

memberi dampak kemanusiaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang sangat

luhur.

Oleh karena itu, aplikasi ishlah dalam resolusi konflik yang terjadi antar

orang Islam dirumuskan sebagai berikut:

1. Para pihak yang terlibat konflik adalah orang mukmin. Setiap orang mukmin

dengan sesama mukmin lainnya adalah bersaudara. Persaudaraan antara orang

mu‟min merupakan persaudaraan seagama yang memiliki konsekuensi

hukum yaitu antara orang mukmin dilarang saling mendhalimi dan

membiarkannya didhalimi, perumpaan seorang mu‟min dengan mu‟min

lainnya laksana seperti tubuh. Jika salah satu bagian merasa sakit, maka

seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur, janganlah antar

orang mu‟min bersaing dengan tidak baik, saling dengki, saling benci, dan

saling membelakang tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara (wa

kunu „ibadallahi ikhwana). 32

Makna saudara dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 10

itu sama dengan saudara sekandung. Diantara saudara sekandung dilarang

saling menyakiti, mencaci, memfitnah dan saling memarahi. Namun,

hubungan saudara sekandung masih lebih rendah kedudukannya

dibandingkan dengan hubungan persaudaraan seiman (seagama). Hubungan

32 Lihat ibnu Katsir, Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adhim. (Beirut: dar El-Fikr, 1999), juz II hlm.

296-297

15

persaudaraan dapat putus jika salah satu berpindah agama dan atas

perpindahan agama itulah menyebabkan putusnya hubungan kewarisan. Oleh

karena itu, berdamailah jika terjadi konflik dengan orang mu‟min sebab

ishlah dengan orang mu‟min merupakan bentuk ketaqwaan kepada Allah

yang pelakunya akan mendapat rahmat (la‟allakum turhamuun).

2. Akibat persaudaraan antara orang mu‟min, jika mereka terlibat konflik, maka

mereka harus mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan ishlah karena

ishlah merupakan perintah al-Quran yang ditujukan bagi orang yang beriman

(fa ashlihu baina akhawaikum);. Oleh karena itu, menurut al-Quran ishlah

merupakan haq Allah yang bersifat taa‟budi yang harus dita‟ati oleh orang

mu‟min ketika menghadapi sengketa, sedangkan haq insaniah-nya adalah

teknis melaksanakan ishlah baik berupa metode, syarat dan kewenangan

dalam forum ishlah.

3. Para pihak yang terlibat konflik dan akan menyelesaikannya dengan ishlah

memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah, yaitu pelakunya

memperoleh pahala yang besar (al-Nisa 114);

4. Jika salah satu pihak yang terlibat konflik berkeinginan untuk melakukan

ishlah, maka pihak lain ikut juga berdamai sambil bertawakkal kepada Allah

atas apa yang akan dan telah diputuskan dalam perdamaian itu (al-Anfal 61);

5. Dalam kehidupan keluarga, pasangan suami isteri yang bersengketa di adalah

orang mu‟min. Jika mereka mengangkat seorang hakam untuk mengishlahkan

mereka di dalam menghadapi kemelut dalam rumah tangganya Allah akan

memberi taufiq kepada suami isteri itu (an-nisa ayat 35);

6. Perintah ishlah (fashlihu) menunjukkan bahwa penyelesaian konflik

hendaklah dilakukan dalam forum ishlah bukan melalui peradilan. Peradilan

merupakan alternatif penyelesaian sengketa setelah mekanisme ishlah

mengalami jalan buntu.

Uraian di atas dapat dinyatakan sebagai teori ishlah yang sumbernya dari al-

Quran. Jika diterapkan di dalam masyarakat muslim yang terlibat konflik

menegaskan bahwa penyelesaian konflik yang terjadi antara orang-orang Islam

harus dilakukan dengan proses damai (ishlah). Inilah hukum asal di dalam

16

menyelesaian konflik menurut hukum Islam. Atas dasar itulah, penulis

mengajukan suatu kaidah hukum bahwa:

االصل ف حل الوبسعبت االصالح

“Pada dasarnya penyelesaian perselisihan itu dilakukan dengan cara damai”

Oleh karena itu, nilai-nilai ishlah yang terdapat di dalam rumusan al-Quran

dapat dijadikan pedoman di dalam penyelesaian konflik dan sengketa yang terjadi

diantara komunitas muslim dan para pihak di pengadiilan. Beberapa rumusan

yang dapat dikembangkan agar ishlah dapat dilakukan sebagai pedoman

penyelesaian konflik baik di dalam sistem peradilan maupun di luar peradilan

adalah:

1. Kriteria muslih (juru damai)

Dalam literatur klasik Islam dinyatakan bahwa hadirnya juru damai

merupakan salah satu syarat keberhasilan proses ishlah. Kriteria seorang mushlih

adalah taqwa, khauf, kharismatik, faqih dan memahami masalah yang menjadi

sumber konflik. Kriteria ini sifatnya ta‟aqquli, yang dewasa ini dapat dimaknai

dengan seorang juru runding yang professional. Walupun demikian, kriteria

mushlih di atas harus dipertimbangkan karena kriteria tersebut menunjukkan

kharisma dan kewibawaan seoarang juru damai.33

Kriteria seorang mediator di pengadilan didasarkan pada kemampuan

membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sifat empati,

tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan

yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, memiliki kemampuan

komunikasi yang baik, jelas dan teratur serta mudah dipahami para pihak karena

menggunakan bahasa yang sederhana dan kemampuan menjalin hubungan antar

personal.

2. Teknik Ishlah

Dalam tafsir ruhul ma‟ani 34

dinyatakan bahwa teknik mendamaikan dalam

proses penyelesaian konflik dilakukan dengan nasehat dan menghilangkan

keraguan atau rasa curiga, dan mengajak kepada hukum Allah. Kalau dua pihak

33 Muhammad al-Qurtubhi, al-Jami‟ li ahkam al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 2003). Juz 16, hlm. 323 34 Syihabuddin al-Alusi. Ruhul Ma‟ani fi Tafsir al-Quran al-„adhim wa sab‟u almatsani. Juz 15 hlm.

231

17

yang terlibat konflik itu tidak bisa dipengaruhi oleh nasihat, maka dapat ditempuh

cara lain melalui cara yang refresip terhadap orang yang membangkang itu

sehingga mereka kembali kepada hukum Allah. Jika mereka telah kembali kepada

agama Allah dan menghentikan segela bentuk konfliknya, maka damaikanlah

diantara keduanya itu dengan adil agar tidak ditemukan konflik berkelanjutan

dikemudian hari.

Ali al-Sayis menjelaskan bahwa cara ishlah dilakukan dengan memberi

nasehat dan irsyad (memberi bimbingan) kepada para pihak yang terlibat konflik

sehingga mereka bisa kembali kepada jalan Allah.

Dengan demikian, mempertimbangkan kriteria mushlih dan teknik Ishlah

merupakan dasar yang paling mungkin untuk mencapai kata damai di dalam

proses penyelesaian konflik yang terjadi di dalam masyarakat.

E. Kesimpulan

Ishlah merupakan norma dasar (grand norm) penyelesaian konflik yang

ditawarkan oleh al-Quran yang bersumber dari al-Quran surat al-Hujurat ayat 9

dan 10 beserta beberapa surat lainnya. Masyarakat muslim dapat memanfaatkan

islah sebagai pedoman di dalam menyelesaikan konflik karena apabila konflik

diselesaikan dengan damai merupakan salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah

yang pelakunya akan mendapat rahmat.

Kesadaran pentingnya melakukan ishlah (proses mendamaikan) dengan

hasilnya sulh (damai) terletak pada kemampuan seorang juru damai dan kesadaran

para pihak yang terlibat konflik. Apabila para pihak yang terlibat konflik tidak

memiliki itikad baik untuk berdamai, maka Ishlah sulit untuk dilakukan. Oleh

karena itu, keberhasilan penyelesaian konflik melalui ishlah ditentukan oleh

kemampuan seorang muslih dan kesadaran para pihak (sebagai orang yang

beriman) untuk menempuh proses ishlah. Dengan dua prasyarat ini, islah akan

dapat diaplikasikan sebagai model penyelesaian konflik di dalam masyarakat,

khususnya masyarakat muslim.

18

DAFTAR PUSTAKA

Abd Salam. (t.t.). Mu‟jam al-Wasĩth. Teheran: Maktabat al-Ilmiyah

Abu „Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi. (1986). Majma‟ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-

qur‟a.n Beirut: Dar al-Ma‟rifah.

Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni. (t.t.). al-Bidãyah fi Syarh al-

Hidãyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Ali al-Sayis, (2002). Tafsir Ayat al-Ahkam. Beirut: Dar al-fikr.

Alauddin at Tharablisi. t.t. Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al

khasamaini min al Ahkami Beirut : Dar al Fikr.

Alo Liliweri, (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya

Masyarakat Multikultur Yogyakarta: LKiS, 2005.

Al-Rãghib al-Ashfahani. (t.t.) al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur‟an, Beirut: Dar al-

Ma‟rifah.

Dahrendorf, (1998) dalam George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan

Berparadigma Ganda Jakarta: Rajawali Press.

E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed). (1990). Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J.

Brill.

Hassan Sadyli dkk. (1982). Ensikolopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar baru – Van

Hoeve.

Ibn Manzhũr. (t.t.). Lisãn al-'Arab. Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita‟lĩf wa al-

Tarjamah

Isma‟il al-Haqqi al-Hanafi, (t.t.). Ruhul Bayan. Saudi: Dar al-Nasyr.

Ibnu Katsir, (1999). Tafsir al-Quran al-„Adhim. Beirut: dar El-Fikr.

John O. Voll. 1983. Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh

dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent. New York: Oxford University

Press.

Kamaludin, (2001). Manajemen Personalia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhammad al-Qurtubhi, (2003), al-Jami‟ li ahkam al-Quran. Beirut: Dar el-Fikr,

19

Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, (t.t.). Jami‟ al-bayan fi ta‟wil al-Quran. Beirut:

Dar Elfikr.

Muhammad Salam Madkur. (1993), Peradilan dalam Islam, Alih bahasa Imron

AM, Surabaya: Bina Ilmu.

Sayid Sabiq. (1988). Fiqh al- Sunnah. Beirut:Dar el-Fikr.

Sukmadjaja Asy‟arie dan Rosy Yusuf. (2006). Indeks Al-Quran. Bandung:

Pustaka

Syihabuddin al-Alusi. (t.t.) Ruhul Ma‟ani fi Tafsir al-Quran al-„adhim wa sab‟u

almatsani.

Yayah Yarotul Salamah. (2009). “Mediasi dalam Proses Beracara di Pengadilan:

Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan Mahkamah

Agung RI”, Disertasi, td, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.


Recommended