+ All documents
Home > Documents > Makalah Akuntansi Biaya II Green Accounting (Akuntansi Lingkungan)

Makalah Akuntansi Biaya II Green Accounting (Akuntansi Lingkungan)

Date post: 10-Dec-2023
Category:
Upload: twa
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
22
MAKALAH AKUNTANSI BIAYA II GREEN ACCOUNTING (AKUNTANSI LINGKUNGAN) Disusun oleh: Devia Fatmawati 201210170311140 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2016
Transcript

MAKALAH AKUNTANSI BIAYA II

GREEN ACCOUNTING (AKUNTANSI LINGKUNGAN)

Disusun oleh:

Devia Fatmawati 201210170311140

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pengaruh dari kerusakan alam terhadap kehidupan manusia telah memunculkan

serangkaian tindakan serius dari masyarakat dunia untuk melakukan upaya pencegahan

dampak kerusakan lingkungan alam secara lebih luas. Contoh kecil dari tindakan

manusia sebagai upaya global mengurangi dampak kerusakan lingkungan adalah

dengan mengurangi perubahan iklim. Inilah salah satu contoh tindakan yang

mempelopori mengapa para pemerhati lingkungan, pebisnis dan pemerintah mengubah

cara pikir mereka dari hanya peduli akan laba tetapi juga mulai peduli terhadap

lingkungan yang menjadi sumber daya utama bagi usaha mereka. Dari upaya merawat

lingkungan tersebut akan timbul pengaruh terhadap bidang akuntansi di Indonesia

dengan munculnya istilah Green Accounting.

Konsep akuntansi lingkungan atau green accounting sebenarnya sudah mulai

berkembang sejak tahun 1970-an di Eropa, diikuti dengan mulai berkembangnya

penelitian-penelitian yang terkait dengan isu green accounting tersebut di tahun 1980-an

(Bebbington, 1997; Gray, dkk., 1996). Di negara-negara maju seperti yang ada di Eropa

(Roussey, 1992) Jepang (Djogo, 2006) perhatian akan isu-isu lingkungan ini

berkembang pesat baik secara teori maupun praktik. Hal ini dibuktikan dengan

banyaknya peraturan terkait dengan lingkungan ini.

Green accounting adalah jenis akuntansi lingkungan yang menggambarkan

upaya untuk menggabungkan manfaat lingkungan dan biaya ke dalam pengambilan

keputusan ekonomi atau suatu hasil keuangan usaha. Green

Accounting menggambarkan upaya untuk menggabungkan manfaat lingkungan dan

biaya ke dalam pengambilan keputusan ekonomi. Green accounting berkaitan dengan

informasi lingkungan dan sistem audit lingkungan. Peran utama green

accounting adalah untuk mengatasi masalah lingkungan sosial dan mungkin memiliki

dampak pada pencapaian pembangunan berkelanjutan dan lingkungan di negara

manapun dan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menghadapi isu-isu tanggung

jawab sosial dan lingkungan. Selain itu, green accounting juga digunakan sebagai upaya

perusahaan untuk membantu dalam mencapai tujuan perusahaan terhadap tanggung

jawab kepada stakeholder perusahaan.

Pengungkapan akuntansi lingkungan di negara-negara berkembang memang

masih sangat kurang. Banyak penelitian yang berkembang di area social accounting

disclosure memperlihatkan bahwa pihak perusahaan melaporkan kinerja lingkungannya

masih sangat terbatas. salah satu faktor keterbatasan itu adalah lemahnya sangsi hukum

yang berlaku di negara tersebut. Akuntansi lingkungan kerapkali dikelompokkan dalam

wacana akuntansi sosial. Hal ini terjadi karena kedua diskursus tersebut memiliki tujuan

yang sama, yaitu menginternalisasi eksternalitas (lingkungan sosial dan lingkungan

ekologis), baik positif maupun negatif, ke dalam laporan keuangan perusahaan. Serupa

dengan akuntansi sosial, akuntansi lingkungan juga menemui kesulitan dalam

pengukuran nilai cost and benefit eksternalitas yang muncul dari proses industri.

Demikian pula dengan praktik akuntansi lingkungan di Indonesia sampai saat ini

juga belum efektif. Cepatnya tingkat pembangunan di masing-masing daerah dengan

adanya otonomi ini terkadang mengesampingkan aspek lingkungan yang disadari atau

tidak pada akhirnya akan menjadi penyebab utama terjadinya permasalahan lingkungan.

Para aktivis lingkungan di Indonesia menilai kerusakan lingkungan yang terjadi selama

ini disebabkan oleh ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan regulasi.

Ketidakkonsistenan pemerintah misalnya mengabaikan regulasi mengenai tata ruang.

Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung dijadikan kawasan industri,

pertambangan dan kawasan komersial lain. Otonomi daerah telah mengubah

kewenangan bidang lingkungan menjadi semakin terbatas di tingkat kabupaten/kota.

Tanpa kontrol yang kuat dari pemerintah pusat atau provinsi, potensi kerusakan

lingkungan akan semakin besar.

Sebuah perusahaan dikatakan memiliki kepedulian terhadap permasalahan

lingkungan hidup jika perusahaan tersebut memiliki perhatian terhadap permasalahan

lingkungan hidup di sekitarnya. Berikutnya, perusahaan dikatakan memiliki perhatian

yang baik manakala perusahaan tersebut mempunyai keterlibatan dalam kegiatan peduli

lingkungan hidup ataupun konservasinya. Hal ini harus diikuti dengan pelaporan

akuntansi lingkungan yang ada di perusahaan. Tahapan akhir dari wujud kepedulian ini

adalah adanya audit lingkungan yang dengannya efektivitas dan efisiensi dari program

peduli lingkungan tersebut diukur.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Green Accounting  

Green accounting adalah jenis akuntansi yang mencoba untuk

menghubungkan faktor biaya lingkungan ke dalam hasil kegiatan usaha

perusahaan. Seperti diketahui bahwa produk domestik bruto mengabaikan

lingkungan dalam pembuatan keputusan. Dalam Environmental Accounting

Guidelines yang dikeluarkan oleh menteri lingkungan Jepang (2005:3)

dinyatakan bahwa akuntansi lingkungan mencakup tentang pengidentifikasian

biaya dan manfaat dari aktivitas konservasi lingkungan, penyediaan sarana atau

cara terbaik melalui pengukuran kuantitatif, serta untuk mendukung proses

komunikasi yang bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan,

memelihara hubungan yang menguntungkan dengan komunitas dan meraih

efektivitas dan efisiensi dari aktivitas konservasi lingkungan. Ditambahkan

pengertian dari US EPA (1995) akuntansi lingkungan sebagai aspek dari sisi

akuntansi manajemen, mendukung keputusan manajer bisnis dengan mencakup

penentuan biaya, keputusan desain produk atau proses, evaluasi kinerja serta

keputusan bisnis lainnya.

B. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) 

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu tindakan atau

konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan

tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan

sekitar dimana perusahaan itu berada. Corporate Social Responsibility (CSR)

merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan

kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan

sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar

profitability. Menurut International Finance Corporation Komitmen dunia bisnis

untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan

melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan

masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang

baik bagi bisnis maupun pembangunan.

C. Fungsi Green Accounting

1. Fungsi Internal

Sebagai salah satu tahap dalam sistem informasi lingkungan perusahaan,

fungsi internal memungkinkan untuk mengatur biaya konservasi lingkungan

dan menganalisa biaya lingkungan dengan manfaatnya, dan meningkatkan

efektivitas dan efisiensi aktivitas konservasi lingkungan terkait dengan

keputusan yang dibuat. Akuntansi lingkungan dapat berfungsi sebagai alat

manajemen yang digunakan manajer dan unit bisnis terkait.

2. Fungsi Eksternal

Dengan mengungkapkan hasil pengukuran kuantitatif dari kegiatan

konservasi lingkungan, fungsi eksternal memungkinkan sebuah perusahaan

untuk mempengaruhi keputusan stakeholder, seperti konsumer, mitra bisnis,

investor, dan masyarakat lokal. Diharapkan bahwa publikasi dari akuntansi

lingkungan dapat memenuhi tanggung jawab perusahaan dalam akuntabilitas

stakeholderdan digunakan untuk evaluasi dari konservasi lingkungan.

Intinya adalah bahwa akuntansi lingkungan bertujuan untuk meningkatkan

jumlah informasi yang relevan yang dibuat untuk pihak yang memerlukan

dan dapat digunakan. Kesuksesan dari akuntansi lingkungan tidak tergantung

dari bagaimana perusahaan mengklasifikasikan biaya yang terjadi di

perusahaan.

D. Jenis Akuntansi Lingkungan

Akuntansi lingkungan dari sisi pengguna dibedakan menjadi tiga jenis (Fasua 2011)

1. Laba Akuntansi Nasional

Akuntansi lingkungan dalam konteks akuntansi pendapatan nasional

mengacu pada akuntansi sumber daya alam, menyajikan informasi statistik

suatu negara tentang kualitas dan nilai konsumsi sumber daya alam, yang

terbarukan maupun yang tidak terbarukan.

2. Akuntansi Keuangan

Akuntansi lingkungan dalam konteks akuntansi keuangan mengacu pada

penyusunan laporan akuntabilitas lingkungan untuk pengguna eksternal

disesuaikan dengan prinsip akuntansi berterima umum.

3. Akuntansi Manajemen

Akuntansi lingkungan dalam konteks akuntansi manajemen mengacu pada

proses bisnis dengan pertimbangan penentuan biaya, keputusan investasi

modal, dan evaluasi kinerja yang terkait dengan pelestarian lingkungan.

E. Konsep Green Accounting

Konsep sistem akuntansi lingkungan dapat diterapkan oleh perusahaan

dalam skala yang besar maupun skala kecil dalam setiap industri dalam sektor

manufaktur dan jasa. Penerapan akuntansi lingkungan harus dilakukan dengan

sistematis atau didasarkan pada kebutuhan perusahaan. Keberhasilan dalam

penerapan akuntansi lingkungan terletak pada komitmen manajemen dan

keterlibatan fungsional. Sebuah perusahaan tidaklah terlepas dari tanggung

jawab lingkungan, karena itu diperlukan suatu cara untuk mengintegralkan biaya

lingkungan misalnya konsep eksternalitas dimana konsep ini melihat dampak

langsung aktivitas suatu entitas terhadap lingkungan sosial, non-sosial dan

ekologis. Langkah awal yang dapat dilakukan terkait biaya lingkungan adalah

dengan mengategorikan jenis biaya terkait dengan memerhatikan beberapa aspek

seperti lokasi situs limbah, jenis limbah berbahaya, metode pembuangan, dan

lainnya. Biaya lingkungan mengandung biaya yang eksplisit dan implisit. Biaya

implisit seperti biaya yang timbul akibat potensi kewajiban yang muncul.

Sistem penilaian biaya lingkungan dapat membantu memperbaiki

keputusan-keputusan yang terkait dengan keputusan bauran produk, pemilihan

input produksi, penilaian pencegahan pencemaran, evaluasi pengelolaan limbah

serta penentuan harga produk. Terdapat beberapa cara untuk mengetahui biaya-

biaya lingkungan perusahaan yaitu dengan mengadopsi sistem akuntansi

konvensional, activity based costing, full cost accounting dan total cost

assessment

F. Peraturan Yang Terkait Dengan Green Accounting

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 entang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU ini mengatur tentang kewajiban setiap orang yang berusaha atau

berkegiatan untuk menjaga, mengelola, dan memberikan informasi yang

benar dan akurat mengenai lingkungan hidup. Akibat hukum juga telah

ditentukan bagi pelanggaran yang menyebabkan pencemaran dan perusakan

lingkungan hidup.

2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU ini

mewajibkan bagi perseroan yang terkait dengan sumber daya alam untuk

memasukkan perhitungan tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagai

biaya yang dianggarkan secara patut dan wajar. Pelanggaran terhadap hal

tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

No: KEP- 134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan

bagi Emiten atau Perusahaan Publik. UU ini mengatur mengenai kewajiban

laporan tahunan yang memuat Tata Kelola Perusahaan (Corporate

Governance) harus menguraikan aktivitas dan biaya yang dikeluarkan

berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan

lingkungan.

4. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 32 (Akuntansi

Kehutanan) dan No. 33 (Akuntansi Pertambangan Umum). Kedua PSAK ini

mengatur tentang kewajiban perusahaan dari sektor pertambangan dan

pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) untuk melaporkan item-item

lingkungannya dalam laporan keuangan.

G. Sifat Dasar Akuntansi Lingkungan

1. Relevan.

Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang valid terkait

dengan manfaatbiaya pelestarian yang dapat memberikan dukungan dalam

pengambilan keputusan stakeholder. Namun, pertimbangan harus diberikan

kepada materialitas dan signifikansi dari relevansi. Dalam akuntansi

lingkungan, materialitas ditempatkan pada aspek kuantitas dan signifikansi

ditempatkan pada aspek kualitas. Dari sudut pandang materialitas, perhatian

diberikan kepada dampak kuantitatif dari data yang dinyatakan dalam nilai

moneter atau unit fisik. Sedangkan signifikansi berfokus pada kualitas

informasi dari sudut pandang pelestarian lingkungan atau dampak masa

depan yang dibawanya.

2. Handal

Akuntansi lingkungan harus menghilangkan data yang tidak akurat atau bias

dan dapat memberikan bantuan dalam membangun kepercayaan dan

keandalan stakeholder. Pengungkapan data akuntansi lingkungan harus

akurat dan tepat mampu mempresentasikan manfaat-biaya serta tidak

menyesatkan. Pengungkapan informasi akuntansi lingkungan seharusnya

tidak hanya menjadi formalitas belaka dari sekedar memenuhi persyaratan

undang-undang yang berlaku. Bila perlu, perusahaan harus menentukan

metode yang tepat dan sesuai dengan pengungkapan dan secara akurat dapat

menggambarkan kegiatan lingkungan yang sebenarnya sedang dilakukan.

Dalam hal pengungkapan informasi tersebut tidak sepenuhnya

dikomunikasikan ketika mengikuti format yang ditetapkan oleh

undangundang yang berlaku, informasi tambahan yang diperlukan harus

disediakan untuk lebih menjelaskan realitas secara lengkap. Ruang lingkup

akuntansi lingkungan harus diperluas ke semua hal yang bersifat material

dan signifikan untuk semua kegiatan pelestarian lingkungan.

3. Mudah dipahami

Dengan tujuan pengungkapan data akuntansi lingkungan yang mudah untuk

dipahami, akuntansi lingkungan harus menghilangkan setiap kemungkinan

timbulnya penilaian yang keliru tentang kegiatan perlindungan lingkungan

perusahaan. Untuk memastikan bahwa informasi yang diungkapkan mudah

dipahami bagi para pemangku kepentingan, kata-kata harus dibuat

sesederhana mungkin. Tidak peduli seberapa kompleks kandungan

informasinya, sangat perlu untuk mengungkapkan semua hal yang dianggap

penting.

4. Dapat dibuktikan

Data akuntansi lingkungan harus diverifikasi dari sudut pandang objektif.

Informasi yang dapat dibuktikan adalah hasil yang sama dapat diperoleh bila

menggunakan tempat, standar, dan metode yang persis sama dengan yang

digunakan oleh pihak yang menciptakan data.

H. Ruang Lingkup Akuntansi Lingkungan

Akuntansi lingkungan bertujuan mengukur biaya dan manfaat sosial

sebagai akibat dari aktivitas perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan

Akuntansi lingkungan adalah sebuah alat fleksibel yang dapat diterapkan dalam

skala penggunaan dan cakupan ruang lingkup yang berbeda. Skala yang

digunakan tergantung dari kebutuhan, kepentingan, tujuan, dan sumber daya

perusahaan. Permasalahan dalam menentukan ruang lingkup akuntansi

lingkungan adalah bagaimana perusahaan dapat menentukan biaya lingkungan

yang muncul akibat aktivitas bisnisnya yang mana biaya tersebut terkadang tidak

dapat diukur secara akuntansi. Semakin luas cakupannya perusahaan mungkin

akan mengalami kesulitan dalam mengukurnya.

I. Biaya Perlindungan Lingkungan

Pengungkapan akuntansi lingkungan di kebanyakan negara, termasuk

Indonesia masih bersifat voluntary, artinya tidak ada aturan yang mewajibkan

seperti halnya pada penerbitan financial reporting (Utama, 2006 dalam Suryono

dan Prastiwi 2011). Bila dikaitkan dengan tanggung jawab entitas dalam upaya

pelestarian lingkungan, maka PSAK tersebut belum mengakomodasinya secara

totalitas. Ada dua hal penting yang perlu didiskusikan, yaitu:

1. Pengungkapan masih bersifat sukarela. Perusahaan terlebih dahulu akan

mempertimbangkan manfaat dan biaya atas pengungkapan informasi

lingkungan. Jika manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang

dikeluarkan, maka perusahaan dengan sukarela akan mengungkapkan

informasi tersebut (Darwin, 2004). Hal ini berimplikasi pula pada luas dan

kedalaman pengungkapan informasi lingkungan. Jika informasi tersebut

bersifat „bad news‟ maka perusahaan mempertimbangkan untuk tidak

mengungkapkan hal tersebut

2. Akuntansi lingkungan belum dianggap sebagai bagian integral dalam

operasional perusahaan, sehingga beban lingkungan yang timbul tidak

diperlakukan sebagai tambahan harga pokok produksi dan atau tambahan

biaya operasional tidak langsung. Padahal, pada hakekatnya biaya

lingkungan adalah biaya yang muncul akibat kegiatan proses produksi yang

dilakukan oleh suatu perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa. Bila

perusahaan tidak melakukan kegiatan produksi, maka biaya lingkungan ini

tidak akan muncul.

Dalam akuntansi lingkungan, terdapat beberapa komponen pembiayaan

yang harus dihitung, misalnya (Handayani 2010)

1. Biaya operasional bisnis yang terdiri dari biaya depresiasi fasilitas

lingkungan, biaya memperbaiki fasilitas lingkungan, jasa atau fee kontrak

untuk menjalankan kegiatan pengelolaan lingkungan, biaya tenaga kerja

untuk menjalankan operasionalisasi fasilitas pengelolaan lingkungan, serta

biaya kontrak untuk pengelolaan limbah (recycling)

2. Biaya daur ulang limbah

Biaya penelitian dan pengembangan (research and development) yang

terdiri dari biaya total untuk material, tenaga ahli, dan tenaga kerja lain untuk

pengembangan material yang ramah lingkungan, produk dan fasilitas pabrik.

Kerangka Pemikiran Teoritis

PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS

A. Perkembangan Green Accounting di Indonesia

Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan

Konferensi Lingkungan dan Pembangunan atau Earth Summit di Rio de Janeiro

untuk membahas pembangunan yang berkelanjutan. Seperti yang tercantum

dalam preamble of agenda-21, sebuah rencana telah disepakati oleh lebih dari

178 pemerintah yang hadir. Dalam konferensi tersebut membahas tentang

semakin besar kesadaran akan masalah lingkungan akan meningkatkan

kesejahteraan di masa mendatang. Agenda 21 merekomendasikan agar negara-

Green Accounting

(Akuntansi Lingkungan)

Perhatian Lingkungan

Tanggungjawab Lingkungan

Pelaporan Akuntansi Lingkungan

Audit Lingkungan

Industri Besar Industri Sedang

negara menerapkan akuntansi lingkungan (INTOSAI Working Group on

Environmental Auditing, 2010).

Berdasarkan artikel yang dimuat dalam majalah Akuntan

Indonesia Edisi No.3 bulan November tahun 2007, menyinggung tentang

bagaimana peran akuntan terhadap lingkungan yang makin memprihatinkan.

Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-

KAM) yang juga merupakan Direktur Eksekutif National Center for

Sustainability Reporting(NCSR) Ali Darwin, Ak, MSc melihat ada empat hal

mengapa penekanan terhadap isu lingkungan semakin signifikan akhir-akhir ini.

Pertama, Ukuran perusahaan yang ukuran perusahaan yang

semakin besar. Menurut Ali, semakin besar perusahaan, diperlukan akuntabilitas

yang lebih tinggi pula dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan operasi,

produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Kedua, Aktivis dan LSM

semakin tumbuh. LSM bidang lingkungan hidup telah tumbuh dengan pesat di

seluruh dunia termasuk Indonesia. Kegiatan yang dilakukan oleh aktivis

lingkungan hidup semakin kompleks dan berkualitas. Mereka akan

mengungkapkan sisi negatif perusahaan yang berkaitan dengan isu lingkungan

hidup dan akan berjuang menuntut tanggungjawab atas kerusakan lingkungan

atau dampak sosial yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan. Ketiga, Reputasi

dan citra perusahan. Perusahaan-perusahaan dewasa ini menyadari bahwa

reputasi, merk, dan citra perusahaan merupakan isu strategis yang bernilai tinggi

dan harus dilindungi. Keempat, Kemajuan teknologi komunikasi yang

berkembang sangat cepat. Isu lingkungan dan sosial yang berdampak negatif

akan menyebar dan dapat diakes dengan mudahnya melalui teknologi. Ali

mengungkapkan pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan oleh setiap

perusahaan karena perusahaan harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk

menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.

B. Hubungan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Green Accounting

Keadaan teknologi pada kehidupan manusia tentu mempengaruhi

keseimbangan lingkungan hidup yang berada disekitar manusia. Perkembangan

teknologi yang pesat membuat lingkungan disekitarnya sedikit demi sedikit akan

terancam kelestariannya. Pada saat ini, setiap negara berupaya untuk mengatasi

potensi ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan masalah

lingkungan lainnya, dan hal ini merupakan kekuatan utama yang

melatarbelakangi munculnya akuntansi hijau.

Green accounting yang dasarnya merupakan penggabungan kebijakan

keuangan dan non-keuangan secara garis besar mengambil keputusan bisnis

berdasarkan analisis biaya dan dampak lingkungan dari kebijakan bisnis yang

diterapkan. Melalui CSR analisis terhadap dampak lingkungan serta estimasi

biaya yang dikeluarkan secara otomatis akan mempengaruhi setiap langkah

perusahaan dalam mengambil kebijakan dalam menggunakan sumber daya alam

yang ada disekitarnya.

CSR sendiri merupakan alat bagi perusahaan untuk memperlihatkan

tanggung jawabnya kepada lingkungan dari hasil apa yang mereka peroleh.

Melalui CSR perusahaan secara kontiniu akan mempraktekkan apa yang disebut

dengan Green Accounting.

Studi kasus akuntansi hijau diterapkan penilaian pasar terutama untuk

penipisan sumber daya alam. Dengan tidak adanya harga pasar untuk aset alam

non-produksi, sumber daya alam sewa yang diterima dengan menjual output di

pasar sumber daya digunakan untuk memperkirakan nilai sekarang bersih dan

perubahan nilai (terutama dari deplesi) dari aset. Untuk degradasi lingkungan,

biaya pemeliharaan menghindari atau mengurangi dampak lingkungan dapat

diterapkan. 

Sebuah kekuatan khusus akuntansi hijau adalah pengukuran biaya

lingkungan yang disebabkan oleh agen-agen ekonomi rumah tangga dan

perusahaan. Pencemar terkenal / pengguna membayar prinsip terus agen

bertanggung jawab bertanggung jawab atas dampak lingkungan mereka. Para

ekonom menganggap instrumen pasar internalisasi biaya lingkungan lebih

efisien dalam membawa tentang produksi berkelanjutan dan pola konsumsi dari

regulasi lingkungan hidup top-down. Dengan tidak adanya informasi akuntansi

hijau, urgensi politik daripada perkiraan biaya rasional muncul untuk

menentukan dalam banyak kasus pengaturan instrumen pasar.

Oleh sebab itu, ruang lingkup CSR yang bergerak di lingkungan bisa

menopang fungsi dari green accounting itu sendiri. Apabila perusahaan telah

melaksanakan CSR otomatis perusahaan telah menerapkan green accounting

dalam mengambil sebuah kebijakan, apakah itu kebijakan keuangan maupun

kebijakan non keuangan.

C. Penerapan Green Accounting di Indonesia

Akuntansi lingkungan mengalami kesulitan dalam pengukuran nilai cost

and benefit eksternalitas yang muncul dari proses industri. Bukan hal yang

mudah untuk mengukur kerugian yang diterima masyarakat sekitar dan

lingkungan ekologis yang ditimbulkan polusi udara, limbah cair, kebocoran

tabung amoniak, kebocoran tabung nuklir atau eksternalitas lain. Pelaporan baik

kinerja sosial maupun kinerja lingkungan ini tidak didapati dalam laporan

keuangan yang konvensional, dimana dalam laporan keuangan yang

konvensional hanya dijumpai laporan kinerja ekonomi saja (Idris, 2012). Begitu

pula yang terjadi di Indonesia masih sebatas anggapan sebagai suatu konsep

yang rumit karena kurangnya informasi yang komprehensif bagi stakeholder

dikhawatirkan akan menimbulkan efek dari implementasi dan pengeluaran biaya

tambahan yang diakui sebagai beban yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan

dalam perspektif akuntansi konvensional (Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006

dalam Arisandi dan Frisko, 2011).

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Gray et. al (1993) dalam

Burrit dan Welch (1997) bahwa pengungkapan biaya eksternalitas akan

mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi pertimbangan

stakeholder karena reaksi pasar telah menunjukkan hasil yang tidak berbeda

terhadap aktivitas perusahaan yang melakukan (atau tidak) kepentingan sosial

dan lingkungan. Sehingga pelaksanaan akuntabilitas lingkungan akan berhasil

jika didukung oleh peraturan.

Menurut Solihin (2008) dalam Idris (2012), pelaksanaan CSR di

Indonesia terutama berkaitan dengan pelaksanaan CSR untuk kategori

discretionary responsibilities, yang dapat dilihat dari dua perspektif yang

berbeda. Pertama, pelaksanaan CSR memang merupakan praktik bisnis secara

sukarela dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang dituntut

untuk dilakukan perusahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Kedua, pelaksanaan CSR sesuai dengan tuntutan undang-undang (bersifat

mandatory). Misalnya, BUMN memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian

laba yang diperoleh perusahaan untuk menunjang kegiatan sosial, dan

perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumberdaya alam atau

berkaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR

seperti diatur oleh UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal

74.

Dilihat dari sudut dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara

konseptual masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh

perusahaan besar dan CSR yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah.

Selama ini terdapat anggapan yang keliru bahwa pelaksanaan CSR hanya

diperuntukkan bagi perusahaan besar yang dapat memberikan dampak negatif

terhadap masyarakat dan lingkungan, padahal perusahaan kecil dan menengah

pun bisa memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan

sekitarnya. Apalagi bila perusahaan kecil dan menengah itu banyak jumlahnya,

tentu dampaknya akan terakumulasi dalam jumlah yang besar dan untuk

mengatasinya akan lebih sulit dibandingkan dampak yang ditimbulkan oleh satu

perusahaan besar.

Apabila dilihat dari pelaksanaan CSR di Indonesia, maka dapat dikatakan

bahwa perusahaan yang telah melaksanakan program CSR dan membuat

laporannya belum bisa dikatakan sebagai perusahaan yang telah menerapkan

akuntansi lingkungan. Hal ini disebabkan karena dalam operasional perusahaan

belum memasukkan upaya pelestarian lingkungan sebagai bagian integral (Idris,

2012). Gray et al. (1993) menyimpulkan bahwa mekanisme pengungkapan yang

bersifat sukarela kurang tepat. Bukti dari Deegan and Rankin (1996)

menyebutkan bahwa pelaporan akuntansi lingkungan bersifat bias karena

perusahaan seringkali tidak melaporkan kabar buruk (bad news).

D. Alasan Penerapan Green Accounting di Indonesia

Aktivitas-aktivitas dalam pelaksanaan green accounting tentunya

mengeluarkan biaya. Aktivitas tersebut merupakan biaya yang harus

dibebankan\ oleh perusahaan yang timbul bersamaan dengan penyediaan barang

dan jasa kepada konsumen. Dengan beban yang telah dialokasikan diharapkan

akan membentuk lingkungan yang sehat dan terjaga kelestariannya Kinerja

lingkungan merupakan salah satu pengukuran penting dalam menunjang

keberhasilan perusahaan. Beberapa alasan yang dapat mendukung pelaksanaan

akuntansi lingkungan antara lain (Fasua, 2011):

1. Biaya lingkungan secara signifikan dapat dikurangi atau dihilangkan sebagai

hasil dari keputusan bisnis, mulai dari perubahan dalam operasional dan

pemeliharaan untuk diinvestasikan dalam proses yang berteknologi hijau serta

untuk perancangan kembali produk yang dihasilkan.

2. Biaya lingkungan jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan menjadi tidak

jelas dan masuk dalam akun overhead atau bahkan akan diabaikan.

3. Banyak perusahaan telah menemukan bahwa biaya lingkungan dapat diimbangi

dengan menghasilkan pendapatan melalui penjualan limbah sebagai suatu

produk.

4. Pengelolaan biaya lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan perbaikan

kinerja lingkungan dan memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan

manusia serta keberhasilan perusahaan.

5. Memahami biaya lingkungan dan kinerja proses dan produk dapat mendorong

penetapan biaya dan harga produk lebih akurat dan dapat membantu perusahaan

dalam mendesain proses produksi, barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan

untuk masa depan.

6. Perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang didapat dari proses, barang,

dan jasa yang bersifat ramah lingkungan. Brand image yang positif akan

diberikan oleh masyarakat karena keberhasilan perusahaan dalam memproduksi

barang dan jasa dengan konsep ramah lingkungan (Schaltegger dan Burritt, 2000

dalam Arisandi dan Frisko, 2011). Hal ini berdampak pada segi pendapatan

produk, yaitu memungkinkan perusahaan tersebut untuk menikmati diferensiasi

pasar, konsumen memiliki kecenderungan untuk bersedia membayar harga yang

mahal untuk produk yang berorientasi lingkungan dengan harga premium

(Aniela, 2012).

7. Akuntansi untuk biaya lingkungan dan kinerja lingkungan dapat mendukung

perkembangan perusahaan dan operasi dari sistem manajemen lingkungan secara

keseluruhan. Sistem seperti ini akan segera menjadi keharusan bagi perusahaan

yang bergerak dalam perdagangan internasional karena adanya persetujuan

berlakunya standar internasional ISO 14001.

8. Pengungkapan biaya lingkungan akan meningkatkan nilai dari pemegang saham

karena kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan. Pemegang

saham perusahaan dapat lebih mudah dan cepat mendapatkan informasi dari

pengungkapan tersebut sehingga dapat mempermudah pengambilan keputusan

(Arisandi dan Frisko, 2011).

E. Kendala Yang Dihadapi

Menurut Utama (n.d) struktur governance ikut menentukan pelaksanaan

pelaporan CSR. Seperti dikemukakan oleh Cooper dan Owen (2007), dengan

struktur governance yang saat ini masih menekankan hanya pada kepentingan

pemegang saham, maka sulit bagi stakeholders untuk menuntut akuntabilitas

perusahaan melalui mekanisme governance. Hal ini merupakan sesuatu yang

wajar karena pemegang sahamlah yang berinisiatif mendirikan perusahaan,

menempatkan modalnya, dan sebagai residual claimant adalah pihak terakhir

yang berhak atas imbal hasil perusahaan setelah kewajiban kepada pihak lain

dipenuhi. Sesuai dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011) yang meneliti

seluruh perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk

periode tahun 2007 sampai dengan 2009, hasilnya menyatakan bahwa praktik

pengungkapan CSR dipengaruhi oleh profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan

dan CG (komite audit dan dewan direksi).

Untuk mengkompensasi risiko yang ditanggung pemegang saham, maka

mereka diberikan hak untuk mengawasi dan mengatur kepengurusan

perusahaan. Oleh karenanya, yang diperlukan adalah menyediakan instrumen

tambahan dalam struktur governance yang mendorong terciptakan kegiatan dan

pelaporan CSR, misalnya dibentuknya komite CSR. Hingga kini belum ada

aturan yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki Komite CSR dan saat ini,

sangat jarang perusahaan di Indonesia memiliki komite CSR. Keberadaan

komite CSR terutama sangat penting untuk perusahaan yang berada di sektor

yang potensial menimbulkan eksternalitas negatif (misalnya sektor kehutanan,

pertambangan). Instrumen lainnya untuk mendukung pelaksanaan CSR adalah

keberadaan jasa assurance atas laporan CSR oleh pihak eksternal dan

independen yang berperan untuk memberi keyakinan bagi stakeholders bahwa

laporan tersebut telah disusun sesuai dengan standar pelaporan yang ada.

Namun, permasalahan lain yang muncul adalah bahwa laporan yang telah

diverifikasi oleh pihak eksternalpun masih perlu dipertanyakan keandalan,

konsistensi, dan keabsahannya (robustness). Kenyataan ini disebabkan karena

hingga kini belum ada standar assurance terkait dengan pelaporan CSR yang

diterima umum (Adams, 2002 Owen et al 2000), sehingga jasa assurance

umumnya menggunakan standar assurance keuangan, yang kurang tepat untuk

laporan CSR karena cakupannya lebih luas dan lebih bersifat kualitatif

(O‟Dwyer, 2001).

Dengan demikian diperlukan suatu standar assurance yang diterima

umum sehingga dapat dijadikan acuan oleh auditor eksternal dalam melakukan

verifikasi terhadap laporan CSR (Utama, n.d). Agustin (2010) melakukan

penelitian pada perusahaan ekstraktif yaitu perusahaan yang proses produksinya

diambil langsung dari alam (natural resources) daftar perusahaan ekstraktif pada

Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukan program lingkungan. Penelitian

Agustin (2010) mendukung pemikiran sebelumnya. Hasil yang didapat bahwa

tidak ada pengaruh antara kinerja lingkungan dan kinerja ekonomi perusahaan.

Perusahaan yang memiliki standar kualitas mutu (ISO 9001 dan ISO 14001)

serta melakukan program CSR tidak berarti dapat menunjang kinerja ekonomi

yang diharapkan lebih baik. Selain itu Agustin (2010) juga mengungkapkan

bahwa tidak ada pengaruh antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan

dan antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. Hal ini berarti tidak

adanya standar baku pengungkapan CSR menjadikan perusahaan dapat

melaporkan kinerja lingkungan sebatas pada hal yang memberikan kesan positif

kepada masyarakat dan tidak terkait dengan hasil kinerja ekonomi perusahaan.

Alasan ini sesuai dengan penelitian Almilia (2009), yang meneliti penggunaan

website untuk pengungkapan informasi financial and sustainability report pada

perusahaan go publik di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat

beragam bentuk format laporan nonfinansial. Hal ini dikarenakan tidak terdapat

standar baku, sementara standar GRI (Global Reporting Initiative) masih

bersifat sukarela.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran perusahaan

perusahaan publik di Indonesia saat ini baru sampai pada batas memenuhi

kewajiban yang bersifat mandatory, dalam artian perusahaan-perusahaan

tersebut baru mengimplementasikan CSR pada kategori social obligation, yakni

implementasi CSR hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan minimal yang

ditentukan oleh pemerintah dan ada kesan terpaksa.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kompartemen Akuntansi Manajemen

setiap tahun mengadakan Indonesian Sustainability Reporting Awards (ISRA),

yang menemukan bahwa hanya sekitar 10% dari perusahaan publik di Indonesia

mengungkapkan informasi lingkungan dan sosial dalam laporan tahunan 2004.

Bahkan hanya beberapa perusahaan yang membuat laporan khusus tentang

lingkungan dan sosial.

Upaya untuk meningkatkan penerapannya. Berikut ini beberapa usaha

meningkatkan pelaporan akuntansi lingkungan:

1. Menyusun standar akuntansi lingkungan. Dalam upaya keseragaman dan

memenuhi fungsi keterbandingan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) diharapkan

dapat menyusun pedoman Sustainability Reporting.

2. Mewajibkan untuk menerapkan pedoman pelaporan yang sudah ada. Karena

keseluruhan aktivitas perusahaan akan berdampak pada masyarakat dan

lingkungan dalam jangka panjang demi menjaga pembangunan yang

berkelanjutan, maka Sustainability Reporting yang Sustainability Reporting

bersifat mandatory diperlukan.

3. Memberikan penghargaan atas perusahaan yang telah menyelenggarakan

Sustainability Reporting. Penyelenggaraan menyelenggarakan Indonesia

Sustainability Reporting Award (ISRA) oleh Ikatan Akuntan Indonesia

Kompartemen Akuntan Manajemen diharapkan akan meningkatkan reputasi

perusahaan dan kemudian kesadarannya dalam melaporkan apa saja yang telah

mereka lakukan untuk memberikan nilai tambah yang berdampak pada

lingkungan.

4. Melakukan audit lingkungan. Sustainability reporting harus disertai dengan

audit lingkungan guna meningkatkan kredibilitas pelaporan.

5. Mengembangkan mekanism Good Corporate Governance (GCG) untuk

memastikan penerapan kewajiban lingkungan. Melalui pembentukan komite

CSR dalam komponen governance, diharapkan pelaksanaan green accounting

dan sustainability reporting akan lebih handal dan mengalami peningkatan.

KESIMPULAN

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini bahwa tidak terdapat

perbedaan perhatian antara industri besar dan sedang terkait permasalahan

lingkungan disekitarnya, terdapatm perbedaan tanggungjawab antara industri

besar dan sedang terkait permasalahan lingkungan disekitarnya, terdapat

perbedaan pelaporan akuntansi lingkungan antara industri besar dan sedang

terkait permasalahan lingkungan disekitarnya, terdapat perbedaan audit

lingkungan antara industri besar dan sedang terkait permasalahan lingkungan

disekitarnya. Saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk substansi

penelitian, materi yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat umum.

Untuk itu, dalam penelitian mendatang substansi materi dapat difokuskan pada

permasalahan polusi air, udara, limbah darat dan yang sejenisnya. Dampak

aktivitas perusahaan perlu dilaporkan sebagai perwujudan tanggung jawab

perusahaan kepada stakeholder. Rendahnya kesadaran pelaporan dampak

lingkungan disebabkan oleh beberapa kendala pelaporannya. Pentingnya

akuntansi lingkungan perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan penerapannya.

Sumber :

Business strategy and the Environment 2004 (Wiley Inter Sciens)

Fasua, Kayode Olushola. 2011. Environmental Accounting: Concept and

Principles. Certified National Accountant Volume 19 Number 2 April -

June, 2011.

Utama, Sidharta. n.d. Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia. Pidato pengukuhan guru

besar Universitas Indonesia.

Handayani, Ari Retno. 2010. Pengaruh Environmental Performance Terhadap

Environmental Disclosure Dan Economic Performance Serta

Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance Universitas

Diponegoro.

Darwin A. 2004. Penerapan Sustainability Reporting di Indonesia. Konvensi

Nasional Akuntansi V, Program Profesi Lanjutan, Yogyakarta, 13-15

Desember 2004.

Idris. 2012. Akuntansi Lingkungan Sebagai Instrumen Pengungkapan Tanggung

Jawab Perusahaan Terhadap Lingkungan Di Era Green Market.

Universitas Negeri Padang

Gray, R., Kouhy, R. and Lavers S. (1995). Corporate Social and Environmental

Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK

Disclosure. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 8, 47-

77.

Burrit, Roger L dan Welch, Stephen. 1997.

Solihin, Ismail. 2008. Corporate Social Responsibility, Fom chairty to

sustainability.Penerbit Salemba Empat: Jakarta

Deegan, C. and Rankin, M. 1996. Do Australian companies report

environmental news objectively?. Accounting, Auditing and

Accountability Journal, Vol. 9 No. 2, pp. 50-67.

Cooper, S. M., dan D. L. Owen, 2007, Corporate social reporting andstakeholder

accountability: The missing link, Accounting, Organization, and Society,

32, 649- 667.

Suryono, Hari dan Prastiwi, Andri. 2011. Pengaruh Karakteristik Perusahaan

Dan Corporate Governance(CG) Terhadap Praktik Pengungkapan

Sustainability Report (SR) ( Studi Pada Perusahaan – Perusahaan Yang

Listed (Go-Public) DI Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2007-2009 ).

Simposium Nasional Akuntansi 14. Universitas Syiah Kuala Banda

Aceh.

Adams, C. A. 2002. Factors influencing corporate social and ethical reporting:

moving on from extant theories, Accounting, Auditing & Accountability

Journal, Vol. 15 No. 2, 223-250.


Recommended