+ All documents
Home > Documents > Kehidupan Media Massa dalam Perspektif Marxisme Klasik

Kehidupan Media Massa dalam Perspektif Marxisme Klasik

Date post: 24-Nov-2023
Category:
Upload: usu-id
View: 1 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
24
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Media massa merupakan istilah yang digunakan untuk mempertegas kehadiran suatu kelas, seksi media yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai audiens yang sangat besar dan luas (Liliweri, 2011: 874). Pengertian media massa ini makin luas penggunaanya sehubungan dengan lahirnya percetakan oleh Guttenberg di abad pertengahan dan disusul oleh penemuan radio yang melintasi lautan Atlantik pada 1920, dan terakhir dengan perkembangan jaringan radio, televisi, meluasnya sirkulasi surat kabar dan majalah serta internet yang berhubungan dengan massa. Di Indonesia, sejarah media masa dimulakan pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan- ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial Belanda. Page | 1
Transcript

PENDAHULUAN

1. Latar BelakangMedia massa merupakan istilah yang digunakan untuk

mempertegas kehadiran suatu kelas, seksi media yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai audiens yang sangat besar dan luas (Liliweri, 2011: 874). Pengertian media massa ini makin luas penggunaanya sehubungan dengan lahirnya percetakan oleh Guttenberg di abad pertengahan dan disusul oleh penemuan radio yang melintasi lautan Atlantik pada 1920, dan terakhir dengan perkembangan jaringan radio, televisi, meluasnya sirkulasi surat kabar dan majalah serta internet yang berhubungan dengan massa.

Di Indonesia, sejarah media masa dimulakan pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial Belanda.

Page | 1

Pada masa revolusi fisik, yakni perjuangan kemerdekaan, peranan yang telah dilakukan oleh media massa kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi media massa kita. Dalam periode ini media massa kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, media massa yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua media massa yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.

Namun dalam konteks kekinian, perkembangan media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks sebagai  institusi sosial dan politik belaka melainkan juga harus dilihat dalam konteks institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan saja sebagai alat sosial, politik dan budaya tapi juga sebagai perusahaan yang menekankan keuntungan ekonomi. Institusi media harus dinilai sebagai dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Inilah yang dimaksudkan bahwa media mempunyai dwi karakter yang tak terpisahkan: karakter sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Faktor ekonomi rupanya menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi seluruh perilaku media massa modern. Faktor pasar bebas dalam seluruh proses komunikasi massa memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam membentuk faktor persaingan dan tuntutan ekonomi

Page | 2

menjadi pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola.

Untuk memahami posisi media massa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatarbelakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang me-ngandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan. Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Sebab pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.

Banyak teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kapitalisme dengan organisasi media, baik dari perspektif Marxis ataupun non Marxis. Marxisme Klasik memandang media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Pendekatan Marxisme Klasik memandang media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi hasrat kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti Teori Ekonomi Politik, Teori Kritis dan Teori Hegemoni Budaya.

Page | 3

2. PermasalahanDari sejak pasca reformasi 1998 digulirkan, Indonesia

sekurangnya telah memiliki dua peraturan dalam bentuk Undang-undang yang mengatur tentang pers dan media massa. Pertama, adalah Undang-undang nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers; dan kedua, Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran. Legitimasi ini memperkuat tentnag bagaimana mestinya pers dan/ atau media massa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai watch dog, dan pilar keempat dalam demokrasi modern. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers, misalnya, disebutkan bahwa Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: (a) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; (c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Tugas mulia pers dan/ atau media massa menjadi suara “tengah” yang membawa pesan-pesan kebaikan dan nilai-nilai moral ini mestinya menjadi penyangga utama aktor-aktor media melaksanakan kerja-kerjanya. Tapi faktanya, nyaris semua sektor industri selalu berkelindan dengan kepentingan-kepentingan yang tak kasat mata, dan diketahui oleh khalayak umum. Industri media juga tak luput dari hal itu. Mungkin, itulah salah satu hal mengapa nilai-nilai “ilahiyah” media menjadi tergerus sedikit demi sedikit.

Page | 4

Kepentingan untuk bagaimana suatu usaha media massa untuk tetap hidup dan bernapas, sebagian besarnya didominasi oleh bagaimana media itu menarik relasi-relasi dari sektor industri atau lainnya memasang iklan pada media tersebut. Secara tidak langsung ini tentu mempengaruhi bagaimana media tersebut “bersuara” kepada audiensnya. Misi ekonomi bertaut dengan keinginan untuk menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Secara umum, inilah yang menjadi titik tekan teori Marxisme klasik.

Marxisme Klasik memandang media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Pendekatan Marxisme Klasik memandang media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi hasrat kelas tersebut.

Premis yang mesti disimpulkan oleh media massa kini adalah, apakah mereka masih bisa menyampaikan nilai-nilai “ilahiyah” terebut tanpa terintimidasi oleh kepentingan kapitalisme? Suatu pertanyan besar yang masih belum terjawab hingga kini.

3. Tujuan Adapun tujuan utama penulisan ini adalah agar kita

memahami pemikiran Marxisme klasik dalam realitas komunikasi dan media massa di Indonesia dimana peranan dan kepentingan kapitalis dalam industri media bertalian erat, dan secara tidak langsung sudah mengabaikan kepentingan rakyat selaku audiens sebagaimana diatur dalam sistem perundang-undangan negara ini.

Page | 5

Page | 6

PEMBAHASAN

1. Media Massa; Realita KekinianDalam penjelasan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers

disebutkan sebagai berikut:

“Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.”

Pemerintahan era reformasi melakukan perbaikan-perbaikan dalam sektor industri media massa, melalui pencabutan undang-undang subversif dan setumpuk aturan lainnya, yang dulunya, mengatur pers dengan sangat ketat. Kemerdekaan pers menjadi penting untuk dilaksanakan karena ianya salah satu wujud kedaulatan rakyat. Itulah kata kunci dan semangat perubahan yang diusung kala itu.

Page | 7

Pers atau media massa selaku organisasi pemberitaan memang dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens).

Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik. Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya (perusahaannya). Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka (Arismunandar, 2009: 2).

Berkembangnya media komunikasi seperti televisi, radio, surat kabar, dan terakhir media on-line tentu saja merupakan hal positif selama tetap menghadirkan program yang berkualitas dan mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Namun, mengingat tingginya kecenderungan kapitalisasi dan hegemoni korporasi pada sebagian besar media ini, menimbulkan pertanyaan apakah kanal-kanal berita tersebut mampu mempertahankan komitmennya untuk memberikan informasi dan program-program yang mendidik, serta mampu melepaskan diri dari konflik kepentingan antara kebutuhan untuk memperoleh profit dan fungsi edukasinya. Apalagi pada realita

Page | 8

terkini, kepemilikan media-media ini hanya dikuasai segelintir orang, hingga membentuk monopoli dan oligarki kekuasaan media.

Buku “The Elements of Journalism” karya Bill Kovich dan Tom Rosenstiel, seolah ingin menegaskan kembali perdebatan mengenai keberpihakan media. Pertanyaan pertanyaan mendasar seperti; Kepada siapa media (jurnalis) berpihak?; Untuk siapa jurnalis bekerja?; dan Kepada siapa loyalitas jurnalis diperuntukkan? Pertanyaan-pertanyaan ini kembali menguat bersuara di tengah-tengah para pemerhati media.

Dampak monopoli media kini, sebenarnya sudah mulai dirasakan. Bagaimana mereka mengontrol suatu berita sesuai dengan kepentingan para pemilik modal. Bukti yang tak bisa dipungkiri adalah keberpihakan media kepada modal dibandingkan memihak rakyat kebanyakan sebagaimana nilai-nilai demokrasi universal disemaikan, diusung dan didaratkan dari oleh dan untuk rakyat. Padahal media selain sebagai pembentuk opini publik media juga memiliki fungsi strategis yang lain yaitu sebagai kontrol sosial.

Padahal sejatinya, hubungan media massa, kelompok dominan, dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik. Hegemoni berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dan konsensus.

Hal ini patut dipahami karena dalam banyak kasus, media tak sekedar menjadi pembentuk pendapat umum yang mengkritik pemerintah maupun kapital, namun keberadaan media dengan pendapatnya itu sendiri merupakan ruang publik

Page | 9

(public sphere) di mana permasalahan kebijakan dibincangkan dan dirumuskan; permasalahan kebijakan perlu ditolak atau diperkuat. Dari kondisi ini kontrol dapat ditegakkan dan partisipasi rakyat berjalan efektif, mutlak diperlukan adanya kebebasan memperoleh informasi. Disamping itu, diperlukan adanya kesediaan berbagi kekuasaan dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, termasuk dalam pengertian ini berbeda pandangan dengan pemerintah.

2. Media Massa dalam Kajian Marxisme KlasikDengan komunikasi, manusia melakukan berbagai

penyesuaian diri yang diperlukan, dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada sehingga masyarakat tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke generasi.

Di setiap kelompok masyarakat, mulai dari yang paling primitif hingga yang terkompleks, sistem komunikasi menjalankan empat fungsi. Harold Lasswell telah mendefinisikan tiga di antaranya: penjagaan lingkungan yang mendukung; pengaitan berbagai komponen masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; serta pengalihan warisan sosial. Willbur Schramm menggunakan istilah yang lebih sederhana, yakni sistem komunikasi sebagai penjaga, forum, dan guru. Ia dan sejumlah pakar lain menambahkan fungsi keempat: sumber hiburan (Rivers et. al, 2003: 34).

Komunikasi pada prosesnya memerlukan media dalam penyampaian pesan-pesannya, agar tercipta saling pengertian di

Page | 10

antara komunikator dan komunikannya. Namun, ketika masyarakat semakin modern, media komunikasi mengikuti sesuai zamannya, yang hingga kini dikenal sebutan media massa. Dalam dunia modern, media massa menjelma menjadi sosok industri padat modal demi menggapai khalayak secara luas. Akhirnya, secara sadar, media massa bermetamorfosis ke wujud kapitalisme pers.

Kapitalisme sebagai sebuah nilai dalam relasinya dengan organisasi media dan jurnalis, secara teoritik dapat dilihat dalam dua sudut pandang utama. Pertama, bisa saja ia berpengaruh dalam konteks arus produksi, distribusi dan konsumsinya ketika ketahanan sosial, politik, moral dari organisasi media dan profesi jurnalis mengalami reduksi sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai atau orientasi independen yang dimilikinya menjadi keniscayaan. Kedua, sudut pandang ini bisa tidak berlaku, manakala ketahanan internal dan eksternalnya secara minimal mampu untuk untuk membendung arus nilai kapitalisme yang menyentuhnya.

Secara empirik, akibat terlalu kuatnya sistem nilai kapitalisme, maka organisasi media dan jurnalis hanya akan menjadi robot yang berwujud pada prinsip taktik strategi semata dari perilaku-perilaku kapitalisme. Keberadaan organisasi media sebagai organisasi yang otonom, independen, lepas dari intervensi dan hegemoni sistem kapitalisme sulit untuk diwujudkan. Begitu juga halnya dengan jurnalis, juga banyak terkooptasi secara relatif terhadap mainstream kapitalisme.

Heru Sutadi, peneliti Indonesia ICT Institute – Universitas Indoensia, dalam tulisannya menyebutkan sebagai berikut:

“Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan

Page | 11

akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.

Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang diantara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

Dalam masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis, akan menyediakan informasi yang layak bagi rakyatnya sebaliknya dalam masyarakat yang tidak demokratis, sistem komunikasi (dalam hal ini media massa) yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Penguasaan terhadap media massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Secara politik kalangan industri media dan komunikasi dapat menentang dan bahkan sekeras mungkin berupaya mengurangi berbagai intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kekuatan ini akan segera bereaksi apabila pemerintah berencana mengeluarkan suatu usulan atau kebijakan terhadap sistem media dan komunikasi. Kebijakan pemerintah ini dipandang sebagai kejahatan besar terhadap praktek pasar bebas dalam industri media, tak peduli apakah maksud dibalik kebijakan tersebut.

Page | 12

Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”, daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa.

Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Menurut Smythe, “…Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak, bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis.”

Marxisme Klasik memandang media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Pendekatan Marxisme Klasik memandang media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi hasrat kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan.

Marxisme klasik berargumen bahwa sistem kelas yang hierarkis berada di akar semua masalah sosial dan harus diakhiri dengan revolusi proletariat. Ada tiga pengertian yang harus dipahami dalam teori marxis ini. Yakni basis (struktur bawah) masyarakat, dalam teori Marxis berarti alat-alat produksi. Superstruktur, dalam teori Marxis berarti kebudayaan suatu masyarakat. Ideologi berarti gagasan yang ada dalam suatu kebudayaan yang menyesatkan orang pada umumnya, dan

Page | 13

mendorong mereka untuk bertindak melawan kepentingan sendiri.

Pemahaman lain dari teori ini adalah para elite tidak akan pernah menyerahkan kekuasaan; kekuasaan harus diambil dari para elite. hampir tidak ada gunanya membuat perubahan kecil dalam ideologi tanpa pertama-tama mendominasi alat-alat produksi. Dalam perspektif ini, media massa dipandang sebagai alat produksi yang disesuaikan dengan industri umum kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Beberapa asumsi tentang media, yakni:

1. Media massa dimiliki oleh orang-orang atau kelompok borjuis (pemilik faktor produksi);

2. Media beroperasi sesuai dengn kepentingan umum kaum borjuis;

3. Media mempromosikan kesadaran palsu kepada para pekerja;

4. Media tidak membuka akses kepada kelompok-kelompok yang memiliki pandangan politis yang berlawanan dengan kelompoknya;

5. Media dipandang sebagai arena pertarungan ideologi antar kelas;

6. Kontrol tertinggi sangan terkonsentrasi dalam monoopoli modal.

Beberapa hal di atas sudah membuktikan memang benar adanya bahwa media massa kini ini telah dikapitalisasi oleh segelintir pemodal yang tentu saja untuk memberi keuntungan kepada kelompok mereka.

Lebih lanjut, Sutadi menjelaskan sebagai berikut:

“Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi

Page | 14

menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Di antara kelemahannya itu antara lain: Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.

Tapi dalam artian penekanan harga, produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistik Selanjutnya jika seluruh media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya hal ini bisa berefek pada sistem demokrasi. Kita tentu menyadari bahwa dalam pasar pendapatan dan kekayaan sangat menentukan kekuatan dan kekuasaan orang.”

Pemikir-pemikir ilmu komunikasi telah lama menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mengembangkan berbagai isu bagi publik. Karenanya menurut Lippmann, media bertanggung jawab membentuk persepsi terhadap dunia. Gambaran realitas yang diciptakan media hanyalah pantulan (reflection) dari realitas sebenarnya dan karenanya terkadang mengalami pembelokan atau distorsi (Morissan, 2013: 495).

3. Bagaimana Kita Menyikapi Realitas Kekinian?Adanya kecenderungan saat ini kepemilikan media massa

lebih banyak dimiliki oleh pemodal yang berorientasi pada

Page | 15

kepentingan politik dan bisnis (ekonomi) semata. Sehingga terbentuk hipotesis, bahwa media massa cenderung lebih digunakan untuk kepentingan bisnis dan politis pemilik serta kelompoknya, yang terafiliasi dengan partai atau elit politik tertentu. Keadaan tersebut dikhawatirkan membuat media melupakan fungsinya utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi masyarakat. Donald Shaw dan Maxwell McComb dalam Morissan (2013: 496) menyatakan, para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita.

Menyiapkan materi konstruksi media massa adalah tugas redaksi media massa. Masing-masing media, memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Burhan Bungin (2008: 205, 206), menyebutkan ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:

1. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme;2. Keberpihakan semu kepada masyarakat;3. Keberpihakan kepada kepentingan umum.

Meski tersebut demikian, pada umumnya keberpihakan kepada kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan, mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, apabila keberpihakan media massa pada masyarakat, maka sudah tentu itu harus menghasilkan uang untuk kantung kapitalis pula.

Tidak jarang dalam menyiapkan sebuah materi pemberitaan, terjadi pertukaran kepentingan di antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pihak-pihak yang

Page | 16

berkepentingan dengan sebuah pemberitaan, membeli halaman-halaman tertentu atau jam-jam tertentu dengan imbalan pertukaran, bukan uang saja dan materi lain, akan tetapi bisa jadi sebuah blow up terhadap pencitraan terhadap pihak-pihak yang membeli pemberitaan itu.

Lantas, bagaimana kita menyikapi suatu pemberitaan media massa? Sekurangnya, ada tiga model dalam ilmu komunikasi yang diajukan sebagai rujukan untuk menjawab hal tersebut.

a. Teori Peluru ( Bullet Theory )Tahun 1940, paska Perang Dunia I, ketakutan

terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang taknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Couglin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang popular di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theory”. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa.

Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media

Page | 17

massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien.

b. Teori Penggunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)

Model Uses and Gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper. Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila kita kesepian lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and gratification. Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch, uses and gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Asumsi-asumsi dari teori ini adalah sebagai berikut :

Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan;

Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak;

Page | 18

Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya;

Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu;

Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk supra-rasional yang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.

Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk pemuasan kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahu bukan untuk apa kita membaca surat kabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana surat kabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa.

c. Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Albert Bandura. Teori pembelajaran sosial menekankan tiga hal:

Page | 19

Observation learning, Menurut teori ini setiap orang mempunyai kemampuan untuk meniru perilaku yang dia lihat, karena dia “belajar mengamati”

Self-evaluation, hasil pengamatan atas perilaku yang dipelajari itu tidak selalu menentukan perilaku. Oleh karena itu kita dapat memantau dan mengevaluasi perilaku kita dengan melihat bagaimana kita berhadapan dengan situasi dalam kehidupan yang berkaitan dengan standar perilaku yang kita tiru tersebut

Control and shaping, Menurut teori ini kita dapat berbuat sesuatu karena kita membutuhkan suatu kontrol terhadap proses internal maupun terhadap lingkungan kita.

Media massa boleh jadi akan memoles, menggunting, atau malah memanipulasi suatu informasi dan objek pemberitaan sesuai dengan kepentingan mereka. Namun di tengah sesaknya dunia media kini, kitalah penentunya. Sebab pada akhirnya, bagaimana cara bersikap terhadap terpaan media, tergantung kepada diri kita sendiri. Para pakar komunikasi menggelarnya dengan world view atau pandangan kita terhadap dunia.

Page | 20

PENUTUP

Dari uraian, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation. Pada umumnya keberpihakan kepada kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan, mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, apabila keberpihakan media massa pada masyarakat, maka sudah tentu itu harus menghasilkan uang untuk kantung kapitalis pula.

Tidak jarang dalam menyiapkan sebuah materi pemberitaan, terjadi pertukaran kepentingan di antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pihak-pihak yang berkepentingan dengan sebuah pemberitaan, membeli halaman-halaman tertentu atau jam-jam tertentu dengan imbalan pertukaran, bukan uang saja dan materi lain, akan tetapi bisa jadi sebuah blow up terhadap pencitraan terhadap pihak-pihak yang membeli pemberitaan itu.

Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide,

Page | 21

bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.

Berdasar kepentingan komersialisasi dan/ atau kapitalisasi, media massa boleh jadi akan memoles, menggunting, atau malah memanipulasi suatu informasi dan objek pemberitaan. Namun, kitalah penentunya. Sebab pada akhirnya, bagaimana cara bersikap terhadap terpaan media, tergantung kepada diri kita sendiri.

Page | 22

KEPUSTAKAAN

Arismunandar, S. 2009. Sembilan Elemen Jurnalisme (Plus elemen ke-10). Makalah (tidak dipublikasikan). Aliansi Jurnalis Independen. Jakarta

Bungin, B. 2008. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Tekonologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana. Jakarta

Kovach B. & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. Crown Publisher. New York

Liliweri, A. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Kencana. Jakarta

Marx, K. 1962. Capital (2nd book). Foreign Languages Publishing House. Moscow

Morrisan. 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Kencana. Jakarta

Rivers, William L., et. al. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Kencana. Jakarta

Sutadi, H. 2009. Media Massa dalam Sistem Kapitalis. Makalah. Indonesia ICT Institute. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Wood, Julia T. 2013. Komunikasi Teori dan Praktik; Komunikasi dalam Kehidupan Kita (Edisi ke 6). Penerbit Salemba Humanika. Jakarta

Page | 23

KEHIDUPAN MEDIA MASSA DALAM PERSPEKTIF MARXISME KLASIK

Tugas Mata KuliahTEORI SOSIAL PEMBANGUNAN

OLEH:AZWANIL FAKHRINIM. 157045030

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA2016

Page | 24


Recommended