Date post: | 23-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 1 times |
Download: | 0 times |
PEDOMAN PRAKTIS
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KONFLIK ANTARA MANUSIA DENGAN HARIMAU
DISUSUN OLEH:
Dolly Priatna
Wilson novarino
Hariyo t. Wibisono
sunarto
HariyaWan a. WaHyuDi
laura Darcy
JoHn GooDricH
novianto b. WaWanDono
aGus sb. sutito
KONTRIbUTOR:
anHar lubis, bastoni, Dian risDianto, DWi n. aDHiasto, Erni suyanti,
ikEu s. rEJEki, inDra arinal, inE WasillaH, liGaya ita. tumbElaka,
munaWar kHolis, nurazman nurDin, rEtno suDarWati, ruDiJanta t. nuGraHa,
tony sumamPau, WaHDi azmi, WisHnu WarDana, Wulan PusParini
PEDOMAN PRAKTIS
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KONFLIK
ANTARA MANUSIA DENGAN HARIMAU
Diterbitkan tahun 2012 oleh:
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
Kontributor Foto:
BKSDA Bengkulu, Forum HarimauKita, WCS Indonesia Program,
ZSL Indonesia Programme
Ilustrasi:
Koen Setyawan
Desain Sampul:
Andi N. Cahyana, Dolly Priatna, Hariyawan A. Wahyudi
Desain dan Tata Letak:
Andi N. Cahyana
Foto Sampul:
Harimau sumatera korban konflik (Hariyawan A. Wahyudi)
ISBN:
Dicetak Atas Bantuan:
DAFTAR ISI
Daftar isi
sambutan
kata PEnGantar
I. PENDAHULUAN 1
a. latar bElakanG 2
b. maksuD Dan tuJuan 8
II. PRINSIP-PRINSIP MITIGASI 9
III. KELEMBAGAAN 13
IV. PROSEDUR MITIGASI 19
a. PEncEGaHan 20
b. mitiGasi 23
c. PEnanGGulanGan konflik 25
V. PETUNJUK PENGAMBILAN KEPUTUSAN 39
a. PEtunJuk PEnGambilan kEPutusan tErHaDaP informasi kEbEraDaan
Harimau (Di sEkitar PEmukiman, arEal PErtanian atau tEmPat aktivitas
manusia lainnya 40
b. PEtunJuk PEnGambilan kEPutusan untuk kasus PEmanGsaan HEWan
tErnak olEH Harimau 44
c. PEtunJuk PEnGambilan kEPutusan untuk kasus Harimau yanG mEnyEranG
manusia 49
VI. PELAPORAN DAN PEMANTAUAN 55
a. PElaPoran 56
b. monitorinG 57
VII. PENUTUP 59
Daftar Pustaka
lamPiran
SAMbUTAN DIREKTUR JENDERAL
PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERvASI ALAM
Sebagaimana kita ketahui bersama, akhir-akhir ini konflik antara
manusia dan satwa liar, terutama jenis mamalia besar, antara lain
seperti harimau, gajah, dan orangutan, cenderung meningkat dan
mengakibatkan banyak kematian satwa, kerugian harta benda maupun
korban jiwa manusia. Sebagai gambaran, sejak 1998 hingga 2011 telah
dilaporkan sedikitnya ada 563 konflik Harimau Sumatera. Dari sekian
konflik yang terjadi, tercatat sebanyak 46 ekor harimau terbunuh dan
sebanyak 57 orang meninggal dalam rentang waktu yang sama. Riau
merupakan provinsi yang tercatat dengan tingkat konflik tertinggi.
Pemerintah sangat konsen dengan masalah ini dan karena itu sejak
tiga tahun yang lalu Kementerian Kehutanan telah menerbitkan
Permenhut No 48 tahun 2008 sebagai pedoman bagi kita semua dalam
menangani konflik antara manusia dan satwa liar. Sekalipun demikian
kita sadari bahwa peraturan ini lebih menekankan aspek koordinasi
lintas pemangku kepentingan dan belum menyentuh aspek-aspek
teknis dan penanganan konflik dirasakan masih belum optimal karena
berbagai hal, antara lain teknis penangkapan satwa dan berbagai
aspek veteriner yang belum sepenuhnya dipahami, yakni seperti teknis
penggunaan alat bius dan tata cara pembiusan, pemahaman tentang
patologi klinis dan penanganan sampel, transportasi dan animal
welfare (kesejahteraan satwa) serta aspek penting dalam pemeriksaan
dan pelepas liaran harimau.
Oleh karena itu, kami menyambut baik atas inisiasi penyusunan Buku
“Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Antara
Manusia dengan Harimau” yang akan diterbitkan bersamaan dengan
Buku “Panduan Praktis Dokter Hewan dalam Penanganan Harimau
Sumatera Korban Konflik”, dimana keduanya saling melengkapi satu
sama lain dan sejalan dengan Permenhut di atas. Kedua buku tersebut
disusun melalui serangkaian proses konsultasi yang diawali dengan
diselenggarakannya lokakarya Penanganan Konflik Harimau-Manusia
di Bogar pada tanggal 29-30 November 2011 yang diikuti oleh para
ahli dan praktisi lapangan yang berpengalaman dalam penanganan
konflik manusia-harimau di Sumatera. Kemudian dilanjutkan dengan
acara lokakarya dan pelatihan dokter hewan dalam menangani dan
menyelamatkan harimau sumatera korban konflik di Taman Safari pada
tanggal 10-13 Januari 2012.
Selanjutnya dengan diterbitkannya buku panduan ini, kami tak lupa
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunannya, khususnya kepada
The Zoological Society of London (ZSL Indonesia Programme), WCS
Indonesia Program,Taman Safari Indonesia, Forum Harimau Kita,
London Zoo, Wildlife Vets International, Fauna & Flora International,
WWF Indonesia, Veswic, YPHS, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan
FMIPA-Universitas Andalas, serta Pengurus Besar PDHI. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada DEFRA, yang telah membiayai semua
lokakarya dan pelatihan, serta penerbitan dokumen-dokumen ini.
Semoga dengan adanya buku panduan tersebut, pencegahan dan
penanggulangan konflik manusia-harimau dapat dilakukan secara
komprehensif dan lebih optimal.
Jakarta, Oktober 2012
Direktur Jenderal
Ir. D A R O R I, MM
NIP. 19531005 198103 004
KATA PENGANTAR
Peran penting harimau dalam tatanan ekosistem hutan tropis Pulau
Sumatera tidak dapat ditampikkan. Kuatnya ikatan dengan mayoritas
budaya masyarakat, telah membuat harimau sumatera menjadi salah
satu satwa liar yang paling disegani sekaligus dikagumi. Namun, wibawa
harimau sumatera yang amat tinggi, ternyata tidak cukup menjamin
kelangsungan hidup kucing besar ini secara jangka panjang. Nyatanya,
jumlah populasi predator utama di Pulau Andalas ini cenderung terus
menurun, dan diduga kini hanya tinggal 350 individu saja, atau sekitar
35%dari perkiraan jumlahnya di tahun 1970-an.
Penurunan jumlah harimau sumatera di alam, sangat erat kaitannya
dengan berkurangnya luas hutan di pulau terbesar keenam dunia
tersebut. Ekspansi industri besar-besaran dalam tiga dasawarsa terakhir,
serta tingginya laju peningkatan populasi manusia, memberikan andil
yang sangat signifikan terhadap penurunan kuantitas dan kualitas hutan
di pulau kedua terpadat di Indonesia.
Konflik antara manusia dengan satwaliar, terutama harimau, merupakan
ekses yang tidak dapat dihindarkan dari adanya penggunaan sumberdaya
yang sama. Catatan menunjukkan bahwa ada kecenderungan insiden
konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera meningkat dari
tahun ke tahun. Dalam sepuluh tahun terakhir saja, telah terjadi lebih
dari 600 insiden konflik. Ternyata kerugian materi dan non-materi yang
timbul akibat konflik manusia-harimau juga tidak sedikit. Tragisnya,
selain meninggalkan rasa ketakutan pada masyarakat, konflik manusia-
harimau yang terjadi dalam dasawarsa terakhir juga telah menyebabkan
lebih dari 70 orang meninggal dunia, sekitar 60 orang terluka, lebih dari
470 ekor hewan ternak dimangsa harimau, serta sekitar 80 ekor harimau
sumatera dibunuh dan dikeluarkan dari habitatnya.
Menyikapi konflik manusia-satwaliar yang semakin sering terjadi
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Beberapa tahun silam,
Kementerian Kehutanan telah menerbitkan peraturan P.48/Menhut-
II/2008 tentang “Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia
dan Satwaliar”. Terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
tersebut merupakan realisasi komitmen pemerintah terhadap upayanya
dalam melestarikan harimau terakhir yang dimiliki Indonesia, yang
dituangkan dalam dokumen “Strategi Konservasi dan Rencana Aksi
Harimau Sumatera 2007-2017”.
Namun, isi dari dokumen lampiran Permenhut P.48/Menhut-II/2008
yang dijadikan pedoman dalam penanggulangan konflik manusia-
satwaliar masih sangat normatif sehingga sulit diimplementasikan
di lapangan. Sementara, para praktisi dan petugas Unit Pelaksana
Teknis yang berwenang, sangat membutuhkan adanya satu panduan
praktis, yang dapat dengan mudah dijadikan sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan apabila satu konflik satwaliar terjadi. Dengan
terbitnya “Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik
antara Manusia dengan Harimau”, yang merupakan penjabaran dari
Permenhut P.48/Menhut-II/2008 ini, diharapkan dapat mempermudah
para petugas di lapangan dalam menentukan langkah tepat dengan
cepat, serta konflik yang lebih besar dapat dihindarkan sehingga
kerugian dan korban konflik dapat diminimalkan.
Pedoman praktis ini terdiri atas tujuh bagian. Bagian pertama dokumen
ini menjabarkan tentang latar belakang mengapa terjadi dan apa yang
dimaksud dengan konflik antara manusia dengan harimau, jenis-
jenis dan skenario konflik manusia-harimau, serta mengapa pedoman
praktis ini menjadi sangat dibutuhkan keberadaannya. Pada bagian ini
diuraikan tentang prinsip-prinsip mitigasi konflik manusia-harimau,
yang meliputi penjelasan bahwa baik manusia maupun satwaliar
posisinya sama-sama penting, bahwa pendekatan pencegahan dan
penggulangan konflik mungkin berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya (site specific), serta bahwa dalam penyelesaian konflik
dapat dicapai melalui banyak alternatif dan dengan pendekatan skala
lansekap. Masih dalam bagian kedua buku ini, perlu digaris-bawahi
bahwa penanganan konflik manusia-satwaliar bukan hanya tanggung
jawab institusi kehutanan, tetapi juga merupakan tanggung jawab para
pemangku kepentingan pada bentang alam di mana konflik terjadi.
Bagian ketiga buku hampir seluruhnya diadopsi dari Permenhut P.48/
Menhut-II/2008, mengatur tentang struktur kelembagaan dalam
penanggulangan konflik antara manusia dengan satwaliar. Inti yang
sesungguhnya terdapat di dalam bagian keempat dan kelima dokumen
ini. Pada bagian keempat diulas tentang prosedur mitigasi, mulai dari
bagaimana kita dapat mencegah agar konflik manusia-harimau tidak
terjadi, tindakan apa saja yang harus dilakukan untuk meringankan atau
mengurangi resiko akibat munculnya konflik dimaksud, serta berbagai
langkah menjabarkan petunjuk pengambilan keputusan yang berisi
diagram alur (decission tree) langkah-langkah yang perlu diambil pada
situasi tertentu dan pada setiap kasus spesifik konflik manusia-harimau.
Bagian keenam mengulas tentang bagaimana sebaiknya pelaporan
kejadian konflik manusia-harimau harus dilakukan, serta bagaimana
monitoring paska konflik untuk memastikan harimau yang terlibat
konflik tidak kembali menyebabkan konflik baru. Bagian ketujuh yang
menjadi penutup dokumen ini, merangkum isi serta menjabarkan
beberapa rekomendasi agar dokumen ini dapat digunakan dengan
efektif oleh para praktisi dan petugas di lapangan.
Dokumen ini tidak akan dapat digunakan secara optimal, kecuali jika
semua pihak termasuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
kabupaten, pemegang konsesi lahan (pihak swasta), serta masyarakat
luas, saling bahu-membahu dan menyadari bahwa pencegahan dan
penanggulangan konflik ini merupakan tanggung jawab yang harus
diemban bersama.
Bogor, Oktober 2012
Tim Penyusun
Pen
da
hu
lua
n
2
A. Latar BeLakang
Konflik atau pertentangan merupakan wujud dari persaingan
terhadap sumber daya yang terbatas, tidak adanya saling
pengertian atau tidak adanya keinginan menghargai keberadaan
entitas lain di sekitarnya. Secara alamiah, makhluk hidup mempunyai
teknik tersendiri untuk menghindari terjadinya konflik. Konflik akibat
sumber daya yang terbatas dapat dikurangi dengan cara memilih
jenis makanan yang melimpah atau yang sangat spesifik, sehingga
pertentangan antar spesies berkurang.
Sementara itu, konflik dalam masalah pemanfaatan ruang dapat
dikurangi dengan menandai daerah aktivitas atau teritori sehingga
individu atau spesies lain tidak datang. Konflik juga dapat dihindari
dengan berpindah ke lokasi lain atau beraktivitas di daerah yang sama
namun pada waktu yang tidak bersamaan. Cara-cara penghindaran
tersebut dalam ekologi dikenal dengan istilah pemisahan relung (niche
segregation).
Konflik antara manusia dengan harimau atau lazim disebut konflik
manusia-harimau (KMH) dapat disebabkan oleh faktor makanan
dan ruang. Aktivitas perburuan satwaliar terutama yang merupakan
hewan mangsa harimau sangat mempengaruhi ketersediaan pakan
bagi harimau. Sementara itu, konversi hutan menjadi pemukiman,
perkebunan, pertambangan dan jaringan jalan telah mempersempit
habitat yang dapat dihuni oleh harimau. Meningkatnya laju konversi
hutan di Sumatera serta tingginya aktivitas perburuan satwa telah
meningkatkan intensitas KMH. Kedua belah pihak, baik harimau
maupun manusia, sama-sama mengalami kerugian. Selain kerugian
dalam bentuk kehilangan hewan ternak dan korban jiwa, manusia
juga akan kehilangan entitas penting dari ekosistemnya yang tidak
tergantikan yaitu harimau liar, yang mungkin saja ditangkap dan
dipindahkan ke fasilitas konservasi eksitu atau bahkan terbunuh pada
saat terjadi konflik.
I. PENDAHULUAN
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia
Pen
da
hu
lua
n
3 4
harimau tidak terlalu nyata. Sebagai akibatnya, kemungkinan
konflik pada daerah ini rendah. Skenario ini terjadi jika daerah
aktivitas manusia dan harimau memiliki batas yang jelas,
harimau tidak meninggalkan hutan dan akses manusia ke
dalam hutan sangat terbatas.
2. Skenario kedua, konflik sedang, terjadi apabila manusia
memiliki akses ke dalam hutan, sementara hutan tersebut
memiliki daya dukung yang cukup bagi harimau. Skenario ini
umumnya terjadi pada hutan lindung, kawasan agroforestri
dan kawasan hutan multiguna.
3. Skenario ketiga, konflik tinggi, yaitu pada daerah
pemukiman manusia yang terisolasi, yang dikelilingi oleh
habitat harimau yang sangat luas. Situasi ini mewakili
pembangunan wilayah pemukiman di tengah hutan dengan
kepadatan harimau yang tinggi.
Ada tiga tipe konflik antara manusia dengan harimau:
1. Harimau terdeteksi di sekitar pemukiman atau ladang, tidak
ada konflik langsung namun menyebabkan ketakutan atau
dianggap mengancam oleh masyarakat. Biasanya masyarakat
akan mencoba menangkap atau membunuh harimau. Pada
tipe ini, sebenarnya ancaman terhadap manusia masih rendah.
Sebaliknya ancaman terhadap harimau lebih besar. Pada
situasi ini, bagi harimau bisa saja merupakan indikasi untuk
berkembang menjadi tipe konflik kedua.
2. Harimau memangsa hewan peliharaan atau ternak. Merupakan
bentuk konflik yang paling umum di banyak negara termasuk
di Pulau Sumatera. Dapat menyebabkan hilangnya pendapatan
dan kerugian bagi masyarakat, serta meningkatkan citra negatif
terhadap harimau sehingga akhirnya dapat meningkatkan
keinginan untuk membunuhnya. Sisa hewan yang dimangsa
sering digunakan sebagai umpan untuk menangkap harimau,
kemudian membunuh dan menjual bagian tubuh harimau
tersebut.
3. Harimau menyerang manusia. Walaupun relatif jarang namun
di beberapa tempat cukup sering terjadi. Frekuensi serangan
harimau yang terjadi dapat menyebabkan kuatnya respon
negatif dari masyarakat bahkan pemerintah daerah setempat.
Dalam dokumen Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Harimau
Sumatera (STRAKOHAS) 2007-2017 disebutkan bahwa selain
kehilangan habitat dan aktivitas perburuan, KMH telah diidentifikasi
sebagai salah satu ancaman utama terhadap kelestarian harimau
sumatera. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa konflik bisa
berlangsung dalam tiga bentuk skenario:
1. Skenario pertama, konflik rendah, yaitu apabila daerah
tumpang tindih antara aktivitas manusia dengan habitat
Harimau terjerat di Bengkulu bulan Februari 2012.(dok. BKSDA Bengkulu)
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia
Pen
da
hu
lua
n
5 6
Berdasarkan hasil survei, antara tahun 1978 dan 1997 KMH telah
menyebabkan 146 orang meningal dunia (atau rata-rata 7 orang/
tahun) dan 30 orang terluka, serta memangsa sedikitnya 870 hewan
ternak. Sementara menurut kajian terkini Forum HarimauKita (FHK),
antara tahun 1998 dan 2011 KMH telah mengakibatkan 57 orang
meningal dunia (rata-rata 5 orang/tahun) dan 81 orang terluka, serta
memangsa paling sedikit 326 hewan ternak. Selain itu, akibat KMH
tersebut dilaporkan 69 ekor harimau juga dibunuh atau ditangkap
(rata-rata 5 harimau/tahun). KMH di Sumatera paling sering terjadi di
kawasan hutan terganggu dimana intensitas kegiatan manusia sangat
tinggi pada habitat harimau.
Sampai saat ini, umumnya pemerintah daerah di Sumatera belum
menjadikan KMH sebagai isu utama yang perlu dicarikan solusi
terbaiknya. Pencegahan dan penanggulangan konflik yang berlangsung
selama ini masih cenderung bersifat sektoral, yaitu dilakukan oleh
Kementerian Kehutanan dengan mitra kerjanya saja, serta belum
secara positif melibatkan seluruh pihak pengambil keputusan baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Padahal, permasalahan KMH
sangat kompleks, sehingga membutuhkan pemahaman semua pihak
terhadap perilaku satwaliar dan perilaku masyarakat, agar pencegahan
dan penanggulangannya dapat dilakukan secara optimal berdasarkan
akar permasalahan konflik tersebut.
Beberapa dokumen terkait penanggulangan konflik manusia dengan
satwaliar telah dibuat dan disebarkan sebelumnya. Pada tahun
2001, telah diterbitkan Pedoman Penyelamatan Harimau Sumatera
“Bermasalah”. Dokumen ini menjabarkan secara rinci tentang langkah-
langkah yang harus dikerjakan dalam menyelamatkan harimau yang
“bermasalah” mulai dari mekanisme pelaporan kejadian, susunan tim
mitigasi, teknis pelaksanaan penanganan, prosedur penangkapan, dan
penanganan satwa yang ditangkap. Kemudian pada tahun 2008,
dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (PERMENHUT) No. 48/
Menhut-II/2008 tentang pedoman penanganan konflik antara manusia
dengan satwaliar.
Menurut PERMENHUT No. 48/Menhut-II/2008 konflik manusia
dan satwaliar adalah segala interaksi antara manusia dan satwaliar
yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia,
ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwaliar dan atau pada
lingkungannya. PERMENHUT tersebut merupakan kebijakan “payung”
yang memungkinkan keterlibatan berbagai pihak dalam mencegah dan
menangani KMH. Namun, akibat kurang tersosialisasikannya peraturan
tersebut, serta di banyak daerah permasalahan konflik dimaksud
belum menjadi isu utama, maka telah menyebabkan terjadinya
ketimpangan dalam pemahaman dan keraguan dalam pelaksanaan
penanggulangannya. Selain itu, adanya spesifikasi baik kondisi alam,
pola koordinasi serta skenario konflik yang terjadi menyebabkan
penanganan konflik belum terlaksana dengan baik dan optimal.
Sebagian besar penjabaran yang diberikan dalam kedua dokumen
tersebut adalah pada upaya penanganan ketika konflik sudah terjadi,
namun belum mencakup bagaimana melaksanakan upaya pencegahan
agar KMH tidak terjadi, serta upaya untuk menghindari terjadinya
KMH yang lebih serius. Padahal, dengan beberapa pendekatan yang
0
20
40
60
80
100
120
2007 2008 2009 2010 2011
JUMLAH INSIDEN
HARIMAU MATI
MANUSIA MENINGGAL
Grafik kejadian konflik manusia - harimau di seluruh sumatera sepanajang periode 2007 - 2011.(sumber data: PHKA, HarimauKita, ZSL, WCS, FFI, WWF)
Pen
da
hu
lua
n
8
dilakukan secara bersama di daerah rawan konflik, potensi terjadinya
konflik bisa diminimalkan. Penanganan konflik dengan melakukan
pengusiran, penangkapan, pemindahan ke fasilitas konservasi eksitu,
translokasi ataupun euthanasia, jika tidak dilakukan berdasarkan kajian
yang komprehensif dapat memicu peningkatan peristiwa konflik baik
secara kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu, konflik tersebut juga
dapat berakibat pada berkurangnya populasi harimau yang hidup di
sekitar wilayah konflik.
Berdasarkan uraian di atas, penyusunan Pedoman Praktis Pencegahan
dan Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dengan Harimau ini
menjadi penting untuk dilakukan, sebagai suplemen atau pelengkap
dari dokumen penanganan kokflik antara manusia dengan satwaliar
yang sudah ada. Dengan adanya pedoman praktis ini diharapkan
potensi konflik dapat terdeteksi secara lebih dini, sehingga kerugian
baik bagi manusia ataupun harimau yang mungkin
akan timbul juga dapat dihindari. Selain itu,
pedoman ini diharapkan dapat memperbaiki
dan meningkatkan kinerja penanganan KMH.
Pedoman ini juga diharapkan dapat menjadi
acuan pada saat penanganan, sehingga
koordinasi tim, pelibatan para pihak, serta
langkah-langkah yang diambil dapat
lebih efektif dan efisien. Khusus untuk
harimau yang dianggap bermasalah
dalam suatu konflik, dengan adanya
prosedur penanganan yang baku
diharapkan dapat mengurangi
stress dan menjamin
keselamatannya selama
proses penanganan.
Proses evakuasi harimau terjerat
di Subulussalam - Aceh.(dok. WCS-IP)
B. Maksud dan tujuan
Maksud disusunnya Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan
Konflik Antara Manusia Dengan Harimau ini adalah untuk memberikan
arahan atau panduan langkah tindak kegiatan pencegahan dan
penanggulangan KMH. Tujuannya agar semua kegiatan pencegahan
dan penanggulangan KMH dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat,
efektif, dan efisien.
Prin
siP-
Prin
siP
Mit
iga
si
10
II. PRINSIP-PRINSIP MITIGASI
Menurut PERMENHUT No. 48/Menhut-II/2008, ada lima
prinsip yang perlu diperhatikan dalam penanganan konflik
manusia dan satwaliar termasuk harimau, yaitu:
1. Manusia dan satwaliar sama-sama penting
KMH merupakan bentuk interaksi yang saling merugikan baik secara
materi maupun psikologis. Karenanya, pemilihan solusi penyelesaian
konflik harus memperhatikan kedua entitas. Penyelesaian harus
memperhitungkan untuk mengurangi resiko kerugian hingga sekecil
mungkin bagi manusia. Selain itu juga harus mempertimbangkan
pilihan terbaik untuk kelestarian harimau sumatera.
2. Spesifik areal
Pencegahan dan penanggulangan konflik pada suatu daerah
tidak selalu bisa diterapkan di daerah lain. Konflik bisa dipicu oleh
berkurangnya ketersedian pakan atau terganggunya habitat akibat
pembukaan lahan. Konflik juga dapat terjadi akibat terganggunya jalur
perlintasan atau koridor satwa, baik oleh kegiatan pembukaan lahan
maupun meningkatnya intensitas kegiatan manusia. Selain itu, konflik
mungkin terjadi akibat kondisi harimau yang tidak sehat sehingga tidak
memungkinkan untuk berburu hewan mangsa, atau terganggunya
populasi harimau akibat adanya aktivitas perburuan hewan mangsa.
Karena itu, solusi pencegahan dan penanggulangan konflik harus
dirumuskan dengan memperhatikan hal yang menjadi pemicunya,
serta kondisi sosial, ekonomi, budaya dan psikologis masyarakat.
Pemahaman secara mendalam terhadap pemicu, kondisi aktual, serta
kecenderungan di masa datang, sepertinya akan sangat membantu
dalam menemukan solusi untuk pencegahan dan penaggulangan
konflik secara efektif.
3. Tidak ada solusi tunggal
Konflik memiliki beragam dimensi yang kompleks, sehingga
Prin
siP-
Prin
siP
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia11 12
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui banyak pilihan.
Karenanya, rangkaian kombinasi penanggulangannya
perlu ditelaah secara mendalam untuk memberikan bentuk
penyelesaian yang menyeluruh, efisien dan optimal.
4. Skala lansekap
Harimau memiliki daerah jelajah yang luas. Terjadinya konflik
di suatu daerah bisa saja akibat terganggunya salah-satu
bagian dari daerah jelajahnya. Karenanya, penyelesaian
konflik juga harus mempertimbangkan bentang alam
yang menjadi daerah jelajah harimau secara keseluruhan.
Penyelesaian konflik untuk jangka panjang, akan sangat
terbantu jika rencana tata ruang yang disusun juga ikut
mempertimbangkan keberadaan satwaliar dan ekosistemnya.
5. Tanggung jawab multi pihak
Penanganan KMH bukan hanya sekedar isu konservasi
satwaliar. Konflik timbul akibat adanya benturan antara
kepentingan sosial-ekonomi masyarakat dengan pemanfaatan
sumber daya alam terutama hutan, yang merupakan
penyedia jasa lingkungan. Oleh sebab itu, pencegahan dan
penanggulangan konflik merupakan tanggung jawab semua
pihak baik pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Pertanian,
Peternakan, Perkebunan, Lingkungan Hidup, Pertambangan,
Sosial, dan Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Alam
Daerah) aparat keamanan (Kepolisian dan TNI), dunia usaha,
pengguna lahan dalam skala luas seperti industri ekstraktif,
tokoh masyarakat (agama, budaya dan informal), serta pihak
terkait lainnya seperti pemerintahan desa dan perusahaan
pemegang konsesi.
Evakuasi harimau terjerat di Bengkulu bulan Februari 2012.(dok. BKSDA Bengkulu)
Kel
emba
ga
an
14
III. KELEMBAGAAN
Kelembagaan merupakan hal penting dalam penanganan KMH.
Mengacu pada PERMENHUT No. 48/2008, kelembagaan
penanganan konflik disusun atas dua struktur yang
berhubungan secara hierarki. Struktur pertama berupa Tim Koordinasi
Penanggulangan Konflik (TKPK) yang membawahi struktur kedua
yaitu Satuan Tugas Penanggulangan Konflik (SATGAS PK). Susunan
kelembagaan yang direkomendasikan adalah:
1. Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Antara Manusia
Dengan Satwaliar (TKPK)
Gubernur menetapkan TKPK antara manusia dengan satwaliar dengan
struktur sebagai berikut:
Ketua : Gubernur/ Wakil Gubernur/ Sekretaris Daerah
Wakil Ketua : Kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan
Sekretaris : Kepala Balai Besar/Kepala Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (Balai KSDA)
Anggota : Terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Bappeda Provinsi
2. DPRD Provinsi
3. Balai Besar/ Balai Konservasi Sumber Daya Alam
4. Balai Besar/ Balai Taman Nasional
5. Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan
6. Dinas Provinsi yang membidangi Perkebunan
7. Dinas Provinsi yang membidangi Pertanian
8. Dinas Provinsi yang membidangi Peternakan
9. Dinas Provinsi yang membidangi Kesehatan
10. Dinas Provinsi yang membidangi PU
11. Dinas Provinsi yang membidangi Nakertrans
12. Sektor Swasta/ Dunia Usaha
13. Lembaga Swadaya Masyarakat
Adapun yang menjadi tugas pokok TKPK ini adalah membantu kepala
daerah dalam mengurangi konflik antara manusia dengan satwaliar di
Kel
emba
ga
an
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia15 16
kabupaten, lintas kabupaten dan provinsi. Sementara itu, fungsi TKPK
ini adalah:
a) Mengkoordinasikan dan memfasilitasi penanganan konflik
manusia-satwaliar lintas provinsi dan lintas kabupaten.
b) Mengkoordinasikan perencanaan kegiatan penanganan konflik
manusia-satwaliar termasuk penganggaran sesuai dengan
kewenangan provinsi.
c) Menyelaraskan/memadu-serasikan kegiatan-kegiatan pemba
ngunan daerah dengan habitat satwaliar sehingga dapat
menekan tingkat konflik.
Penanganan medis harimau terjerat di Subulussalam - Aceh.(dok. WCS-IP)
2. Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia
Dengan Satwaliar (SATGAS PK)
Selain itu gubernur menetapkan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik
antara manusia dengan satwaliar (SATGAS PK) dengan struktur sebagai
berikut:
Ketua : Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya
Alam
Wakil Ketua : Sub dinas yang membidangi Kehutanan
Sekretaris : Kepala Bidang Teknis/ Kepala Tata Usaha Balai Besar/
Balai KSDA
Unit Penanganan Satwa, yang terdiri dari unsur-unsur:
1. Balai Besar/Balai KSDA
2. Balai Besar/Balai Taman Nasional
3. Dinas yang membidangi kehutanan
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
5. Tenaga profesional medis & kesejahteraan satwa
6 Tenaga Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Polisi
kehutanan (Polhut)
Unit Penanganan Masyarakat, yang terdiri dari unsur-unsur:
1. Dinas yang membidangi kesehatan
2. Dinas yang membidangi peternakan
3. Dinas yang membidangi perkebunan
4. Dinas yang membidangi pertanian
5. Kepolisian
SATGAS PK manusia dengan satwaliar mempunyai tugas pokok
membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan langkah-langkah/
kegiatan operasional penanggulangan konflik manusia-satwaliar.
SATGAS ini mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
a) Secara aktif melakukan kajian potensi konflik.
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia17
b) Mengumpulkan informasi serta menganalisisnya, untuk
memberikan rekomendasi langkah-langkah penanganan konflik
antara manusia dengan satwaliar, baik dalam penanganan
masyarakat maupun satwanya.
c) Menerima laporan/informasi konflik antara manusia dengan
satwaliar.
d) Melakukan pemeriksaan ke Tempat Kejadian Perkara (lokasi
TKP), tempat dimana terjadinya konflik antara manusia dengan
satwaliar.
e) Atas arahan TKPK, melaksanakan rekomendasi dan langkah-
langkah penanganan konflik antara manusia dengan satwaliar,
baik dalam penanganan masyarakat maupun satwanya.
f) Melakukan verifikasi dalam rangka pemberian kompensasi
kepada korban konflik sesuai peraturan perundang-undangan.
g) Melaporkan kegiatan penanggulangan konflik antara manusia
dengan satwaliar yang telah dilaksanakan.
h) Melakukan monitoring/pemantauan paska konflik.
3. Pembiayaan
Pencegahan dan penanggulangan konflik membutuhkan biaya yang
tidak hanya besar, tetapi juga penggunaannya yang fleksibel dan
cepat. Biaya yang dibutuhkan dalam seluruh tahapan mitigasi bisa
dibebankan kepada:
a) APBN/APBD
b) Pemegang konsesi lahan (sektor swasta)
c) Donatur lainnya.
Proses evakuasi harimau terjerat di Subulussalam - Aceh.(dok. WCS-IP)
Harimau muda terjerat di Subulussalam - Aceh.(dok. WCS-IP)
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
20
IV. PROSEDUR MITIGASI
A. Pencegahan
1. Memperbaiki pola pemeliharaan hewan ternak
Hewan ternak merupakan objek yang paling rentan dalam KMH.
Pada banyak kasus KMH selama ini, kejadian konflik biasanya dimulai
oleh hilangnya hewan ternak, ditemukannya sisa hewan ternak
yang dimangsa harimau, atau rusaknya kandang hewan ternak oleh
serangan harimau. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah
serangan harimau terhadap hewan ternak:
a. Mengubah pola penggembalaan hewan ternak dari daerah
pinggir hutan ke lokasi yang berjarak lebih jauh dari pinggir
hutan.
b. Membersihkan areal semak belukar di pinggir hutan dan
lokasi pengembalaan, karena harimau tidak menyukai daerah
terbuka.
c. Menanami daerah sekitar pekarangan rumah atau pematang
sawah dengan rumput gajah yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan hewan ternak.
d. Memberikan pakan tambahan kepada ternak, sehingga dapat
mengurangi intensitas pengembalaan ke daerah yang lebih
jauh dari kandang.
e. Memperbaiki kondisi kandang pemeliharaan, sehingga bisa
menangkal serangan harimau. Membersihkan daerah sekitar
kandang sehingga relatif terbuka dan terang.
f. Mendekatkan kandang kerbau, sapi dan kambing. Kerbau
cenderung bertindak defensif terhadap predator seperti
harimau.
g. Memberikan penerangan yang cukup serta penjagaan di sekitar
lokasi kandang ternak.
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia21 22
2. Pengelolaan hewan mangsa
Ketersediaan hewan mangsa harimau yang semakin berkurang di
alam dipercaya merupakan salah satu penyebab harimau mencari
mangsa yang lain seperti hewan ternak atau bahkan manusia. Oleh
sebab itu, pengelolaan populasi hewan mangsa merupakan salah satu
upaya alternatif yang bisa dilakukan untuk mengurangi KMH. Bentuk
pengelolaan yang bisa dilakukan antara lain:
a. Mengatur aktivitas perburuan hewan mangsa baik yang
terorganisir maupun yang dilakukan secara sendiri-sendiri.
Bentuk pengaturan bisa dengan cara menentukan jadwal
perburuan, lokasi perburuan ataupun jenis alat berburu yang
digunakan.
b. Melakukan pendataan dan pemantauan terhadap populasi
hewan mangsa secara berkala, sehingga didapatkan gambaran
yang lengkap tentang ketersediaan hewan mangsa di alam.
Adanya data yang lengkap dapat dijadikan data dasar
pengelolaan hewan mangsa dan menyesuaikannya dengan
populasi harimau.
3. Zonasi
Walaupun tata ruang sebagian besar wilayah Sumatera telah
ditetapkan, namun sebagian besar masih belum memperhatikan
aspek-aspek ekologi. Penataan ruang yang berbasiskan ekosistem
selain bisa meningkatkan nilai pemanfaatan jasa lingkungan juga
akan bisa mengurangi tingkat konflik manusia dengan satwaliar
termasuk harimau. Adanya penetapan lokasi tertentu sebagai padang
pengembalaan bersama dengan menghindari daerah teritori dan
koridor pergerakan harimau diyakini bisa mengurangi tingkat KMH.
4. Mengurangi resiko tercederainya harimau
Harimau yang terlibat konflik dengan manusia sering merupakan satwa
yang sakit atau mengalami cedera akibat pernah terjerat, memakan
racun atau tertembak. Beberapa harimau yang terlibat konflik juga
teridentifikasi telah diinfeksi oleh cacing parasit yang umum dijumpai
pada hewan peliharaan seperti anjing. Karenanya, mengurangi aktivitas
hewan peliharaan masuk jauh ke dalam hutan, atau tidak membuang
kotoran (hewan ternak atau manusia) sembarangan dapat mengurangi
kemungkinan terinfeksinya harimau oleh cacing parasit. Selain itu, tidak
menggunakan jerat untuk menjaga ladang dari serangan hama pada
jalur-jalur yang dilewati harimau juga dapat mengurangi tercederainya
harimau.
5. Pendidikan
Walaupun telah dilindungi undang-
undang, belum semua masyarakat
memahami implikasi dari perlindungan
yang diberikan pemerintah. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pendidikan
dan penyadar-tahuan terhadap
masyarakat akan fungsi ekologis
harimau, manfaatnya bagi manusia,
status perlindungan, faktor penyebab
KMH, serta cara-cara mencegah
dan menghindari konflik, atau cara
pelaporan jika ada indikasi konflik
dengan harimau. Bentuk kegiatan
penyadar-tahuan bisa berupa
penyuluhan langsung atau membuat
program kampanye (brosur, poster,
baliho, media cetak, atau media
penyiaran).
Skema kandang anti serangan harimau. (Sumber: WCS-IP)
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia23 24
B. Mitigasi
Mitigasi yang dimaksud disini adalah upaya atau tindakan yang
dilkukakan untuk meringankan atau mengurangi resiko akibat adanya
KMH. Upaya mitigasi bisa dilakukan dengan melakukan program
kompensasi, asuransi, insentif serta penegakan hukum:
1. Program kompensasi
Pada banyak kasus, pemberian kompensasi diharapkan untuk
meredakan kemarahan dan menghilangkan keinginan masyarakat
untuk menangkap atau membunuh harimau. Namun, selama ini
pemberian kompensasi ini tidak begitu berhasil, sehingga di beberapa
negara hal ini tidak dianjurkan. Khusus di Indonesia, aturan mengenai
pemberian kompensasi sebagai bagian dari mitigasi konflik, telah
diatur dalam PERMENHUT No. 48/2008. Adapun aturan pemberian
kompensasi menurut peraturan tersebut adalah:
a. Kompensasi disediakan untuk korban meninggal dunia dan luka
atau menderita cacat tetap akibat KMH, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Pemberian kompensasi diberikan setelah dilakukan verifikasi
oleh SATGAS PK antara manusia dengan satwaliar, untuk
membuktikan keabsahan kejadian tersebut merupakan
akibat dari konflik dengan satwaliar, dan disetujui TKPK
Manusia-satwaliar.
2) Kejadian-kejadian yang mendapatkan kompensasi adalah:
• Korban luka atau meninggal dunia akibat serangan
satwaliar di dalam kawasan konservasi atau kawasan
hutan lainnya dengan aktivitas yang legal akan diberikan
santunan pengobatan atau pemakaman.
• Korban luka atau meninggal dunia akibat serangan
satwaliar di perkebunan, perladangan, pemukiman,
akan mendapatkan santunan biaya pengobatan atau
pemakaman.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebanan anggaran,
mekanisme dan prosedur pembayaran serta besarnya nilai
kompensasi diatur oleh peraturan menteri.
2. Program asuransi
Program asuransi bisa diterapkan dengan pola yang relatif sama dengan
pemberian kompensasi. Asuransi biasanya diberlakukan untuk korban
jiwa manusia yang meninggal dunia atau cacat tetap akibat KMH.
Pola ini lebih berkelanjutan dibandingkan pemberian kompensasi dan
telah terbukti efektif pada kasus konflik antara manusia dengan macan
salju di Rusia. Kerjasama dengan pihak penyedia jasa asuransi tentunya
bisa dirancang dan diterapkan untuk daerah-daerah rawan konflik.
Meskipun jarang dilakukan terhadap hewan ternak, pola asuransi
untuk hewan ternak mungkin bisa diinisiasi, yang tentunya setelah
masyarakat menerapkan pola-pola pemeliharaan ternak yang sesuai
standar untuk meminimalkan terjadinya konflik.
3. Program insentif
Walaupun sampai sekarang belum ada bukti nyata bahwa program
insentif bisa membantu dalam meningkatkan populasi harimau,
namun program ini tetap berpotensi mencegah dan meringankan
korban KMH. Program insentif bisa diberikan kepada bentuk-bentuk
pengelolaan hewan ternak yang ramah lingkungan (ecologically
friendly), serta terhadap upaya-upaya sektor perkebunan dan kehutanan
yang mempertimbangkan kelestarian satwaliar terutama harimau.
4. Proses Hukum
Dalam PERMENHUT No. 48/2008 terdapat aturan mengenai
kemungkinan pengambilan tindakan dan proses hukum sebagai
bagian dari mitigasi konflik. Mengingat tidak tertutupnya kemungkinan
adanya unsur-unsur tindak pidana dalam kejadian KMH, maka harus
dilaksanakan penindakan atau proses hukum sesuai dengan peraturan
dan ketentuan , hukum yang berlaku.
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia25 26
c. PenangguLangan konfLik
Ada berbagai langkah dan metoda yang dapat dilakukan terkait
dengan penanggulangan konflik. Tentunya, baik penggunaan langkah,
metoda maupun alat tertentu harus disesuaikan dengan kondisi konflik
yang terjadi, serta situasi aktual di lokasi terjadinya konflik.
1. Informasi awal
Informasi awal terjadinya konflik biasanya sangat beragam dan tidak
jelas. Informasi bisa berupa seseorang melihat harimau di pinggir
kampung, harimau masuk ke ladang, hewan ternak hilang, hewan
ternak diterkam, atau seseorang diterkam harimau. Informasi ini
tentunya perlu diverifikasi kebenarannya; apakah informasinya benar,
apakah kasusnya sesuai dengan berita yang diterima, apakah benar
harimau atau satwa lain (kucing emas, beruang, macan dahan, dll)
yang terlibat konflik. Oleh karenanya, perlu adan kunjungan anggota
tim SATGAS PK terdekat untuk memeriksa dan memastikan kebenaran
informasi. Anggota tim tersebut harus memiliki kemampuan
bersosialisasi dengan masyarakat untuk meredam keresahan, sekaligus
melakukan pendataan (posisi/koordinat lokasi, mengidentifikasi jejak/
bekas satwa apakah harimau atau bukan, mengambil sampel, dan foto-
foto). Hasil pemantauan dikomunikasikan dengan anggota SATGAS PK
lainnya, untuk selanjutnya diambil langkah penanggulangan sesuai
bentuk dan skenario konflik yang terjadi.
2. Pemantauan
Jika informasi yang diterima telah terbukti kebenarannya, maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap konflik yang berlangsung dengan
melibatkan tim yang lebih lengkap, misalnya gabungan antara Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dengan LSM mitra. Tim pemantau sebaiknya
telah bisa memastikan kehadiran harimau atau bukan (baik dari
jejak, sisa makanan, sampel kotoran, serta tanda sekunder lainnya),
menganalisis situasi eko-sosiologis (baik terkait masyarakat dan/atau
harimau), serta memiliki pengetahuan dasar dalam pengamanan
harimau. Tim ini bertugas untuk memantau kondisi yang terjadi dan
melakukan penilaian kondisi awal, serta mengambil keputusan setelah
berkoordinasi dengan Ketua SATGAS PK. Pengambilan keputusan
harus berdasarkan:
a. Perkembangan hasil pemantauan (tipe dan skenario konflik
yang berlangsung).
b. Sosialisasi dan pertemuan dengan tokoh masyarakat.
c. Tingkat ekskalasi konflik sejak informasi awal diterima sampai
saat pemantauan dilaksanakan.
d. Keputusan bisa berupa:
- Saran kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas jauh ke
dalam hutan
- Pengusiran harimau
- Penangkapan (untuk diselamatkan atau translokasi)
- Euthanasia
- Pemusnahan
3. Mengubah pola aktivitas di dalam atau sekitar hutan
Jika setelah informasi diterima serta setelah dilakukan pemantauan,
menunjukkan bahwa lokasi terjadinya konflik berada jauh di bagian
dalam hutan, maka bentuk solusi yang ditawarkan dapat berupa ajakan
kepada masyarakat untuk tidak melakukan penebangan kayu, berburu,
atau bentuk aktivitas lainnya yang terlalu jauh ke dalam hutan. Jika
memang harus melakukan kegiatan jauh ke dalam hutan, maka
sebaiknya melengkapi diri dengan kemampuan membaca tanda-tanda
kehadiran harimau, menghindari waktu dan daerah aktivitas harimau,
serta melengkapi diri dengan alat pengusir harimau, berjalan secara
berombongan, dan tidak beraktivitas di dalam dan pinggir hutan
setelah lewat senja.
4. Pengusiran harimau
Sebelum melakukan pengusiran sesuai keputusan tim pemantau, maka
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia27 28
perlu disiapkan sarana, prasarana dan logistik serta melibatkan tim
ahli. Jika ada, perlu juga melibatkan pengetahuan tradisional atau
pemimpin spiritual seperti pawang yang telah diakui masyarakat
setempat. Tim harus mempunyai keahlian terkait tata cara pengusiran,
mengajak dan mengerahkan peran serta masyarakat, serta mampu
memahami apabila harimau yang terlibat konflik menunjukkan
perubahan perilaku. Beberapa peralatan yang dibutuhkan terkait hal
ini antara lain adalah: meriam sundut, mercon, teropong/binokular
infra-merah, peta topografi kawasan hutan, kompas, serta GPS. Selain
itu, diperlukan adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) pengusiran
dan SOP untuk mengatasi perilaku harimau yang abnormal. Kegiatan
pengusiran dilakukan bersamaan dengan observasi terhadap harimau,
apakah pengusiran sudah cukup atau perlu dilakukan penangkapan
terhadap harimau yang terlibat konflik. Keputusan apakah tindakan
pengusiran yang dilakukan sudah cukup atau belum, semuanya
ditentukan oleh kondisi di lapangan dan hasil observasi. Observasi
lanjutan ini bisa dilakukan dengan menggunakan:
a. Kamera-trap
Kamera-trap dapat memberikan berbagai informasi yang
dibutuhkan untuk penanggulangan konflik, seperti pengenalan
individu harimau yang terlibat apakah satu individu atau lebih,
jenis kelamin, perkiraan umur, apakah kondisi harimau terluka,
cedera, sakit, kurang gizi atau kurus. Foto yang dihasilkan juga
dapat dijadikan pembanding apabila dilakukan penangkapan,
sehingga tidak menangkap harimau yang lain atau yang
tidak bersalah. Penempatan kamera-trap harus diupayakan
semaksimal mungkin untuk bisa memotret satwa yang
menyebabkan konflik.
b. Pemeriksaan sampel DNA
Jika dimungkinkan, pada saat verifikasi atau pengecekan
pertama, saat pengusiran atau observasi setelah pengusiran,
dilakukan pengambilan sampel DNA baik dari
kotoran, darah atau folikel rambut. Jika tersedia
fasilitas untuk menganalisis secara cepat, data yang
diperoleh dapat digunakan untuk memeriksa apakah
benar hewan ternak dimangsa oleh harimau yang
diusir.
5. Penangkapan
Uraian berikut merupakan serangkaian daftar yang dapat digunakan
untuk melakukan pendekatan apakah seekor harimau yang berkonflik
perlu ditangkap atau tidak, serta apa yang harus dilakukan jika harimau
tersebut telah ditangkap.
Rumusan di bawah ini merupakan dasar pemikirian dan pemantauan
terperinci sebagai petunjuk untuk membuat keputusan:
1. Tipe konflik
a. Harimau telah menyerang manusia. Lakukan analisis lebih
lanjut tentang penyebab harimau menyerang manusia ......
..................................................................... lihat nomor 3
[Khusus untuk serangan yang telah lebih dari tiga kali oleh
individu yang sama, harimau sebaiknya ditangkap]
Jerat harimau - penyebab tertinggi kematian harimau.
(dok. ZSL)
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia29 30
b. Harimau memangsa hewan ternak. Seringkali hewan ternak
yang diterkam adalah yang digembalakan di pinggir hutan,
karenanya perlu pencegahan agar tidak berulang kejadian
yang sama di masa datang ................. lihat nomor 2
2. Frekuensi Konflik
a. Harimau yang sama telah menyerang atau membunuh
lebih dari satu orang pada kejadian yang berbeda.
Harimau ini sebaiknya segera ditangkap dan
dipindahkan ke fasislitas lembaga konservasi eksitu
untuk menghindari terjadinya serangan terhadap
orang lain di masa datang .............. lihat nomor 2b
b. Harimau telah menyerang satu atau lebih manusia dalam
satu kejadian tunggal. Sebelum menentukan tindakan apa
yang akan dilakukan, lakukan analisis lebih lanjut mengapa
harimau menyerang manusia ...................... lihat nomor 3
c. Harimau membunuh hewan peliharaan dalam satu kejadian.
Kecuali ada bukti nyata bahwa harimau tersebut cedera
atau sakit, pada kondisi ini tindakan yang diperlukan adalah
pemantauan (observasi). Penangkapan hanya diperlukan
jika kondisi bertambah parah. Jika diperlukan, bisa dilakukan
pengusiran saja.
d. Harimau berulangkali membunuh hewan peliharaan selama
periode waktu yang lama ............................... lihat nomor 3
3. Penyebab terjadinya konflik
a. Jika seseorang diserang oleh harimau, cobalah
untuk membedakan apakah itu merupakan tindakan
mempertahankan diri (misalnya induk melindungi anak), atau
merupakan aksi untuk memangsa. Pemangsaan biasanya
dilakukan harimau dengan serangan secara sembunyi
dari arah belakang dan biasanya korban akan dimakan.
Jika kejadiannya seperti itu, dapat menjadi pertimbangan
untuk menangkap harimau tersebut untuk menghindari
serangan terhadap manusia lainnya di masa datang, dengan
catatan berbagai upaya pencegahan terlah dilakukan. Pada
tindakan untuk mempertahankan diri atau melindungi anak,
harimau biasanya memberitahukan keberadaannya dengan
mengaum sebelum menyerang. Serangan bisa dilakukan
dari segala arah dan harimau menujukkan tanda-tanda akan
menyerang. Pada kasus seperti ini biasanya harimau tidak
memakan korbannya. Jika yang terjadi adalah serangan untuk
mempertahankan diri, maka perlu dikaji dan dianalisis lebih
lanjut apa yang dipertahankannya dan mengapa serangan
tersebut terjadi. Perlu dipertimbangkan untuk membiarkan
harimau tersebut.
b. Terhadap harimau yang memangsa hewan peliharaan, perlu
dipertimbangkan hal-hal pada bagian berikut, sebelum
menentukan apakah harimau tersebut akan dibiarkan, dicari/
ditangkap.
4. Lokasi terjadinya konflik
a. Memasuki perkampungan merupakan tindakan yang tidak
biasa bagi harimau, dan hal ini bisa saja dipicu oleh kelaparan
(mungkin karena harimau cedera), sakit, sehingga harimau
tersebut cenderung bersikap berani. Jika harimau yang
sehat berulang kali memasuki kampung dan memangsa
hewan ternak, maka setelah dilakukan berbagai upaya
pencegahan agar tidak terjadi pemangsaan kembali, dapat
juga dipertimbangkan untuk menangkap harimau tersebut.
Jika yang menyerang adalah harimau yang cedera atau sakit,
mungkin saja dapat dilakukan penangkapan dan rehabilitasi,
kemudian dilepaskan kembali ke alam. Hal ini tergantung
seberapa parah cedera atau penyakit yang diderita harimau,
serta ketersedian peralatan dan keahlian dari tim SATGAS PK.
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia31 32
b. Jika konflik terjadi di bagian tengah hutan atau kawasan
hutan, maka harimau harus dibiarkan tetap di alam dan
tindakan yang perlu dilakukan adalah mengajak masyarakat
untuk tidak beraktivitas atau menggembalakan ternaknya di
dalam hutan.
5. Praktek beternak hewan
Tidak perlu melakukan tindakan tertentu terhadap harimau
yang menyerang ternak, kecuali praktek pengelolaan hewan
ternak masyarakat telah dilakukan secara benar namun serangan
harimau masih berlanjut.
6. Membuktikan harimau yang ditangkap adalah penyebab
konflik
Metoda untuk mengidentifikasi harimau yang tertangkap dapat
dengan membandingkan foto-foto yang didapat dari kamera-
trap yang dipasang di sekitar lokasi konflik, sampel DNA, serta
kotoran harimau yang mengandung sisa hewan ternak atau
sisa tubuh manusia yang dimangsanya. Sebagai tambahan,
dapat juga diukur tapaknya, diambil sampel sisa-sisa yang
ada pada cakar/kuku, namun hal ini membutuhkan bantuan
laboratorium forensik untuk analisisnya. Terakhir, lokasi tempat
penangkapan mungkin bisa menyediakan informasi yang
cukup untuk menyimpulkan apakah harimau yang tertangkap
adalah individu yang berkonflik, misalnya lokasi penangkapan
sangat dekat dengan lokasi pengembalaan atau di tengah
perkampungan.
7. Jenis kelamin harimau
Mengingat individu betina lebih penting untuk menjaga
viabilitas populasi dibandingkan jantan, maka, lebih banyak
upaya harus dilakukan untuk menjaga betina agar tetap bisa
dibiarkan di alam.
8. Umur harimau
a. Anak (umur kurang dari satu tahun). Dampak perburuan
harimau sering menyisakan individu anak tanpa induk. Hal
ini berpotensi terjadinya benturan dengan manusia. Pada
harimau siberia di Rusia, anak harimau tanpa induk yang
berumur lebih dari tujuh bulan terbukti bisa tetap bertahan
hidup di alam apabila tersedia cukup hewan mangsa, dan
oleh sebab itu anak harimau seperti itu sebaiknya dibiarkan
tetap di alam.
b. Harimau muda (umur 1 – 3 tahun). Pada usia ini, harimau
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam beradaptasi
dan ditranslokasikan karena harimau muda cenderung
untuk memencar atau keluar dari daerah jelajah induknya,
karenanya mereka merupakan kandidat yang baik untuk
ditranslokasikan. Harimau-harimau muda sepertinya bukan
anggota populasi untuk berbiak, sehingga jika dipindahkan
ke tempat lain dampaknya akan kecil terhadap viabilitas
populasi asalnya.
c. Usia sedang (3-11 tahun). Harimau pada umur ini cenderung
untuk menetap, dan merupakan individu dewasa yang
berbiak. Translokasi tidak direkomendasikan karena mereka
cenderung akan kembali ke tempat asalnya, dan mungkin
akan menyebabkan gangguan yang besar pada proses
reproduksi di areal pelepas-liaran. Selain itu, pemindahan
(translokasi/relokasi) pada individu dewasa yang berbiak
dapat memberikan pengaruh negatif pada populasi sumber
tempat dimana harimau tersebut ditangkap. Terlebih lagi,
harimau yang baru sepertinya akan mengisi lokasi yang
sudah dihuni, dan dapat menyebabkan masalah yang
sama. Karenanya, kecuali harimau tersebut cedera parah
atau sakit, atau satwa tersebut memang harus dilepaskan di
lokasi tersebut, sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia33 34
mencegah agar
pemangsaan tidak
terjadi di masa datang.
d. Harimau yang sangat tua (lebih dari 12 tahun). Pada usia ini
harimau telah mendekati masa akhir dari usia reproduktif
dan mempunyai nilai yang relatif rendah dalam viabilitas
populasi. Masalah kesehatan yang terkait dengan usia
mungkin merupakan penyebab terjadinya konflik. Harimau-
harimau pada usia ini tidak direkomendasikan untuk
dilepaskan kembali ke alam.
9. Kesehatan
a. Harimau cedera/cacat yang tidak bisa disembuhkan tanpa
meninggalkan kerusakan permanen akan kehilangan
kemampuannya untuk menangkap mangsa, maka dapat
dipertimbangkan untuk dipindahkan atau ditangkap.
b. Jika harimau yang cedera bisa diobati dan disembuhkan, atau
jika harimau tersebut terlalu kurus, sangat mungkin untuk
merehabilitasi mereka dahulu dan kemudian memindahkan
atau melepaskannya kembali sedapat mungkin di sekitar
lokasi penangkapan.
c. Harimau yang terdiagnosa mempunyai penyakit yang serius
seperti distamper anjing (canine distemper) sebaiknya di-
euthanasia.
Taring harimau. (dok. ZSL)
10. Apakah harimau tersebut mempunyai anak?
Pada kasus khusus jika seseorang diserang harimau, maka satu
hal yang perlu ditentukan adalah apakah harimau tersebut
mempunyai anak atau tidak. Induk harimau yang sedang
mempunyai anak cenderung akan agresif dan melindungi
anaknya, serta kadang-kadang dapat membunuh orang yang
berada terlalu dekat. Jika induk tersebut dipindahkan, maka
anaknya bisa saja mati atau bisa menyebabkan konflik pada saat
mereka mulai mengalami kelaparan. Untuk menghindarinya,
induk mungkin perlu dipasangi kalung telemetri, kemudian
dilepaskan kembali di lokasi yang sama, serta dilakukan
pengusiran apabila harimau tersebut mendekati pemukiman
masyarakat. Pemberian makanan tambahan berupa mangsa
alami mungkin perlu dilakukan. Jika harimau yang ditangkap
tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali, maka upaya lain
yang dapat dipertimbangkan adalah menangkap anaknya.
Anak yang berumur 6 -7 bulan jika mulai kelaparan telah bisa
menimbulkan konflik.
11. Sejarah penggunaan lahan
Wilayah dengan aktivitas pembukaan lahan dan perluasan
lahan pertanian ke dalam hutan cenderung memicu konflik. Jika
memungkinkan, perlu dipikirkan upaya untuk mentranlokasikan
masyarakat.
12. Ketersedian mangsa
Jika kepadatan hewan mangsa menurun drastis dalam waktu
yang singkat (1-2 tahun), harimau mungkin tidak bisa
memenuhi kebutuhannya akan hewan mangsa dan hal ini
dapat mendorong harimau untuk memangsa hewan peliharaan
atau manusia. Jika harimau yang ditangkap dalam kondisi
sehat, maka pertimbangkan untuk melakukan translokasi
sebagai solusi jangka pendek, dan lakukan upaya untuk
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia35 36
meningkatkan kepadatan hewan mangsa untuk menghindari
masalah yang sama di masa datang. Meskipun data lengkap
tentang potensi keberadaan hewan mangsa yang rinci sangat
jarang tersedia, namun seorang ahli biologi lapangan mungkin
dapat membantu memberikan gambaran kasar tentang ukuran
populasi relatif hewan mangsa (tinggi, rendah, atau sangat
rendah) dalam waktu yang singkat.
13. Ketersedian areal yang layak untuk pelepas-liaran harimau
translokasi
Jika harimau tersebut akan ditranslokasikan, maka harimau
tersebut harus dipindahkan sejauh mungkin dari lokasi
penangkapan dan akan lebih baik ke daerah yang dipisahkan
penghalang atau barrier yang tidak mungkin dilewati oleh
harimau translokasi untuk mencoba kembali ke tempat asalnya.
Satwa yang ditranslokasi harus dilepaskan sejauh mungkin dari
pemukiman manusia dan sedapat mungkin pada lokasi dengan
populasi hewan mangsa yang tinggi.
14. Ketersedian fasilitas penanganan (holding facilities) untuk
rehabilitasi
Harimau cedera atau sakit yang tertangkap perlu diupayakan
untuk direhabilitasi dan dilepaskan kembali. Untuk itu perlu
adanya satu fasilitas untuk upaya rehabilitasi tersebut. Fasilitas
tersebut tentunya harus dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai, serta dokter hewan yang mampu
melakukan perawatan dan pemulihan kondisi harimau sehingga
dapat dilepas-liarkankan kembali.
15. Para pengambil keputusan
Pengambilan keputusan untuk menentukan apakah harimau
yang tertangkap akan dilepas-liarkan kembali, ditranslokasikan,
ataupun di-euthanasia, harus melibatkan orang-orang yang
berkompeten, seperti dokter hewan, ahli biologi, serta ahli
ekologi dan tingkah laku harimau.
16. Teknik penangkapan
Teknik penangkapan telah diatur dalam PERMENHUT No.
48/2008. Kandang penangkapan sebaiknya berbentuk
perangkap box trap, dan dianjurkan pintu masuk berada di
samping perangkap. Selain itu, pada bagian pintu sebaiknya
masih menyisakan ruang yang terbuka, sehingga pada saat
pintu menutup tidak menyebabkan terputusnya bagian ekor
harimau. Penggunaan perangkap box trap dapat mengurangi
stress pada harimau, dan juga menghindari adanya gangguan
dari masyarakat yang biasanya banyak berkerumun di sekitar
lokasi konflik.
17. Translokasi dan pelepas-liaran
Terkait dengan pelepas-liaran, ada beberapa tim yang
dibutuhkan:
• Tim penanganan harimau (handling team)
• Tim eksitu
• Tim lokasi pelepas-liaran
Kriteria pelepas-liaran pada lokasi yang sama:
• Cocok sebagai habitat harimau
• >10 km dari kota/pemukiman terdekat
• Aman dari perburuan
Kriteria kawasan untuk lokasi translokasi/pelepas-liaran:
1. Jauh dari pemukiman (>10 km dari desa terdekat)/kepadatan
penduduk rendah.
2. Terdapat populasi hewan mangsa yang cukup.
3. Areal habitat yang aman.
4. Tersedia air bersih.
5. Merupakan daratan yang luas.
6. Tidak ada tanda-tanda perburuan (atau > 100 km dari
daerah perburuan).
Pro
sed
ur
Mit
iga
si
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia37 38
7. Berdasarkan sejarah sebelumnya merupakan habitat
harimau.
8. Tidak ada populasi harimau liar di lokasi pelepas-liaran atau
populasi liar sangat rendah.
9. Didukung oleh pihak-pihak yang terkait terutama
pemerintah daerah dan masyarakat sekitar.
10. Dilakukan survey pendahuluan terhadap populasi harimau
lokal residen atau yang terkait daya dukung lingkungan.
11. Jalur transportasi menuju lokasi memadai.
12. Luas minimum kawasan pelepas-liaranan adalah dua kali
luas perkiraan daerah jelajah harimau di lokasi tersebut.
18. Euthanasia
Pada kondisi spesifik, tindakan euthanasia mungkin perlu
dipertimbangkan untuk diterapkan kepada harimau yang
tertangkap. Harimau liar terutama yang sudah tua atau sakit
tidak tersembuhkan, mempunyai kemampuan adaptasi yang
rendah terhadap pemeliharaan di eksitu. Saat ini, Indonesia
telah memiliki undang-undang euthanasia. Euthanasia
dilakukan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak
mungkin diatasi. Hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah
implikasi sosial dan psikologis dari tindakan tersebut. Karenanya
pelaksanaan euthanasia harus dilakukan secara tertutup, jauh
dari masyarakat, dan dilaksanakan di lokasi terjadinya konflik.
Jika harimau tidak di-euthanasia, mereka harus ditempatkan
di fasilitas lembaga konservasi eksitu atau kebun binatang
yang merupakan anggota Persatuan Kebun Binatang Seluruh
Indonesia (PKBSI), serta memiliki fasilitas yang baik untuk
perawatan dan pemeliharaan harimau.
19. Pemusnahan
Pada situasi KMH yang diakhiri dengan terbunuhnya harimau
oleh masyarakat, maka jika tidak diperlukan untuk penegakan
hukum dan pendidikan, dapat dipertimbangkan untuk diambil
tindakan pemusnahan terhadap seluruh bagian tubuh harimau
sehingga tidak diperjual-belikan. Proses dan lokasi pemusnahan
harus didokumentasikan dalam sebuah berita acara yang
dilengkapi dengan saksi-saksi. Jika memungkinkan, pengiriman
tulang dan kulit serta organ penting lainnya ke museum terdekat
perlu dipertimbangkan, sehingga suatu saat spesimen tersebut
dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan
identifikasi lebih lanjut.
Contoh kandang anti serangan harimau.(dok. WCS-IP)
Ku
nci
Pen
ga
mbi
lan K
ePu
tusa
n
40
V. PETUNjUK PENGAMBILAN KEPUTUSAN
A. Petunjuk PengaMBiLan kePutusan terhadaP inforMasi keBeradaan hariMau (di sekitar PeMukiMan, areaL Pertanian atau teMPat aktivitas Manusia Lainnya
Pada banyak kasus, jika harimau mendekat ke satu tempat, dia akan
meninggalkan daerah tersebut atas kemauannya sendiri. Namun,
keberadaan harimau umumnya menimbulkan ketakutan, sehingga
terjadi konflik yang dapat berujung pada terbunuhnya harimau tersebut
oleh masyrakat. Pada situasi seperti itu, maka langkah-langkah yang
perlu dilakukan dan dikendalikan adalah sebagai berikut:
1. Menyelidiki kebenaran laporan yang disampaikan, dengan
kemungkinan hasil:
a. Dipastikan tidak ada harimau (bisa disebabkan oleh kesalahan
masyarakat dalam mengidentifikasi jejak). Tindakan yang
dilakukan adalah pemantauan oleh informan atau petugas Balai
BKSDA dan anggota tim SATGAS PK. Mensosialisasikan kepada
masyarakat bagaimana caranya untuk beraktivitas secara aman
di lokasi yang ada harimaunya dan bagaimana mengidentifikasi
tanda-tanda keberadaan harimau.
b. Belum dapat dipastikan apakah ada harimau atau tidak; ...............
.......................................................... lanjutkan ke langkah No. 2
c. Dipastikan ada harimau; ...................... lanjutkan ke langkah No. 3
2. Memasang kamera-trap di sekitar lokasi, serta melanjutkan
pencarian tanda-tanda keberadaan harimau, dan meningkatkan
kewaspadaan untuk masa yang akan datang:
a. Tidak ada tanda-tanda keberadaan harimau terdeteksi; ............
......................................................... kembali ke langkah No. 1a
b. Dapat dipastikan ada harimau; ......... lanjutkan ke langkah No. 3
Pedo
man
Pra
ktis
Penc
egah
an d
an P
enan
ggul
anga
n Ko
nflik
Har
imau
-Man
usia
42
Dia
gr
am
a
lur
pet
un
juk
pen
ga
mb
ila
n
kep
ut
usa
n
un
tu
k
pel
ap
or
an
keb
era
Da
an
ha
rim
au D
i se
kit
ar p
emu
kim
an,
ar
eal
per
tan
ian D
an a
rea
l a
kt
ivit
as
ma
nu
sia
lain
nya.
Ku
nci
Pen
ga
mbi
lan K
ePu
tusa
n
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia43 44
3. Memasang atau melanjutkan pemantauan dengan kamera-trap,
dan melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan
status harimau (umur, jenis kelamin, keberadaan anak, jumlah,
keberadaan pasangan, serta kondisi kesehatannya, apakah
harimau tersebut cacat, luka, dll.):
a. Harimau masih terus teramati berkeliaran di sekitar lokasi; ........
....................................................... lanjutkan ke langkah No. 4
b. Harimau terdeteksi telah meninggalkan lokasi, mensosialisasikan
kepada masyarakat bagaimana caranya untuk beraktivitas
secara aman di lokasi yang ada harimau, bagaimana menjaga
keselamatan hewan ternak, dan memberikan nomor telpon
yang bisa dihubungi jika harimau kembali. Melanjutkan
pemantauan dengan kamera-trap, jika dianggap perlu.
4. Melanjutkan pemantauan. Mensosialisasikan kepada
masyarakat bagaimana caranya untuk beraktivitas secara aman
di lokasi yang ada harimau, bagaimana menjaga keselamatan
hewan ternak. Menerapkan taktik tertentu untuk menakuti
harimau sehingga pergi atau tidak mendekat ke lokasi tersebut:
a. Harimau terdeteksi telah meninggalkan lokasi; .........................
......................................................... kembali ke langkah No. 3b
b. Harimau masih berkeliaran di sekitar lokasi; ...............................
.........................................................lanjutkan ke langkah No. 5
5. Harimau masih tetap berada di lokasi dan cenderung
menunjukkan perilaku yang berpotensi membahayakan
(menunjukkan perilaku menyerang, terdapat tanda-tanda
sakit atau cedera); setelah mencoba pengusiran dan lain-
lain namun harimau tidak juga meninggalkan lokasi, maka
dapat dilanjutkan ke no. 6 pada bagian petunjuk pengambilan
keputusan untuk kasus pemangsaan hewan ternak oleh harimau
(petunjuk B) pada dokumen ini.
B. Petunjuk PengaMBiLan kePutusan untuk kasus PeMangsaan hewan ternak oLeh hariMau
Petunjuk pengambilan keputusan ini bisa dilakukan dengan syarat
semua laporan telah diselidiki, masyarakat lokal telah diberitahu dan
melaksanakan bagaimana cara mengatasi permasalahan pemangsaan
oleh harimau, dan bagaimana caranya untuk mengurangi resiko
pemangsaan. Anggota tim harus menyampaikan kepada masyarakat,
jika diperlukan dan memungkinkan juga membantu masyarakat
untuk memperbaiki cara penggembalaan hewan ternak mereka untuk
mengurangi tingkat pemangsaan.
1. Lokasi pemangsaan:
a. Pemangsaan terjadi di kawasan hutan; .....................................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 3
b. Pemangsaan terjadi di kawasan pemukiman masyarakat yang
terisolasi dan berada di bagian tengah blok hutan; ...................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 2
c. Pemangsaan terjadi pada hewan ternak yang berkeliaran di
daerah yang sangat dekat dengan desa; ...................................
....................................................... lanjutkan ke langkah No. 2
d. Pemangsaan ternak terjadi di kandang atau bangunan di tengah
desa; ............................................... lanjutkan ke langkah No. 5
2. Frekuensi Pemangsaan:
a. Pemangsaan merupakan kejadian tunggal yang terpisah; .........
................................................... ... lanjutkan ke langkah No. 4
b. Pemangsaan berlangsung berkali-kali dalam kejadian yang
terpisah;.......................................... lanjutkan ke langkah No. 5
3. Tidak ada langkah lanjutan yang diperlukan terhadap harimau.
4. Melakukan pemantauan lanjutan dengan melibatkan informan
atau anggota tim SATGAS PK dan bersiap-siap untuk
Ku
nci
Pen
ga
mbi
lan K
ePu
tusa
n
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia45 46
mengantisipasi secara cepat jika terjadi pemangsaan kembali:
a. Tidak ada kejadian lagi; ..................... kembali ke langkah No. 3
b. Harimau masih terus memangsa hewan ternak; .......................
...................................................... lanjutkan ke langkah No. 5
5. Satu tim harus tetap berada di lokasi untuk memantau dan
melakukan penyelidikan lebih lanjut, serta melakukan upaya
pencegahan atau menakuti harimau jika kembali. Jika terdapat
sisa mangsa, siapkan mercon (petasan) atau meriam sundut
yang bisa mengagetkan dan menakuti harimau kalau dia
kembali. Kamera-trap harus dipasang untuk mendapatkan dan
mengidentifikasi harimau, memperkirakan umur dan jenis
kelamin, serta mengidentifikasi apakah harimau tersebut cacat,
cedera, atau terlihat sakit:
a. Harimau tidak kembali; ...................... kembali ke langkah No. 4
b. Harimau kembali, berarti upaya mencegah agar tidak terjadi
pemangsaan di masa datang tidak berjalan; .............................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 6
6. Lakukan penangkapan dan amati kondisi:
a. Sehat, muda (1-3 tahun) betina – relatif mempunyai nilai
lebih penting untuk keberlanjutan populasi, oleh karena itu
semua usaha harus dilakukan untuk menjaga agar dia tetap di
habitatnya; ...................................... lanjutkan ke langkah No. 9
b. Sehat, muda (1-3 tahun) jantan – jantan muda relatif kurang
penting untuk keberlangsungan populasi dibandingkan betina,
dan bisa saja untuk dipindahkan ke fasilitas eksitu, hanya jika
translokasi tidak dimungkinkan. Harimau-harimau muda seperti
ini seharusnya relatif baik ditranslokasikan karena mereka
sepertinya bukan harimau residen; .........................................
........................................... lanjutkan ke langkah No. 9 atau 10
c. Sehat, dewasa, 4-11 tahun, harimau dengan umur ini baik jantan
atau betina kemungkinan residen, dan dengan memindahkan
mereka dapat merusak struktur sosial, serta berdampak buruk
pada individu yang lebih muda sehingga dapat mengundang
konflik yang lebih besar. Jika memungkinkan, mereka sebaiknya
dilepaskan kembali di tempat yang sama, dan jika tidak
memungkinkan terpaksa ditranslokasikan; ..............................
.............................................. lanjutkan ke langkah No. 8 atau 9
d. Terlalu kurus atau menderita cedera yang diperkirakan tidak
bisa disembuhkan tanpa meninggalkan cacat permanen; .........
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 7
e. Mempunyai cedera atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan;
....................................................... lanjutkan ke langkah No 10
f. Harimau mempunyai anak < 9 bulan, yang tidak terangkap; ...
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 8
7. Rehabilitasi dalam fasilitas penampungan sementara (holding
facilities) yang terisolasi atau jauh dari manusia:
a. Jika setelah direhabilitasi, harimau menunjukkan rasa takut
kepada manusia (atau biasanya menunjukkan sifat agresif
jika ditempatkan dalam kandang yang kecil) dan diyakini dia
mempunyai kemampuan untuk menangkap mangsa, maka
harimau sebaiknya dilepaskan kembali, baik dengan atau tanpa
translokasi tergantung kepada umur dan jenis kelaminnya; ......
.......................................................... kembali ke langkah No. 6
b. Jika setelah direhabilitasi harimau menujukkan perilaku terbiasa
dengan manusia dan membutuhkan makanan dari manusia; ....
...................................................... lanjutkan ke langkah No. 10
8. Pasangkan kerah telemetri dan lepaskan di lokasi dengan satu
tim ditempatkan untuk memantau harimau dan mencegahnya
agar tidak meninmbulkan masalah lain di masa datang1.
1&2 Petunjuk pengambilan keputusan ini tidak memperhitungkan pertimbangan sosial dan politik yang terkait dengan pelepas-liaran harimau kembali ke alam, dengan atau tanpa translokasi. Misalnya, adanya keberatan dari masyarakat setempat yang mungkin dapat menghambat pelepas-liaran harimau di lokasi tersebut
Pedo
man
Pra
ktis
Penc
egah
an d
an P
enan
ggul
anga
n Ko
nflik
Har
imau
-Man
usia
48
Dia
gr
am
alu
r p
etu
nju
k p
eng
am
bil
an k
epu
tu
san u
nt
uk k
asu
s p
ema
ng
saa
n h
ewa
n
ter
na
k o
leh h
ar
ima
u.
Ku
nci
Pen
ga
mbi
lan K
ePu
tusa
n
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia49 50
9. Pasangkan kerah telemetri dan translokasikan ke areal yang
terpisah dari populasi aslnya dengan satu tim ditempatkan
untuk memantau harimau tersebut dan mencegahnya agar
tidak menimbulkan masalah lain di masa datang2.
10. Keluarkan dari habitat alaminya.
c. Petunjuk PengaMBiLan kePutusan untuk kasus hariMau yang Menyerang Manusia
Petunjuk pengambilan keputusan ini dibuat dengan asumsi bahwa
laporan diselidiki dan masyarakat yang terlibat diedukasi tentang
bagaimana mengatasi serangan harimau, serta bagaimana caranya
mengurangi resiko serangan sebagai bagian dari proses penyelidikan.
1. Frekuensi serangan:
a. Serangan merupakan satu kejadian tunggal; .............................
....................................................... lanjutkan ke langkah No. 2
b. Telah terjadi beberapa kali serangan tanpa terprovokasi terhadap
manusia pada beberapa kejadian yang terpisah; .......................
...................................................... lanjutkan ke langkah No. 10
2. Lokasi penyerangan:
a. Serangan berlangsung di dalam hutan; ....................................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 6
b. Serangan terjadi di kampung; .......... lanjutkan ke langkah No. 3
3. Alasan terjadinya penyerangan:
a. Serangan sepertinya merupakan sebuah tindakan pemangsaan,
harimau memakan manusia (harimau paling tidak suka
memakan bagian dari tubuh manusia yang diserang); ..............
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 4
b. Ada bukti yang kuat (foto harimau cedera/terluka, atau ada
darah pada jejak) yang menunjukkan bahwa harimau cedera; ..
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 4
c. Serangan untuk mempertahankan diri dimana induk menjaga
anaknya atau manusia dan harimau kebetulan bertemu dalam
jarak beberapa meter satu dengan lainnya; ...............................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 6
d. Manusia mempovokasi harimau untuk menyerang, seperti
menunjukkan tanda-tanda akan membunuh harimau; ...........
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 6
4. Lakukan penangkapan dan amati kondisi harimau:
a. Terlalu kurus atau cedera parah yang diperkirakan tidak bisa
disembuhkan tanpa meninggalkan cacat permanen; ................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 5
b. Sehat dan harimau menyerang karena diprovokasi atau untuk
mempertahankan diri; ..................... lanjutkan ke langkah No. 8
c. Sehat dan harimau menyerang beberapa kali bukan karena
diprovokasi atau untuk mempertahankan diri; ........................
...................................................... lanjutkan ke langkah No. 10
d. Harimau diperkirakan berumur lebih dari 12 tahun; .................
...................................................... lanjutkan ke langkah No. 10
e. Lumpuh permanen akibat cedera atau penyakit; ......................
...................................................... lanjutkan ke langkan No. 10
f. Harimau tidak bisa ditangkap; ........ lanjutkan ke langkah No. 11
5. Rehabilitasi dalam fasilitas penampungan sementara (holding
facilities) yang jauh dan terisolasi dari manusia:
a. Jika setelah direhabilitasi harimau menunjukkan rasa takut
terhadap manusia (biasanya harimau menunjukkan sikap agresif
jika ditempatkan dalam kandang yang kecil); ............................
....................................................... lanjutkan ke langkah No. 9
b. Jika setelah direhabilitasi, harimau menjadi lebih terbiasa
dengan manusia dan terbiasa memakan makanan yang sama
dengan manusia; .......................... lanjutkan ke langkah No. 10
Pedo
man
Pra
ktis
Penc
egah
an d
an P
enan
ggul
anga
n Ko
nflik
Har
imau
-Man
usia
52
Dia
gr
am
a
lur
pet
un
juk
pen
ga
mb
ila
n
kep
ut
usa
n
un
tu
k
ka
sus
ha
rim
au
ya
ng
men
yer
an
g m
an
usi
a.
Pela
Pora
n d
an P
ema
nta
ua
n
54Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia53
6. Memantau situasi dan bersiap siaga jika masih terjadi serangan.
Juga melakukan penyelidikan untuk mencoba menentukan
apakah melibatkan harimau yang cedera pada kejadian
tersebut, serta mengidentifikasi siapa yang memprovokasi
serangan, sehingga intervensi penegakan hukum dapat
dilakukan jika diperlukan.
a. Tidak ada tanda-tanda bahwa harimau cedera; ........................
........................................................ lanjutkan ke langkah No. 7
b. Terlihat tanda-tanda cedera parah pada harimau; .....................
............................................................ kembali ke langkah No 4
7. Tidak ada tindakan lebih lanjut yang diperlukan.
8. Pasangkan kerah telemetri dan lepaskan di lokasi yang sama
dengan satu tim yang siap siaga untuk memantau harimau
tersebut, serta mencegah terjadinya konflik lain di masa
datang.
9. Pasangkan kerah telemetri dan translokasikan ke lokasi yang
terisolasi dengan satu tim yang siap siaga untuk memantau
haimau tersebut, serta mencegah terjadinya konflik lain di
masa datang.
10. Ditangkap dan dikeluarkan dari habitat alaminya
11. Lanjutkan upaya penangkapan dan pemantauan, dan jika
memungkinkan, lakukan patroli pada malam hari dengan
menggunakan kendaraan dan lampu blor (lampu sorot). Tim
harus dilengkapi dengan perlengkapan menembak (senapan)
jika harimau masih memangsa manusia.
Pemasangan GPS-collar pada harimau yang akan dilepas-liarkan.(dok. ZSL)
Pela
Pora
n d
an P
ema
nta
ua
n
56
VI. PELAPORAN DAN PEMANTAUAN
Pertanggung-jawaban pelaksanaan kegiatan penanggulangan
konflik antara manusia dengan satwaliar dilakukan oleh SATGAS
PK kepada TKPK. Pertanggungjawaban tersebut berupa
akuntabilitas dalam penggunaan dana, pengumpulan data dan
informasi konflik dalam rangka mengantisipasi dan mencegah konflik
antara manusia dengan satwaliar di masa yang akan datang, serta
melakukan pemantauan terhadap satwaliar yang terlibat konflik.
a. PeLaPoran
1. SATGAS PK Satwaliar berkewajiban menyusun laporan
penanggulangan konflik satwaliar serta menyampaikannya kepada
Ketua TKPK Satwaliar dengan tembusan antara lain kepada Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Bupati/Walikota
dimana konflik antara manusia dengan satwaliar terjadi.
2. Laporan tersebut di atas setidak-tidaknya mencakup:
a. Laporan Kejadian
b. Kronologi Kejadian
c. Upaya-upaya penanganan (terhadap manusia dan satwaliarnya)
yang telah dilakukan
d. Dilampiri dengan Berita-berita Acara yang terkait, antara lain:
1) Berita Acara Pengecekan Lokasi
2) Berita Acara Penanganan Satwa (seperti pengusiran,
translokasi/relokasi/ penyelamatan/euthanasia)
3) Berita Acara Penanganan Manusia (misalnya: penyerahan
kompensasi dll.).
4) Dokumentasi (foto-foto dan sebagainya)
Pela
Pora
n d
an P
ema
nta
ua
n
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia57 58
b. monitoring
Setelah dilakukan upaya penanggulangan konflik antara manusia
dengan harimau (pengusiran/penggiringan, translokasi/relokasi,
atau penyelamatan/rescue) SATGAS PK hendaknya tetap melakukan
kegiatan pemantauan/monitoring terhadap kondisi masyarakat dan
satwaliar tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan harimau yang
terlibat konflik tidak menyebabkan masalah yang sama baik di lokasi
konflik maupun di lokasi pelepasliaran.
Pemantauan terhadap harimau korban konflik yang ditranslokasikan dengan menggunakan perangkat radio tracking.(dok. ZSL)
Kamera-trap digunakan untuk memantau harimau di areal konflik.(dok. ZSL)
60
VII. PENUTUP
PENUTUP
Tersusun dan diluncurkannya dokumen-dokumen STRAKOHAS 2007-
2017 dan Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia-Satwaliar,
serta dilaksankannya lokakarya pencegahan dan penanggulangan KMH
dan pelatihan dokter hewan dalam penyelamatan harimau korban
konflik, merupakan bagian dari proses penulisan pedoman praktis ini.
Dalam keseluruhan proses, dipicu oleh kompleksitas permasalahan
yang ada, didapati bahwa mau tidak mau KMH telah menjadi bagian
dari kehidupan sosial masyarakat pinggiran hutan Bumi Sumatera.
Permasalahan KMH tidak dapat diatasi secara parsial, tetapi harus
dikelola dengan bijak dan diselesaikan dengan pendekatan yang
komprehesif. Selain itu, perlu disadari juga bahwa KMH merupakan
permasalahan bersama, yang sebetulnya potensi kejadian dan kerugian
yang ditimbulkannya dapat diminimalkan, apabila semua pihak
yang berkepentingan bahu-membahu berpartisipasi aktif melakukan
kegiatan pencegahan terhadap hal-hal yang dapat memicu terjadinya
KMH.
Panduan Praktis Pencegahan dan Penanggulangan KMH, merupakan
dokumen yang saat ini sudah sangat dinantikan kehadirannya oleh para
praktisi konservasi harimau serta petugas berwenang. Pada bagian ini
penulis mecoba mejelaskan tahapan pencegahan dan penaggulangan
KMH yang dapat dilaksanakan secara epektif. Pada dasarnya, adanya
kesadaran masyarakat luas untuk melaporkan sekecil apa pun bentuk
KMH kepada lembaga berwenang, merupakan modal awal dalam
penanganan KMH agar dampaknya tidak menjadi semakin serius. Tim
verifikasi perlu sesegera mungkin mengunjungi lokasi yang dilaporkan
menjadi tempat terjadinya KMH. Respon seperti ini menjadi amat
penting agar masyarakat yakin bahwa mereka sudah melaporkan
kejadian KMH kepada pihak yang tepat. Selain itu, sering terjadi kasus
konflik dengan satwaliar lain dilaporkan masyarakat sebagai kejadian
Daftar Pustaka
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia61 62
ekologi, termasuk ketangkasan berburu, serta kesehatan harimau.
Terdapat beberapa opsi yang perlu ditindak-lanjuti paska penangkapan
harimau korban konflik. Jika harimau tersebut merupakan individu-
individu dewasa muda, terutama betina, dan sehat secara fisik, maka
perlu sesegera mungkin ditranslokasi dan dilepas-liarkan kembali ke
alam. Namun, jika tersedia, pemasangan kalung Global Positioning
System (GPS collar) perlu dipertimbangkan untuk memantau
pergerakannya. Bagi harimau-harimau korban konflik yang berusia tua
atau secara fisik tidak memungkinkan, maka pengirimannya ke pusat
konservasi eksitu perlu dipertimbangkan untuk kepentingan pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Bagi harimau korban konflik yang sangat
menderita karena luka yang tidak dapat disembuhkan, euthanasia
merupakan alternatif yang paling cocok diterapkan. Terakhir,
pemusnahan terhadap sisa-sisa hasil otopsi harimau yang didapati mati
akibat KMH perlu diilakukan agar tidak dapat dimanfaatkan kembali
untuk kepentingan perdagangan bagian-bagian tubuh harimau.
KMH. Untuk menjamin adanya pelaporan berkala yang akurat,
mungkin ada baiknya informan mulai dibangun di perkampungan
atau di wilayah yang memiliki potensi KMH.
Jika telah terbukti bahwa terjadi KMH, pengiriman tim penanganan ke
lokasi dimana dilaporkan telah terjadi konflik mutlak dilakukan untuk
melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), memantau informasi
dengan intensif, dan untuk melakukan pertemuan dengan masyarakat
kondisi psikologis menjadi tenang. Dalam situasi seperti ini, jika
memang ada dan memungkinkan, peran dari tokoh masyarakat atau
tokoh adat sangat dibutuhkan. Tim diharapkan untuk terus memantau
perkembangan KMH yang terjadi, bilamana harimau terlihat mucul
maka perlu dilakukan upaya pengusiran dengan menggunakan mercon
atau meriam sundut. Masyarakat perlu diorganisir dan diberikan
peran dalam proses pengusiran. Mereka juga perlu dibekali dengan
pengetahuan tentang cara-cara pengusiran serta perilaku abnormal
yang mungkin ditunjukkan harimau. Biasanya, di masyarakat desa-desa
di Sumatera terdapat orang dikenal sebagai “pawang harimau”. Jika
ada, pawang seperti ini juga perlu dilibatkan dalam upaya pengusiran
harimau agar kembali ke dalam hutan.
Pada kasus dimana harimau tidak mau kembali lagi ke dalam hutan,
atau kasus KMH yang telah menelan korban jiwa manusia, maka perlu
dilakukan penangkapan terhadap harimau tersebut. Setelah tertangkap
perlu ada pembuktian bahwa memang harimau yang tertangkap inilah
yang menyebabkan KMH. Dalam proses ini, selain tim penanganan
dibutuhkan juga tim penyelamatan harimau yang beranggotakan
paling sedikit seorang dokter. Selain itu, diperlukan juga pelibatan
polisi/ TNI (dari Koramil) serta tokoh masyarakat atau pawang untuk
membantu keamanan di lokasi tertangkapnya harimau, yang biasanya
akan banyak dikunjungi masyarakat yang ingin menyaksikan langsung
proses penangkapan ini. Apabila harimau telah tertangkap, maka tugas
ahli ekologi harimau dan dokter hewan untuk mengobservasi perilaku
Daftar Pustaka
Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Harimau-Manusia63 64
DAFTAR PUSTAKA