+ All documents
Home > Documents > DISKRIMINASI RASIAL STRUKTURAL KEJAHATAN KEMANUSIAAN BERWAJAH KEBIJAKAN PUBLIK

DISKRIMINASI RASIAL STRUKTURAL KEJAHATAN KEMANUSIAAN BERWAJAH KEBIJAKAN PUBLIK

Date post: 13-Nov-2023
Category:
Upload: citcatmouse
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
13
DISKRIMINASI RASIAL STRUKTURAL KEJAHATAN KEMANUSIAAN BERWAJAH KEBIJAKAN PUBLIK Oleh: Felix Herjuno (132.3012.007) FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2015
Transcript

DISKRIMINASI RASIAL STRUKTURALKEJAHATAN KEMANUSIAAN BERWAJAH KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh: Felix Herjuno (132.3012.007)

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2015

PENGANTAR: SOSIALITAS MANUSIA DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Salah satu kodrat manusia yang harus diterima adalah bahwa manusia adalah makhluk

sosial. Keberadaan seseorang tak pernah dapat dipisahkan dengan keberadaan dari

sesamanya. Seseorang bertindak sebagai individu dan sesamanya pun demikian adanya.

Keberadaan manusia adalah keberadaan bersama dalam suatu rantai relasi. Ia berada sebagai

makhluk individual sekaligus sosial. Dalam berbagai proses dinamika kehidupan, setiap

orang melakukan sesuatu bersama orang lain. Entah dalam tataran fisik maupun dalam relasi

dan kedekatan yang non-fisik. Bahkan, sejak awal, lewat kelahiran, manusia berada lewat

perantaraan manusia lainnya.

Relasi sosial adalah relasi khas antar manusia. Hanya karena aku adalah manusia lah

yang memungkinkanku untuk membangun atau masuk dalam suatu relasi sosial. Relasi sosial

hanya ada dalam komunitas manusia. Sosialitas manusia merupakan suatu hal yang hakiki

dalam diri manusia. Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia secara kodrati adalah

homo socius. Itu berarti bahwa manusia adalah makhluk yang berteman-makhluk yang selalu

berada pada suatu relasi dengan sesamanya. Relasi sosial itu adalah sebuah relasi timbal

balik-suatu relasi saling yang terjadi hanya dalam dunia manusia. Karena hanya dialami oleh

manusia, maka relasi itu adalah suatu relasi yang didasarkan pada intelektualitas dan

kehendak bebas yang juga hanya dimiliki oleh manusia.

Secara eksistensial, manusia dapat dipandang sebagai makhluk yang eksentris. 1

Manusia dilihat sebagai makhluk yang secara natural terarah keluar. Keberadaan

manusia adalah keberadaan bersama yang lain. Manusia secara individu “ada-bersama”

individu yang lain. Eksistensi itu bukan hanya soal kebersamaan secara fisik, dimana

tampak jelas bahwa manusia hidup bersama dalam ruang dan waktu. Eksistensi manusia

sosial menunjuk pada panggilan kodrati yang tak dapat ditolak untuk saling berrelasi

karena dengan begitu kepenuhan diri individu tercapai. Aku menjadi aku berkat relasi

dengan kamu.2

Manusia menjadi semakin manusiawi ketika ada koridor yang menjadi ruang

aman untuk mengaktualisasikan sosialitasnya. Ruang yang terkecil dan pertama-tama

ditempati oleh setiap manusia untuk bersosialisasi adalah keluarga. Ruang yang lebih

luas yang dapat ditempati oleh seseorang adalah berbagai bentuk komunitas dalam

masyarakat, baik itu yang berdasar pada tatanan politis, ekonomi, budaya, agama,

1 ADELBERT SNIJDERS, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Kanisius, 2004, 35.2 Ibid., 35.

pendidikan, hobi, dan lain sebagainya. Dengan hadir dalam suatu ruang tertentu,

seseorang dapat dipastikan masuk dan hadir dalam suatu tatanan tertentu pula.

Tatanan dan ruang dimana tatanan itu berlaku selalu terikat. Setiap ruang dan

juga waktu memiliki tatanannya yang berlaku. Keberlakuan suatu tatanan di suatu ruang

dan waktu dimaksudkan agar mereka yang hidup dan hadir di dalamnya dapat mencapai

kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup manusia itu menunjuk pada kesejahteraan

seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam tataran hidup masyarakat, kesejahteraan yang

hendak dicapai adalah kesejahteraan umum – kesejahteraan yang mencakup keseluruhan

hidup masyarakat. Pada titik ini, tatanan yang berlaku di masyarakat menjadi sesuatu

yang membantu mengawal setiap pribadi dalam suatu kelompok masyarakat sampai

pada kesejahteraan bersamanya.

Setiap tata masyarakat yang dibuat diandaikan selalu dijadikan sebagai pedoman

atau rambu-rambu bagi masyarakat untuk dapat sampai kepada kesejahteraan bersama.

Namun, nyatanya selalu ada bentuk-bentuk penyimpangan dari tatanan itu yang terjadi

dalam masyarakat. Salah satu realitas penyimpangan yang terjadi di masyarakat kita

adalah soal rasisme. Realitas rasisme dapat kita temui dalam hal-hal yang sepele seperti

ketika seseorang mengatakan bahwa orang Indonesia yang menikah dengan orang

berkebangsaan asing adalah bentuk usaha memperbaiki keturunan atau menyebut orang-

orang keturunan Tionghoa dengan istilah ‘Cina’. Namun, realitas rasisme juga dapat

juga tampak pada masalah-masalah kehidupan manusia yang lebih kompleks seperti

dalam kasus-kasus diskriminasi dan perbudakan yang hingga saat ini masih dapat

terjadi. Bahkan, rasisme dapat termanifestasi dalam suatu tatanan masyarakat – dalam

bentuk rasisme struktural yang ternaungi oleh hukum yang legal: suatu penyimpangan

yang terwujud dalam suatu tatanan, seperti sistem politik Apartheid dan politik rasial

yang pernah terjadi di Indonesia misalnya.

REALITAS

Dalam dunia olahraga, rasisme besar pernah terjadi dalam Olimpiade 1936 di

Berlin. Pada masa itu, Nazi sedang berada di puncak kejayaannya. Seperti yang kita

tahu, Hitler dan Nazi begitu kuat menggaungkan supremasi ras Arya atas ras lain. Hans

von Tschammer und Osten, yang adalah Ketua Komite Olimpiade Jerman bahkan

memastikan bahwa kontingen Jerman dihuni oleh atlet-atlet keturunan Arya. Salah

seorang atlet dari Afrika, Jesse Owens yang dianggap bukan manusia oleh Hitler,

akhirnya berhasil membuktikan diri mampu merebut empat medali emas dan

menciptakan tiga rekor dunia baru dalam perhelatan tersebut. Bahkan di nomor lompat

jauh, Owens menaklukkan atlet tuan rumah, Luz Long. Lebih menampar lagi bagi Hitler

dan Nazi ketika, Luz Long memberikan ucapan selamat kepada Owens sambil

memberikan pelukan persahabatan kepadanya.3

Rasisme setelah masa kejayaan Nazi pernah bergaung kuat di Afrika Selatan.

Rasisme di Afrika Selatan merupakan bentuk rasisme yang terlembagakan-terstruktur

dan dilaksanakan secara legal dalam bentuk sistem politik Apartheid. Apartheid

merupakan sistem politik yang diterapkan di Afrika Selatan selama 50 tahun oleh Partai

Nasional. Sistem politik ini secara jelas menjadi kebijakan publik yang rasial. Sistem

Apartheid merupakan kebijakan publik yang begitu mengunggulkan dan mengutamakan

mereka yang berkulit putih dan merendahkan martabat mereka yang berkulit non-putih

dan terutama yang hitam di Afrika Selatan.

Peristiwa pokok bersejarah yang menjadi faktor pendukung lahirnya Apartheid

adalah ‘The Great Deppression’ – sebuah krisis ekonomi terpanjang(10 tahun, sejak

1929-1939) dan paling parah dalam sejarah dunia industrialisasi Barat 4 – dan Perang

Dunia II. Keduanya telah menyebabkan krisis ekonomi besar-besaran, termasuk di

Afrika Selatan yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II itu. Perekonomian yang

jatuh di Afrika Selatan ditandai dengan peningkatan harga barang-barang, kekurangan

perumahan yang dapat dihuni oleh orang-orang Afrika berkulit hitam yang secara masif

datang ke kota meninggalkan lahan perkebunan dan persawahannya di desa untuk

bekerja sebagai buruh pabrik. Kehadiran orang Afrika Selatan berkulit hitam dalam

jumlah besar di kota meningatkan tensi rasial dengan penduduk kulit putih yang juga

tinggal di sana. Bahkan, orang-orang Afrika Selatan berkulit hitam yang berada di kota

itu dapat membentuk suatu persekutuan dagang, suatu kekuatan politik-ekonomi yang

tentu cukup kuat.

Pihak pemerintah yang saat itu berkuasa di Afrika Selatan, diwakili oleh Menteri

utamanya, Jan Smuts meminta Komisi Fagan – yang didukung oleh United Party –

untuk mencari solusi atas problem ekonomi dan kependudukan yang terjadi di Afrika

Selatan pada masa pasca Perang Dunia II. Mereka memberikan beberapa solusi dan

pandangan mereka sebagai berikut:

3SAPTO PRADITYO, Kita Semua Monyet, Majalah Detik Edisi 12-18 Mei 2014, 126-128.4 http://www.history.com/topics/great-depression diunduh pada 15 Mei 2015 pukul 18.14 WIB.

1. Pemisahan total tak akan berhasil,

2. Industri dan perdagangan butuh populasi ‘black urban’ yg menetap dan

permanen,

3. Sistem buruh migran harus ditekan,

4. Keluarga-keluarga Afrika Selatan berkulit hitam harus didorong untuk tinggal di

lokasi yang terkontrol.5

Di pihak lain, National Party(Partai Nasional) yang dipimpin oleh Dr. Malan meminta

Komisi Sauer untuk mencari solusi dari masalah yang sama. Komisi ini

merekomendasikan beberapa hal pula, yang justru berlawanan sama sekali dengan apa

yang direkomendasikan oleh Komisi Fagan:

1. Gelombang penduduk Afrika Selatan berkulit hitam ke kota itu berbahaya,

2. mereka harus diperlakukan sebagai pengunjung tanpa hak politis,

3. jumlah mereka harus dikontrol,

4. sistem buruh migran harus dilanjutkan, dan perlu ada

5. pemisahan wilayah bagi ‘si putih’ dari ‘si hitam’.6

Kemenangan Partai Nasional pada pemilu 1948 membuka lembaran baru bagi

Afrika Selatan. Berkuasanya Partai Nasional menjadikan solusi Sauer Commission

terlaksana dalam bentuk sistem politik Apartheid. Berbagai bentuk pembatasan,

pelarangan, dan tentu saja pemisahan(Apartheid, African) antara penduduk yang

berkulit putih, yang berwarna, dan yang hitam terundang-undangkan secara legal di

Afrika Selatan. Semua itu dilakukan untuk menegaskan supremasi bangsa kulit putih

atas bangsa lain terutama mereka yang berkulit hitam.

Rasisme yang terstruktur juga pernah terjadi di Indonesia. Rasisme di Indonesia

merupakan rasisme yang berbentuk diskriminasi etnis Tionghoa baik yang terjadi di

akar rumput maupun yang tersistemisasi dalam rupa undang-undang berbau rasial yang

dibuat oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru.7 Diskriminasi rasial yang terjadi di

Indonesia pada masa itu menjadi semacam warisan dari masa Kolonial Belanda yang

harus dilestarikan. Ya, diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah

5 http://countrystudies.us/south-africa/ diunduh pada 11 Mei 2015 pukul 18.07 WIB.6 Ibid.7http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/

diunduh pada 20 Mei 2015 pukul 18.12 WIB.

berlangsung sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1740, bahkan pernah

terjadi pembantaian besar-besaran orang etnis Tionghoa yang mencapai 10.000 jiwa. Itu

dilakukan agar pebisnis etnis Tionghoa tunduk pada mereka. 8

Diskriminasi rasial etnis Tionghoa yang terjadi pada Orde Lama terasa semakin

keras. Pada masa awal kemerdekaan, pembunuhan massal etnis Tionghoa kembali

terjadi. Pada 3 Juni 1946, terjadi pembantaian besar-besaran orang Tionghoa yang

bertempat tinggal di daerah sebelah barat sungai Tangerang. The New York Times edisi

6 Juni menyebut dalam peristiwa itu, terjadi pembunuhan 600 orang Tionghoa yang

dituduh bekerjasama dengan Belanda, penjarahan, dan pembakaran rumah-rumah. 9 Tak

hanya itu, beberapa hari sebelum dan sesudah hari itu, pembunuhan kejam masih

berlangsung, pembakaran hidup-hidup orang Tionghoa tanpa memperhatikan batasan

usia, perbedaan jenis kelamin, status dalam keluaraga, atau apapun kondisi-kondisi

tertentu yang ada pada korban. Ada pula kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan-

perempuan Tionghoa dan sunat paksa terhadap kaum lelaki Tionghoa. 10

Pada bulan November tahun 1959, Presiden Soekarno – walaupun tak dapat

dipastikan alasan yang mendasarinya – menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10.

Peraturan itu berisi pelarangan bagi orang-orang Tionghoa untuk berdagang

eceran/menjadi pedagang kecil di daerah pedalaman/desa-desa. 11 Mereka yang tetap

bersikeras berdagang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh secara keji. Peraturannya

memang hanya melarang berdagang, namun pada pelaksanaan kebijakan itu, pihak

militer juga mengusir mereka dari daerah-daerah desa dan tak mengizinkan mereka

tinggal di situ, walaupun tak semua dari mereka adalah pedagang. 12 Akibat peraturan

itu, lebih dari 100.000 orang Tionghoa memutuskan untuk pergi dari Indonesia pada

sekitar tahun 1960-1991.13

Pada masa Orde Baru, diskriminasi rasial terhadap orang Tionghoa masih

berlanjut, semakin keras dan terstruktur. Berbagai pembatasan, pelarangan, dan

pemisahan seperti yang diterapkan oleh Partai Nasional di Afrika Selatan dengan

8 Ibid.9 BENNY G. SETIONO, Tiongkok Dalam Pusaran Politik, Elkasa, 2002, 581.10 Ibid., 582.11 Ibid., 791.12 Ibid., 792.13 http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/, Op.Cit.

Apartheid-nya, juga terjadi di Indonesia terhadap orang-orang Tionghoa. Orde Baru

bahkan menerbitkan 8 produk hukum yang terkesan begitu diskriminatif rasial:

1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok

Penyelesaian Masalah Cina

2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina

3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina

4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina

5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng

6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina

7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor,

Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina

8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan

Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina14

RASISME

Secara umum rasisme dapat disebut sebagai suatu paham yang menyatakan

keunggulan satu ras atas ras lain. Pengunggulan salah satu ras itu lebih-lebih juga

disertai dengan perendahan secara terang-terangan atas ras lain. Yang menjadi dasar

bagi paham ini adalah adanya keyakinan bahwa kualitas pribadi ditentukan oleh ciri

biologisnya seperti warna kulit. Rasisme memiliki berbagai macam bentuk: rasisme

individual, rasisme institusional, dan rasisme struktural.

Rasisme individual adalah rasisme yang menunjuk pada internalisasinya dalam

diri seorang pribadi. Hal tersebut dapat tampak pada rasisme yang mencakup prasangka,

ketakutan berlebihan pada keberadaan orang asing(xenophobia), pengistimewaan diri,

dan keyakinan bahwa suatu bangsa dipengaruhi oleh budaya yang dominan. Rasisme

institusional: terjadi dalam bentuk praktek perlakuan diskriminasi, kebijakan-kebijakan

publik yang tidak adil dan kesempatan-kesempatan serta akibat-akibat yang tidak adil,

berdasar pada ras, diproduksi dan dilanggengkan oleh institusi – sekolah, media massa,

dll.15

14 Ibid.

Rasisme struktural bisa dipahami sebagai suatu sistem hierarki dan

ketidakadilan, yang terutama dicirikan oleh supremasi salah satu pihak, misalnya

supremasi atau pengistimewaan orang kulit putih atas orang kulit hitam atau berwarna.

Rasisme struktural mencakup keseluruhan sistem supremasi salah satu pihak yang

berlangsung lama dan meresap pada semua aspek kehidupan masyarakat termasuk

sejarah, budaya, politik, ekonomi dan seluruh struktur sosial. 16 Rasisme struktural

merupakan suatu bentuk rasisme yang paling serius dan paling kompleks. Semua jenis

rasisme yang lain dapat timbul dari rasisme struktural. Indikator kunci dari rasisme

struktural adalah pada ketidaksamaan dalam kekuasaan, akses, kesempatan, perilaku,

dan kebijakan-kebijakan publik.

Rasisme struktural berada di bawah, di sekeliling, dan tepat berada di dalam

masyarakat. Rasisme struktural meliputi: (1) sejarah, yang menjadi dasar, menyajikan

pondasi bagi supremasi ras tertentu pada suatu negara; (2) budaya, yang ada

mengelilingi kehidupan keseharian kita; (3) institusi-institusi dan kebijakan-kebijakan

yang saling berhubungan, yang menjadi kunci relasi dan peraturan-peraturan yang

berada di masyarakat yang memberikan legitimasi dan penguatan untuk memelihara dan

melanggengkan rasisme.17

TINJAUAN KRITIS

Secara struktural, rasisme pernah dilaksanakan oleh beberapa pihak. Sebagai

sebuah kejahatan melawan kemanusiaan, seperti yang didefinisikan oleh Deklarasi Hak

Asasi Manusia, rasisme struktural terbukti mampu menjadi suatu kejahatan yang

terlembagakan dan mematikan. Rasisme struktural hadir dan termanifestasikan dalam

bentuk kebijakan-kebijakan publik yang tujuan adanya adalah kesejahteraan namun

diupayakan dengan penyengsaraan. Dimana pun rasisme struktural dilaksanakan,

sejarah telah membuktikan bahwa hal itu didasari oleh motivasi mendominasi tanpa

mengindahkan nilai keadilan dan hak asasi manusia. Hal itu dilakukan untuk

mendapatkan dominasi tunggal atas kekuasaan dalam dunia politik dan kekuasaan di

sektor ekonomi.

15 KEITH LAWRENCE, Chronic Disparity: Strong and Pervasive Evidence of Racial Inequalities POVERTY

OUTCOMES Structural Racism, Aspen Institute on Community Change, 2004. 16 Ibid.17 Ibid.

Apa yang terjadi dalam Olimpiade 1936 di Berlin adalah bentuk rasisme terhadap

bangsa Afrika. Nazi dengan tegas menyatakan bahwa bangsa Jerman yang berasal dari

ras Arya adalah bangsa yang paling unggul diantara bangsa-bangsa dari ras lainnya,

termasuk orang-orang dari Afrika. Nazi mengklaim bahwa masyarakat Jerman adalah

masyarakat pekerja keras, jujur, dan pemberani. Oleh karena itu, ras Arya jauh lebih superior

bila dibandingkan oleh ras-ras lain. Selain itu, Nazi juga menggunakan teori evolusi Darwin

untuk mengatakan bahwa bangsa Jerman merupakan ras yang lebih kuat dan lebih baik

sedangkan bangsa lain adalah bangsa orang-orang lemah. Oleh karenannya, adalah takdir

orang-orang kuat untuk menguasai, menghukum, bahkan memusnahkan yang lemah.18

Peristiwa rasial yang terjadi di Olimpiade Berlin 1936 merupakan tindakan rasis

yang ditujukan kepada satu orang. Peristiwa ini dapat digolongkan sebagai rasisme

individual. Pernyataan Nazi dan Ketua Komite Olimpiade Jerman didasarkan pada

upaya pengistimewaan diri dan keyakinan bahwa bangsa Jerman adalah bangsa yang

dipengaruhi oleh budaya yang dominan dibandingkan dengan budaya bangsa Afrika.

Mungkin, Nazi memandang bangsa Afrika sebagai bangsa yang jauh lebih primitif dan

hanya dihuni makhluk-makhluk yang bukan manusia.

Berbeda dengan peristiwa rasisme di Olimpiade Berlin 1936, apa yang terjadi di

Afrika Selatan merupakan bentuk rasisme struktural yang telah terlembagakan.

Apartheid menjadi suatu sistem politik yang nampaknya hanya didasarkan pada

pembedaan martabat manusia atas dasar warna kulit. Namun, bila dilihat lebih dalam,

tampaknya ada alasan lain yang lebih ‘darurat’ sehingga Apartheid jadi pilihan yang

harus dilaksanakan.

Berdasarkan catatan sejarah, Apartheid mulai menjadi opsi yang bisa diterapkan

ketika Afrika Selatan berhadapan dengan salah satunya masalah ekonomi. Permasalahan

ekonomi di Afrika Selatan paska Perang Dunia II merupakan suatu krisis ekonomi yang

memicu perpindahan besar-besaran penduduk asli Afrika Selatan dari daerah desa dan

pedalaman ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik yang lebih menjanjikan.

Dengan jumlah yang banyak dan berada dalam kepentingan yang sama, mereka mampu

membentuk suatu persatuan dagang. Dengan itu semua, orang-orang Afrika Selatan

berkulit hitam mulai mampu membangun kekuatan ekonomi dan politiknya.

18 http://www.jewishvirtuallibrary.org/Holocaust/history.html diakses pada 15 November 2014 pukul 18.43 WIB.

Setelah Partai Nasional memimpin Afrika Selatan, Apartheid digunakan untuk

meredam dan bahkan mematikan kekuatan ekonomi dan politik orang-orang Afrika

Selatan berkulit hitam yang mulai tumbuh. Penceraiberaian-pemisahan dan pemiskinan

kesempatan untuk berpolitik secara struktural menjadi solusi yang paling efektif agar

mereka tak mampu mengembangkan pasar dan tak mampu membentuk organisasi-

organisasi yang dapat menggangu supremasi penduduk kulit putih. Dalam aspek hidup

ekonomi mereka berhasil dimiskinkan, dalam hidup berpolitik mereka berhasil

dibungkam, dalam hidup sosial-budaya antar suku-suku di Afrika Selatan berhasil di

kotak-kotakkan secara lebih tegas, dalam hidup pendidikan mereka dibodohkan. Semua

itu dilakukan secara struktural lewat perundang-undangan yang diskriminatif dan

bernada rasial.

Bagaimana sistem politik Apartheid disusun dan mengapa itu dipilih? Untuk

menjawab pertanyaan ini, perlulah menganalisis proses pembuatan keputusan sehingga

sistem politik Apartheid lah yang dipilih. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya,

sistem politik yang di kemudian hari disebut sebagai Apartheid itu awalnya adalah

sebuah tawaran solusi bagi Afrika Selatan yang sedang mengalami krisis ekonomi

setelah Perang Dunia II. Solusi yang ditawarkan oleh Sauer Commission tampak

sebagai solusi oposisi dari solusi yang ditawarkan oleh Fagan Commission. Kedua

komisi itu memang didukung oleh dua partai yang berbeda, United Party dan National

Party.

Kemenangan National Party pada pemilu 1948 menunjukkan bahwa solusi Sauer

Commission lebih diterima oleh masyarakat Afrika Selatan yang berkulit putih. United

Party dan Jan Smuts dinilai telah gagal mengantisipasi dan menyelesaikan problem yang

muncul setelah Perang Dunia II: terutama mengantisipasi tumbuhnya kekuatan warga

kulit hitam yang sampai mampu membentuk suatu persatuan dagang, menuntut kenaikan

upah kerja dan menuntut penyediaan perumahan bagi mereka agar mereka dapat

menetap di kota. Bagi warga kulit putih, kekuatan itu dianggap berbahaya dan dapat

mengalahkan dominasi kekuasan kulit putih. Ketakutan dan kehendak untuk berkuasa

itulah yang akhirnya memenangkan National Party.

Secara bertahap, setelah Partai Nasional memenangkan pemilu 1948,

rekomendasi Sauer Commission diimplementasikan dalam sistem politik Apartheid dan

kebijakan-kebijakan publiknya yang diskriminatif rasial. Untuk melanggengkan

kekuasaan dan ‘diterima’nya kebijakan-kebijakan publik dari rezim Apartheid ini, dari

sudut pandang penduduk Afrika Selatan berkulit hitam tampaknya pemerintah berusaha

untuk mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan mereka sendiri.19 Memang rezim yang

berkuasa sampai 50 tahun ini masih menjalankan pemilu, namun itu hanya

diperuntukkan bagi warga kulit putih, warga kulit hitam tak diberi kesempatan untuk

bersuara apalagi terlibat dalam pemerintahan pusat.

Dari kacamata warga kulit hitam, pemerintahan yang dikuasai oleh Partai

Nasional mengimplementasikan kebijakan-kebijakan elitis yaitu demi kelanggengan

kekuasaan mereka. Untuk hal yang sama pulalah mereka tetap menjalankan politik yang

sangat pro pada mereka yang berkulit putih. Pemilu yang dilaksanakan oleh rezim

Apartheid memang tampak sebagai kebijakan yang demokratis, tapi sesungguhnya lebih

tampak hanya sebagai upaya mencari penegasan dan legalitas semu dari rakyat. Untuk

menjalankan kekuasaannya, rezim Apartheid telah menjadi penguasa yang menguasai

dan mengontrol realitas sosial dan world-view masyarakat atas hal itu. Selain tampak

jelas bahwa rezim Apartheid melaksanakan suatu dominasi fisik dengan berbagai

kebijakan publiknya seperti pemisahan wilayah, pembatasan perjumpaan, dan hukuman

berat bagi pelanggar kebijakan pemisahan, dengan itu semua mereka juga telah

melakukan suatu dominasi atas perspektif massa.20 Hal itu pulalah yang juga menjadi

faktor mengapa Partai Nasional menang dalam pemilu 1948: mereka mampu mengontrol

pandangan orang-orang kulit putih untuk membaca realitas sosial yang tengah terjadi.

Melihat apa yang terjadi, Apartheid memang dapat digolongkan sebagai rasisme

struktural. Itu telah menciptakan suatu hierarki martabat manusia berdasar pada hal

yang tak seharusnya menjadi dasar pembeda: warna kulit, ras. Dengan

mengimplementasikan Apartheid, Partai Nasional telah menciptakan dan

mengkondisikan suatu ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Afrika Selatan. Hal

yang serupa lah yang pernah terjadi di Indonesia terhadap orang-orang keturunan

Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada masa Orde Lama sampai Orde Baru. Dengan

berbagai kebijakan publik yang meletakkan orang-orang Tionghoa pada kotak yang

berbeda dengan orang pribumi walaupun berada pada wilayah yang sama dan banyak

diantara mereka yang juga sudah menjadi WNI, mereka didiskriminasi secara rasial.

19 Strategi politik seperti itu biasa diklasifikasikan sebagai bagian dari model proses kebijakan elitis – berfokus pada cara kekuasaan dikonsentrasikan. Bdk. WAYNE PARSONS, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,(judul asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis), diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana Prenada Media Group, 2005, 250.20 Gramsci menyebut hal itu sebagai ‘hegemoni’, bentuk kontrol kelas penguasa dalam menentukan cara pandang masyarakat atas realitas sosial aktual.

Apa yang terjadi pada orang-orang Tionghoa di Indonesia pada Orde Lama

sampai Orde Baru merupakan diskriminasi struktural. Hal itu bisa dilihat dari kebijakan-

kebijakan publik yang pernah disahkan sebagai bagian dari perundang-undangan

Indonesia. Sebagai suatu rasisme struktural, diskriminasi rasial terhadap orang

Tionghoa telah meresap ke berbagai aspek kehidupan mereka. Dari 8 produk hukum

yang berlaku pada masa Orde Baru misalnya, telah menyentuh berbagai aspek

kehidupan masyarakat Tionghoa saat itu: ekonomi dan perdagangan, soal kehidupan

sosial, soal kegiatan keagamaan, soal kebudayaan dan adat istiadat.

Pada masa Orde Baru, apa yang disebut Gramsci sebagai ‘hegemoni’ juga

tampak dijalankan.

“Dengan dalih demi persatuan dan kesatuan bangsa, semua bidang kehidupan

masyarakat baik politik, budaya, pendidikan, sosial, dsbnya diseragamkan dan

perbedaan diharamkan. Masalah Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA)

menjadi masalah yang tabu untuk dibicarakan, ... Namun, korupsi, kolusi, dan

nepotisme dibiarkan berkembang dengan subur.”21

Diskriminasi rasial yang terjadi tak pernah dibicarakan dan diungkap kepada publik.

Media massa dan orang-orang yang dianggap subversif akan ‘diamankan’ seperti yang

diungkapkan oleh Gramsci, paksaan dan koersi hanya dilakukan pada saat ada krisis 22

atau ada ancaman. Kelas penguasa yaitu pemerintah yang dipimpin secara otoriter

berhasil menjalankan politik diskriminatifnya, menjalankan politik koruptifnya, dan

menngontrol pandangan publik atas realitas sosial-politik-ekonomi yang berkembang di

Indonesia kala itu.

Rasisme dapat terjadi secara struktural. Ketika itu terjadi, maka itu tentu

terungkap dalam bentuk kebijakan-kebijakan publik yang diskriminatif. Kebijakan

publik yang sejatinya diarahkan kepada pencapaian kesejahteraan umum, karena

pengaruh rasisme yang berakar pada kehendak berkuasa lewat segala cara, justru dapat

menjadi pencipta dan pelanggeng kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan struktural.

SUMBER PUSTAKA:

21 BENNY G. SETIONO, Op.Cit., 1031. 22 WAYNE PARSONS, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,(judul asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis), diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana Prenada Media Group, 2005, 149.

SNIJDERS, ADELBERT, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Kanisius,

Yogyakarta 2004.

SETIONO, BENNY G., Tiongkok Dalam Pusaran Politik, Elkasa, 2002, Jakarta 2002.

PARSONS, WAYNE, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,(judul

asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis),

diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

2005.

SUMBER ARTIKEL DAN INTERNET:

PRADITYO, SAPTO, Kita Semua Monyet, dalam Majalah Detik Edisi 12-18 Mei 2014.

LAWRENCE, KEITH, Chronic Disparity: Strong and Pervasive Evidence of Racial

Inequalities POVERTY OUTCOMES Structural Racism, Aspen Institute on Community

Change, 2004.

http://www.history.com/topics/great-depression diunduh pada 15 Mei 2015 pukul 18.14 WIB.

http://www.jewishvirtuallibrary.org/Holocaust/history.html diakses pada 15 November 2014

pukul 18.43 WIB.

http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-

dan-orde-baru/ diunduh pada 20 Mei 2015 pukul 18.12 WIB.

http://countrystudies.us/south-africa/ diunduh pada 11 Mei 2015 pukul 18.07 WIB.


Recommended